Dunia IslamOpini

Ketakwaan Personal dan Sosial

Upaya meraih rahmat Allah adalah dengan takwa kepada-Nya. Ramadhan merupakan sarana untuk mengokohkan takwa itu.

Ketakwaan personal harus diraih. Sifat takwa itu tercermin dalam kesediaan seorang Muslim untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah. Kesediaan kita untuk tunduk dan patuh pada seluruh hukum syariah Islam inilah realisasi dari ketakwaan dan kesalihan personal kita. Secara personal, syariah yang pelaksanaannya bisa dilakukan oleh individu dan kelompok—seperti shalat, puasa, zakat, memakai jilbab, berakhlak mulia, berkeluarga secara islami; atau bermuamalah seperti jual-beli, sewa-menyewa secara syar’i dan sebagainya—bisa dilaksanakan saat ini juga. Begitu ada kemauan, semua itu bisa dilakukan.

Selama bulan Ramadhan ini, kita secara ruhiah memang dilatih untuk meningkatkan ketundukan atau ketaatan pada syariah. Di luar Ramadhan kita boleh makan dan minum atau berhubungan suami-istri siang hari. Namun, dalam bulan Ramadhan semua itu dilarang, dan ternyata kita bisa. Artinya, dengan kemauan yang besar, sesungguhnya kita bisa melaksanakan hukum Allah atau syariah Islam itu. Jika yang halal saja bisa kita tinggalkan, apalagi yang haram. Jika yang sunnah seperti shalat tarawih, sedekah dan sebagainya saja bisa kita lakukan, apalagi yang wajib.

Di sisi lain, Allah SWT berfirman (yang artinya): Andain penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, Kami pasti melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami pun menyiksa mereka akibat perbuatannya itu (TQS al-A’raf [7]: 96).

Ayat ini berbicara tentang ketakwaan penduduk negeri secara kolektif, bukan secara personal. Karena itu ayat ini menggambarkan bahwa masyarakat/negara pun harus menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya; harus menjadi masyarakat dan negara yang ‘bertakwa’. Dengan kata lain, masyarakat dan negara harus menerapkan dan menegakkan syariah Islam.

Terkait peradilan/persanksian, misalnya, ada hukum qishâsh, potong tangan bagi pencuri, cambuk seratus kali bagi pezina ghayru muhshân, rajam bagi pezina muhshân, cambuk bagi peminum khamr, hukuman bagi mafia pembakar pasar, dsb.

Dalam ekonomi ada hukum tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, penghapusan riba dari semua transaksi, pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, pemberian alternatif tempat tinggal dan tidak sembarang menggusur, tidak boleh menjual pulau kepada pihak asing dengan alasan investasi pariwisata, dsb.

Dalam Politik Luar Negeri ada hukum tentang dakwah ke luar negeri dan jihad, tidak menyerahkan kedaulatan dengan tunduk pada perjanjian yang merugikan. Dalam hal kewarganegaraan, ada hukum tentang status kafir dzimmi, musta’min, mu’âhad, dll.

Ringkasnya, bulan Ramadhan adalah bulan untuk menggapai rahmat dengan cara mewujudkan ketakwaan personal maupun kolektif/sosial atau dalam konteks negara. [M. Arifin]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven − three =

Back to top button