Analisis

Ramadhan Bulan Ketaatan, Perjuangan dan Pengorbanan

Sebenarnya panas dan terik matahari biasa dirasakan di terminal bus, pasar-pasar, atau tempat umum lainnya. Namun saat bulan Ramadhan, panas dan terik itu dirasakan berkali-kali lipat. Hal itu juga yang dirasakan, misalnya, oleh seseorang yang bekerja membersihkan jalan di ruas-ruas jalan ibukota. Pakaian yang membungkus seluruh badan serta kain yang menutupi wajah semakin membuat pengap dan panas.

Dari sekian banyaknya orang-orang yang melalui suasana keras seperti itu, masih ada yang berusaha menggapai ridha Allah SWT dengan menjalankan ketaatan beribadah puasa pada bulan Ramadhan. Pekerjaan berat serta suasana penat, panas dan hujan tetap dilalui dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Rasa lapar dan haus sudah pasti sangat dirasakan. Apalagi jika hari itu tidak sempat sahur. Karena itu berbuka adalah saat paling dinanti oleh insan yang berpuasa dalam suasana bekerja seperti itu. Semua pengorbanan dan perjuangan beribadah puasa sehari penuh terbayarkan saat masuknya seteguk air yang menghilangkan dahaga. Rasa bahagia itu semakin kuat dirasakan saat ada harapan pahala dan ampunan Allah SWT. Demikian sebagimana dinyatakan dalam Hadis Nabi saw.:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَاً وَاحْتِسَاً، غُفِرَ لَه مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR Ahmad).

 

Jika menengok ke belakang, ini juga dirasakan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat saat menghadapi Perang Badar. Perang ini begitu menguras fisik dan pikiran. Menguras fisik karena perang ini terjadi pada bulan Ramadhan dalam suasana menahan lapar dan dahaga. Menguras pikiran karena awalnya perang ini tidak direncanakan. Karena itu jumlah Sahabat yang ikut tidak sebanding dengan jumlah pasukan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat. Namun, Perang Badar tetap harus dirancang untuk menang. Tentu dengan memaksimalkan semua strategi, daya juang dan munajat pada level yang paling puncak. Sejarah mencatat perang ini dimenangkan oleh kaum Muslim. Ini menunjukkan bahwa pertolongan Allah SWT begitu besar.

Peristiwa agung lain yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah penaklukan Kota Makkah. Ibnu Hisyam menuliskan dalam kitab sirahnya bahwa Rasulullah saw. berangkat ke Kota Makkah pada tanggal sepuluh Ramadhan bersama sepuluh ribu kaum Muslim. Dalam suasana Ramadhan ini Rasulullah saw. dan para Sahabat menempuh jalan sekitar lima ratus kilometer.

Rasulullah saw. berupaya agar perang ini tidak menimbulkan perlawanan yang berarti dari pihak Quraisy. Karena itu beliau berusaha keras untuk menyembunyikan informasi penaklukan Kota Makkah ini agar tidak sampai ke pihak Quraisy. Tujuannya agar mereka tidak sempat menyiapkan pasukan dan meminta bantuan dari pihak lain, yang tentu ini akan menimbulkan benturan keras dan pertumpahan darah.

Menariknya lagi, pada saat Rasulullah saw. sudah mendekati Kota Makkah, justru beliau menunjukkan barisan pasukan kaum Muslim dengan jumlahnya yang sangat banyak dan persiapan senjata yang lengkap di depan mata Abu Sufyan, yang saat itu baru saja masuk Islam. Rasulullah saw. membiarkan Abu Sufyan memberikan informasi itu kepada pihak Quraisy akan besarnya pasukan kaum Muslim yang tidak akan mampu dihadapi oleh penduduk Kota Makkah.

Jadilah penaklukan Kota Mekkah itu menjadi penaklukan yang damai. Tidak menimbulkan benturan yang berarti, kecuali perang singkat yang terjadi di Khandamah yang dilakukan oleh segelintir orang yang mampu ditumpas oleh pasukan Khalid bin Walid.

Tiga bulan lamanya Rasulullah saw. meninggalkan Kota Madinah. Pasalnya, setelah penaklukan Kota Makkah berlanjut dengan Perang Hunain dan Perang Thaif serta Umrah sebelum kembali ke Madinah. Terbayang begitu beratnya pengorbanan dan perjuangan Rasulullah saw. dan para Sahabat saat itu.

Berkaca pada Rasulullah saw. dan para Sahabat, kita bisa melihat bahwa Ramadhan bukanlah bulan yang pantas dijadikan alasan untuk mengurangi aktivitas. Justru pada bulan Ramadhan mereka, yang mendapat gelar khayru ummah itu, berhasil dengan gemilang menorehkan kesuksesan besar dalam peristiwa-peristiwa yang agung. Hal ini tentu tidak lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam Bulan Ramadhan, di antaranya sebagai berikut:

Pertama, Ramadhan adalah bulan ketaatan. Ini karena puasa yang diwajibkan di dalamnya adalah salah satu dari sebab ketakwaan. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ  ١٨٣

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

 

Menurut ayat ini, puasa dapat membuat pelakunya memiliki sikap takwa. Takwa adalah kesediaan untuk taat dan tunduk pada segala perintah dan larangan Allah SWT. Pada bulan Ramadhan itulah seseorang dilatih untuk taat dengan menahan diri dari yang membatalkan puasa meskipun ada makanan yang halal dan jelas itu miliknya. Tidak boleh ada makanan masuk sedikitpun ke dalam tenggorokannya sebelum waktunya berbuka. Begitu juga meskipun istri yang sudah dinikahi itu halal. Ia tidak boleh digauli saat sedang ibadah puasa.

Bahkan puasa itu bisa menjadi pendorong kuat untuk ketaatan yang lebih sempurna. Menurut Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya, Mafaatih al-Ghayb, bahwa keinginan terhadap makanan dan istri (yang dinikahi) itu jauh lebih besar dibandingkan keinginan terhadap segala sesuatu yang lain. Ketika telah mudah atas orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah dalam meninggalkan makanan dan istri, maka bertakwa kepada Allah dalam meninggalkan segala sesuatu yang lain akan jauh lebih mudah dan ringan.

Ketaatan kita kepada Allah haruslah mencakup seluruh aspek kehidupan. Sebabnya, Islam adalah agama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya, dengan dirinya (sebagai manusia) dan dengan manusia sesamanya. Hubungan manusia dengan Khaliq-nya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya tercakup dalam perkara akhlak, makanan dan pakaian. Hubungan manusia dengan sesamanya tercakup dalam perkara muamalah dan ‘uquubaat (sanksi). Dengan demikian Islam merupakan mabda’ (ideologi) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Allah SWT memerintahkan kita agar tidak tanggung-tanggung masuk ke dalam Islam. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ  ٢٠٨

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).

 

Imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan dalam Tafsiir Jalalayn, “masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah),” yang dimaksud dengan keseluruhan (kaffah) “adalah dalam seluruh syariahnya.”

Dengan demikian kita tidak boleh memilih-milih mana syariah yang kita sukai, untuk kemudian kita kerjakan, dan mana syariah yang kita tidak sukai, untuk kemudian kita tinggalkan. Sebabnya, semua yang dating dari Rasulullah saw. wajib kita terima. Semua yang beliau larang harus kita tinggalkan. Allah SWT berfirman:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ ٧

Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (QS al-Hasyr [59]: 7).

 

Sebagai seorang Muslim kita meyakini bahwa syariah Islam itu semuanya akan membawa kebaikan dan semua yang dilarang dalam syariah pasti akan mendatangkan keburukan. Bukan justru sebaliknya, yaitu saat diajak melaksanakan seluruh ajaran Islam secara kaaffah, kemudian menyatakan “menolak kerusakan itu lebih didahulukan ketimbang meraih kemaslahatan”. Seolah yang tergambar adalah syariah itu akan membawa kerusakan, bukan membawa kebaikan. Padahal yang paling tahu hakikat dari mana yang baik dan mana yang buruk bagi kita sebagai manusia hanyalah Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ  ٢١٦

Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah tahu, sedangkan kalian tidak tahu (QS al-Baqarah [2]: 216).

 

Kedua, Ramadhan adalah bulan perjuangan dan pengorbanan. Inilah yang kita lihat dari Rasulullah saw. dan para Sahabat saat penaklukan Kota Makkah. Mereka berangkat dari Madinah saat Ramadhan masih berumur sepuluh hari. Mereka meninggalkan kampung halaman, anak dan istri mereka. Mereka berpuasa dalam suasana jihad fii sabilillah dan berhari raya di medan jihad. Pada bulan Syawal mereka berjihad dalam Perang Hunain dan puluhan hari mengepung musuh dalam Perang Thaif. Mereka lalu kembali ke Madinah enam hari menjelang bulan Dzulqa’dah berakhir. Dengan demikian kemenangan gemilang dari Allah dalam penaklukan Kota Makkah tidak lepas dari perjuangan dan pengorbanan Rasulullah saw. bersama para Sahabat.

Setiap perjuangan dan pengorbanan membutuhkan adanya himmah atau cita-cita mulia yang ingin diraih. Dari adanya cita-cita mulia itulah muncul kesungguhan yang melahirkan perjuangan dan pengorbanan.

Saat ini begitu banyak masalah yang muncul di tengah-tengah umat, mulai dari kemerosotan akhlak yang tergambar dalam banyaknya pelajar yang hamil di luar nikah, tawuran yang berulang-ulang terjadi hingga menimbulkan korban jiwa, penyelewengan wewenang para pejabat yang dicerminkan dalam pamer harta dalam kehidupan sehari-harinya, banyaknya sumberdaya alam yang dikuasai asing, ancaman separatisme yang semakin meningkat, dan berbagai masalah lainnya. Semua masalah itu tidak pernah berhenti dan justru makin bertambah.

Solusi dari berbagai masalah itu ada dalam Islam. Pasalnya, Islam adalah agama yang sempurna, yang Allah turunkan untuk menjelaskan segala sesuatu. Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ  ٨٩

Kami telah menurunkan kepada kamu al-Kitab (al-Quran) penjelas segala sesuatu, petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Ibnu Mas’ud berkata: “Sungguh telah menjelaskan kepada kami di dalam al-Quran ini segala ilmu dan segala sesuatu.”

Beliau juga menyatakan, “Sungguh al-Quran ini mengandung segala ilmu yang bermanfaat dan informasi dari masa lalu dan yang akan datang, juga mengandung berbagai hukum halal dan haram yang dibutuhkan oleh manusia dalam urusan dunia, agama dan kehidupan mereka.”

Dengan demikian kita wajib meyakini bahwa solusi dari berbagai masalah yang mendera umat adalah syariah Allah SWT. Syariah-Nya—jika diterapkan secara kaaffah—tidak hanya membawa rahmat bagi umat Islam, namun juga bagi umat lain bahkan oleh seluruh makhluk yang ada di dunia ini. Allah SWT berfirman:

وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ  ١٠٧

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

 

Dengan demikian upaya menerapkan syariah Allah SWt dengan menegakkan syariah Islam secara kaaffah adalah upaya untuk membangun peradaban yang mulia. Sepanjang sejarahnya umat Islam senantiasa menerapkan syariah Islam saja dan tidak pernah menerapkan hukum yang lain. Inilah yang memunculkan sebuah peradaban agung yang diakui oleh sejarahwan Muslim maupun non-Muslim. Dalam bukunya, Story of Civilization, Will Durant, pakar sejarah non Muslim sacara jujur   mengungkap: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah pun telah menyediakan berbagai peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam perluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa.”

Inilah yang seharusnya menjadi “himmah” atau cita-cita mulia kita saat ini, yaitu melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah. Khilafah akan membangun peradaban mulia yang akan membawa rahmat bagi seluruh dunia. Cita-cita mulia ini membutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Hal itu harus tercermin dalam kesungguhan dalam aktivitas mewujudkan cita-cita mulia itu. Dalam sebuah ‘ibaarah dinyatakan:

مَنْ طَلَبَ شَيْئًا وَجَدَّ وَجَدَ، وَمَنْ قَرَعَ الْبَابَ وَلَجَّ وَلَجَ، وَقِيْلَ بِقَدْرِ مَا تَتَعَنَّى تَنَالُ مَا تَتَمَنَّى

Siapa saja yang bersungguh-sungguh meraih sesuatu, dia akan mendapatkan sesuatu tersebut. Siapa saja yang mengetuk pintu dengan keras, dia akan masuk ke dalamnya. Dikatakan pula bahwa dengan kadar jerih-payahnya itulah seseorang akan mendapatkan apa yang dia inginkan.

 

Alhsil, mari kita jadikan bulan Ramadhan ini sebagai momentum untuk menguatkan ketaatan, perjuangan dan pengorbanan. Di tengah-tengah banyaknya aktivitas kita, lelah dan penat kita, berdakwah melanjutkan kehidupan Islam harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Sebabnya, tidak ada keberhasilan yang didapatkan dengan bermalas-malasan. Keberhasilan meraih cita-cita mulia itu menuntut adanya perjuangan dan pengorbanan.

Semoga Allah SWT menurunkan bantuan dan pertolongan-Nya dalam setiap kesungguhan kita demi mewujudkan cita-cita mulia  melanjutkan kehidupan Islam di bawah naungan Khilafah ‘ala minhaaj an-nubuwwah. Allah SWT berfirman:

وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  ٦٩

Orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami. Sungguh Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (QS al-Ankabut [29]: 69).

 

WalLaahu a’lam bishshawwab.[Tisna As Syirbuni]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 1 =

Back to top button