Fokus

Salah Kaprah Efisiensi APBN


Kebijakan efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menimbulkan berbagai tanggapan, terutama terkait dampaknya terhadap sektor-sektor pelayanan publik yang sangat vital. Banyak pihak mulai mempertanyakan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah tersebut. Pasalnya, dampak yang akan ditimbulkan dari hasil kebijakan tersebut memiliki pengaruh besar. Selain potensi kesalahpahaman dan ketidakjelasan implementasi, dampaknya terhadap sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan pelayanan-pelayanan publik lainnya begitu besar.

 

Alasan Efisiensi versi Pemerintah

Pemerintah, melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, menetapkan kebijakan efisiensi anggaran dengan tujuan utama mengoptimalkan penggunaan sumber daya keuangan negara, mengurangi pemborosan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Presiden Prabowo menekankan bahwa penghematan ini dimaksudkan untuk memastikan setiap pengeluaran negara memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menjelaskan bahwa Presiden ingin keuangan negara lebih bersih sehingga berujung pada efisiensi APBN 2025.1

 

Potensi Kesalahpahaman dan Ketidakjelasan Efisiensi

Meskipun tujuan efisiensi anggaran adalah positif, terdapat beberapa potensi kesalahpahaman dan ketidakjelasan dalam implementasinya.  Pertama: Definisi dan Ruang Lingkup Efisiensi. Tidak adanya definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan ‘pengeluaran tidak perlu’ dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda di berbagai kementerian dan lembaga. Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Wahyudi Kumorotomo, menyatakan bahwa target efisiensi anggaran sebesar Rp 306 triliun merupakan tantangan berat bagi pemerintah pusat maupun daerah.2

Kedua: Transparansi dalam Pemotongan Anggaran. Kurangnya transparansi mengenai kriteria pemotongan anggaran dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap Pemerintah. Pakar dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dyah Mutiarin, mengkritisi kebijakan efisiensi tersebut. Dia menyatakan bahwa pemangkasan anggaran yang mencapai 22 persen dapat berdampak pada pelayanan publik yang bersifat dasar.3

Ketiga: Risiko Terhadap Pelayanan Publik. Pemotongan anggaran yang tidak terencana dengan baik dapat mengorbankan kualitas pelayanan publik, yang justru bertentangan dengan tujuan efisiensi itu sendiri. Menurut laporan dari Financial Times, pemotongan anggaran yang signifikan dapat mengganggu aktivitas ekonomi dan investasi di tengah konsumsi yang lemah dan nilai mata uang yang rendah.4

 

Sektor-sektor dengan Anggaran Tetap atau Meningkat

Di sisi lain, beberapa kementerian dan lembaga Negara justru mempertahankan atau bahkan meningkatkan alokasi anggarannya. Di antaranya: Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 165,2 triliun. Ini kementerian dengan anggaran terbesar dalam APBN 2025 (kumparan.com). Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mendapat alokasi anggaran Polri mencapai Rp 126,6 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya (hukumonline.com). Anggaran DPR tetap sebesar Rp 6,69 triliun tanpa pemotongan (kemenkeu.go.id). Badan Intelijen Negara (BIN) menerima alokasi anggaran sebesar Rp 7,05 triliun tanpa pemotongan. Kemenko Polhukam tetap dan tidak mengalami pemotongan anggaran dalam efisiensi APBN 2025.

Semangat efisiensi ini justru berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Presiden Prabowo justru menambah jumlah kementrian dan lembaga negara lainnya. Bukankah dengan bertambahnya kementrian dan lembaga negara akan menambah pula anggarannya? Hal ini tentu tidak sejalan dengan semangat efisiensi yang diprogramkan oleh Pemerintah. Lebih ironinya, penambahan kementerian atau alat negara tersebut lebih cenderung politis; seolah-olah sekadar bagi-bagi kekuasaan, bukan didasari untuk kemaslahatan rakyat.

 

Kurang Transparansi dan Perhitungan Matang

Kebijakan efisiensi anggaran ini menuai kritik karena dianggap kurang transparan dan tidak didasarkan pada perhitungan yang matang.  Ketiadaan penjelasan rinci mengenai dasar pemotongan anggaran menimbulkan pertanyaan tentang objektivitas dan keadilan dalam distribusi pemotongan anggaran. Sebabnya, pemotongan anggaran yang tidak terencana dengan baik dapat mengganggu pelayanan publik dan program-program vital bagi masyarakat.

 

Alokasi Hasil Efisiensi: Danantara dan Program MBG

Salah satu yang menjadi tujuan dari program efisiensi anggaran adalah alokasi untuk beberapa program utama, yaitu Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun demikian, sebagian besar hasil efisiensi anggaran malah diinvestasikan ke Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), yang bertujuan untuk membiayai proyek-proyek strategis nasional. Adapun Program Makan Bergizi Gratis (MBG), awalnya dialokasikan sebesar Rp 71 triliun, namun diperkirakan membutuhkan tambahan anggaran hingga Rp 25 triliun perbulan untuk mencapai target penerima manfaat.

 

Dampak Efisiensi APBN 2025

Kebijakan efisiensi APBN 2025 yang diterapkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto telah menimbulkan berbagai dampak di sektor-sektor vital yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat. Pemotongan anggaran yang signifikan pada sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan layanan publik lainnya dikhawatirkan akan menurunkan kualitas hidup masyarakat dan justru menghambat pembangunan nasional. Sektor pendidikan, misalnya, mengalami pemangkasan anggaran yang cukup besar dalam kebijakan efisiensi APBN 2025. Hal ini berdampak langsung pada berbagai program dan layanan pendidikan yang sebelumnya mendapatkan dukungan anggaran dari Pemerintah. Pemotongan anggaran ini berpotensi menyebabkan berkurangnya beasiswa bagi mahasiswa berprestasi dan kurang mampu, seperti Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) dan Beasiswa Afirmasi Pendidikan (ADik). Padahal beasiswa tersebut merupakan instrumen untuk memutus rantai kemiskinan dan memperkecil kesenjangan sosial di masyarakat. Pemangkasan dana untuk penelitian dan pengembangan Pendidikan juga akan dapat menurunkan inovasi dan daya saing akademik Indonesia. Kurangnya anggaran untuk peningkatan kapasitas tenaga pendidik akan menyebabkan stagnasi dalam peningkatan kualitas pengajaran.

Menurut Prof. Agus Hermawan, pakar pendidikan dari UGM, pemangkasan anggaran dapat menurunkan mutu pendidikan nasional dan menghambat akses bagi siswa dari keluarga miskin untuk melanjutkan ke perguruan tinggi5 (ugm.ac.id). Selain itu dengan pemangkasan anggaran, pembangunan sekolah baru, rehabilitasi gedung sekolah rusak, serta peningkatan fasilitas pendidikan seperti laboratorium dan perpustakaan akan mengalami perlambatan. Hal ini tentu berisiko menurunkan akses dan kualitas pendidikan, terutama di daerah terpencil dan tertinggal. Lebih parahnya lagi, dengan berkurangnya dukungan Pemerintah, masyarakat akan menanggung biaya pendidikan yang lebih tinggi, seperti; kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri, berkurangnya subsidi untuk sekolah-sekolah negeri dan naiknya untuk alat tulis dan kegiatan belajar mengajar lainnya. Akibatnya, anak-anak dari keluarga kurang mampu sangat berisiko untuk putus sekolah atau mengalami keterbatasan dalam memperoleh pendidikan berkualitas. Pemangkasan anggaran juga dapat menghambat penelitian dan inovasi yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional.

Di sektor ekonomi, pemangkasan anggaran akan berdampak langsung pada pengurangan subsidi dan bantuan sosial bagi masyarakat. Di tengah melemahnya daya beli masyarakat yang sangat signifikan, kebijakan efisiensi anggaran ini akan semakin memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. Daya beli masyarakat menurun, terutama di kalangan kelas menengah ke bawah. Menurut laporan Bank Dunia, daya beli masyarakat Indonesia sudah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir akibat inflasi yang meningkat, dan pemangkasan anggaran ini akan memperburuk keadaan.6

Efisiensi tersebut juga akan berpengaruh terhadap Penurunan Pertumbuhan Ekonomi, Investasi dalam infrastruktur berkurang sehingga menyebabkan perlambatan dalam sektor konstruksi dan manufaktur. Lapangan kerja di proyek-proyek Pemerintah jelas berkurang dan berujung pada peningkatan angka pengangguran. Kemudian pertumbuhan ekonomi nasional bisa melambat karena belanja Pemerintah merupakan salah satu penggerak utama ekonomi saat ini. Menurut laporan Financial Times, pemangkasan anggaran yang signifikan tanpa strategi yang jelas dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan risiko stagnasi ekonomi.7 Laporan dari Financial Times tersebut menyebut bahwa pemotongan anggaran yang signifikan dapat mengganggu aktivitas ekonomi dan investasi di tengah konsumsi yang lemah dan nilai mata uang yang rendah.8

Di sektor kesehatan, meskipun Pemerintah menyatakan sektor kesehatan tetap menjadi prioritas, pemotongan anggaran dapat mengganggu pelayanan kesehatan, terutama jika tidak adanya strategi yang jelas untuk menjaga kualitas layanan. Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dyah Mutiarin, menyatakan bahwa pemangkasan anggaran yang mencapai 22 persen dapat berdampak pada pelayanan publik yang bersifat dasar, termasuk kesehatan.9

Di bidang politik, kebijakan efisiensi yang tidak transparan berpotensi meningkatkan ketidakpuasan masyarakat terhadap Pemerintah. Hal itu disebabkan karena masyarakat melihat kebijakan pemangkasan anggaran sebagai ketidakadilan, karena beberapa sektor seperti pertahanan dan keamanan tetap mendapatkan anggaran besar. Kritik dari masyarakat akan semakin kuat, yang dapat memperburuk polarisasi politik. Kemudian potensi meningkatnya aksi protes dan demonstrasi oleh masyarakat terutama dari kelompok mahasiswa dan pekerja. Menurut The Economist, kebijakan pemotongan anggaran yang dianggap tidak adil dapat membahayakan stabilitas politik karena masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpin mereka (economist.com). Selain itu, potensi penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan elit politik sangat kentara. Menurut laporan dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), ada indikasi bahwa pemangkasan anggaran ini bertujuan untuk mengalihkan dana ke proyek-proyek populis yang menguntungkan Pemerintah saat ini (indef.or.id).

Di sektor sosial, kebijakan efisiensi anggaran ini berpotensi besar untuk meningkatnya angka kemiskinan. Berkurangnya subsidi bagi masyarakat miskin menyebabkan peningkatan biaya hidup. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan semakin sulit dan memperburuk siklus kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kebijakan pemangkasan anggaran yang tidak dibarengi dengan kebijakan kompensasi dapat meningkatkan angka kemiskinan hingga 2-3% dalam satu tahun (bps.go.id). Kemudian kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan ketegangan sosial di tengah masyarakat. Menurut Center for Strategic and International Studies (CSIS), ketidakpuasan terhadap Pemerintah akibat kebijakan ekonomi yang tidak adil dapat memperburuk stabilitas sosial dan memicu perlawanan masyarakat sipil (csis.org).

Di sektor tata kelola Pemerintahan, pemangkasan anggaran dalam kondisi yang tidak transparan bisa menciptakan ruang bagi praktik korupsi. Penyalahgunaan anggaran yang masih tersisa untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Peningkatan “uang pelicin” dalam birokrasi, karena banyak program yang dipangkas, namun masih bisa dijalankan secara tidak resmi.

Dana hasil efisiensi tidak digunakan secara jelas, seperti dalam kasus investasi Danantara yang minim transparansi, akan memicu sentimen kepercayaan publik terhadap Pemerintah semakin turun. Menurut Transparency International, kebijakan penghematan anggaran yang tidak transparan dapat memperburuk indeks persepsi korupsi suatu negara.10

Di sektor mitigasi bencana, sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang berada di Ring of Fire, yaitu zona cincin api Pasifik. Indonesia memiliki banyak gunung berapi aktif dan sering mengalami gempa bumi. Ini terjadi karena pergerakan lempeng tektonik, seperti Lempeng Indo-Australia yang menekan Lempeng Eurasia. Akibatnya, Indonesia sering mengalami aktivitas vulkanik dan gempa bumi, seperti yang sering terjadi di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Pemotongan anggaran lebih dari 50% dapat mengurangi akurasi dan kecepatan peringatan dini bencana alam, yang berdampak langsung pada keselamatan masyarakat. Menurut laporan dari The Australian, pemotongan anggaran yang signifikan dapat mempengaruhi layanan penting seperti peringatan dini gempa bumi dan tsunami.11

Di bidang infrastruktur dan transportasi, sebagaimana kita ketahui, Kementerian Pekerjaan Umum mengalami pemotongan anggaran hingga 73,35%, atau sebesar Rp 81,38 triliun dari total pagu tahun ini sebesar Rp 110,95 triliun.12 Kebijakan ini tentu akan dapat menghambat pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur penting bagi masyarakat.

Di sektor perumahan rakyat, pemotongan anggaran bisa menjadi pukulan berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang berharap memiliki rumah layak. Jika pembangunan rumah untuk mereka berkurang, maka semakin banyak keluarga yang harus bertahan di tempat tinggal yang tidak layak, bahkan di permukiman kumuh yang penuh risiko kesehatan dan keselamatan. Kondisi ini bisa memperparah masalah sosial, karena jutaan orang akan kesulitan mendapatkan hunian yang layak dan nyaman untuk hidup.

Jika masalah ini dibiarkan, kesenjangan antara orang yang memiliki rumah dan yang tidak akan semakin besar. Kota-kota besar bisa dipenuhi oleh masyarakat yang terpaksa tinggal di lingkungan yang buruk karena tidak mampu membeli rumah sendiri. Pemerintah seharusnya memastikan bahwa setiap warga memiliki kesempatan untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak, bukan malah mengurangi anggaran untuk sektor ini. Jika tidak ada solusi yang jelas, dampaknya bisa sangat buruk bagi kesejahteraan masyarakat di masa depan.

WalLâhu a’lam. [Dr. Julian Sigit]

 

Catatan kaki:

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 3 =

Back to top button