Hadis Pilihan

Dorongan Untuk Bekerja

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ, وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan makanan dari hasil kerja tangannya. Sungguh Nabiyullah Dawud as. makan dari hasil kerja tangannya (HR al-Bukhari, Ahmad, al-Baihaqi).

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Miqdam bin Ma’dikarib ra. Ibnu Majah meriwayatkan hadis ini dari Miqdam bin Ma’dikarib az-Zubaidi dengan redaksi berbeda. Rasul saw. bersabda:

مَا كَسَبَ الرَّجُلُ كَسْبًا أَطْيَبَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَمَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى نَفْسِهِ وَأَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَخَادِمِهِ فَهُوَ صَدَقَةٌ

Tidaklah seorang laki-laki mendapatkan harta yang lebih baik dari (hasil) kerja tangannya. Apa saja yang dinafkahkan oleh seorang laki-laki atas dirinya, keluarganya, anaknya dan pembantunya maka itu merupakan sedekah (HR Ibnu Majah).

 

Imam al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr Syarhu Jâmi’i ash-Shaghîr menjelaskan hadis di atas pada nomor 7833 dengan menyatakan: “Tidaklah seseorang makan makanan khayr[an]”, dengan nashab, sebagai sifat untuk mashdar yang disembunyikan yakni akl[an] khayr[an] (makan yang lebih baik). Demikian di dalam Al-Mashâbîh. Di dalam riwayat lain dinyatakan khayr[un] dengan rafa’, yakni dia (memakan makanan itu) lebih baik, “daripada makan dari hasil kerja tangannya”. Dengan demikian seseorang yang memakan makanan yang bukan dari hasil tangannya menafikan pengutamaan atas makan dari hasil kerja tangannya. Aspek kebaikannya karena di situ ada manfaat pada orang yang bekerja dan lainnya. Orang yang berkerja juga berarti terbebas dari pengangguran. Hal ini bisa menghasilkan kehormatan, jiwa yang tunduk dan pemeliharaan ‘iffah (kehormatan) dari kehinaan meminta-minta. Di dalamnya ada dorongan untuk bekerja dengan pekerjaan yang halal. Hal itu mengandung banyak faedah. Di antara faedahnya, menghasilkan manfaat bagi orang yang mengambil upah jika dia bekerja untuk orang lain; juga menghasilkan manfaat bagi orang lain dengan menyiapkan sebab-sebab mereka semisal menanam, mengolah tanah, menjahit dan lainnya. Faedah lainnya: Orang yang bekerja itu akan sibuk sehingga terbebas dari pengangguran dan senda gurau. Dengan berkerja jiwa menjadi tunduk, tidak banyak membangkang. Bekerja menjaga kehormatan (‘iffah) dari kehinaan meminta-minta dan memelas kepada orang lain. Di dalam bekerja disyaratkan tidak meyakini bahwa rezeki itu berasal dari usahanya, tetapi berasal dari Ar-Razâq (Zat Yang Maha Pemberi Rezeki), yakni Allah Yang Mahakuat.

Di dalam hadis di atas terdapat dorongan untuk bekerja, mencari rezeki. Bekerja atau mencari rezeki itu di dalamnya terdapat keutamaan dan keluhuran. Dorongan yang sama dinyatakan di dalam banyak hadis. Abu Hurairah ra. Menuturkan bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ

Salah seorang dari kalian mencari kayu bakar (dengan cara dipikul) di atas punggungnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada seseorang, lalu orang itu boleh jadi memberi atau menolak untuk memberi dia (HR al-Bukhari).

 

Zubair bin al-‘Awam juga menuturkan bahwa Rasul saw. perna bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبَلَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ

Salah seorang dari kalian mengambil talinya (untuk mencari kayu bakar) adalah lebih baik daripada dia meminta-minta kepada manusia (HR al-Bukhari).

 

Imam as-Sarakhsi di dalam Al-Mabsûth menyebutkan riwayat: Rasul saw. Pernah menjabat tangan Saad bin Muadz ra. Ternyata tangannya kasar kapalan. Lalu Nabi saw. menanyakan hal itu. Saad menjawab, “Aku bekerja menggunakan kapak dan sekop untuk menafkahi keluargaku.” (Mendengar itu) Rasul saw. lalu mencium tangannya dan bersabda, “Ini adalah kedua telapak tangan yang dicintai oleh Allah SWT.”

Imam as-Sarakhsi juga menyebutkan, diriwayatkan bahwa Umar ra. pernah melewati sekelompok orang dari kalangan al-qurâ‘, Umar ra. melihat mereka duduk-duduk dan menundukkan kepala mereka. Umar ra. berkata, “Siapa mereka?” Dikatakan, “Mereka adalah orang-orang yang bertawakal.” Umar ra. berkata, “Tidak, tetapi mereka itu orang-orang yang meminta makan. Mereka memakan harta orang lain. Maukah aku beritahukan kepada kalian siapa orang yang bertawakal?” Dikatakan, “Baiklah”. Umar ra. berkata, “Mereka adalah orang-orang yang menabur benih di tanah, kemudian bertawakal kepada Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.”

Masih banyak nas-nas lainnya yang berisi dorongan untuk bekerja dan mencari rezeki. Dengan itu orang bisa menafkahi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Begitulah. Banyak ayat dan hadis yang mendorong untuk berusaha mencari rezeki dan bekerja untuk menperoleh harta. Banyak juga ayat dan hadis yang mendorong untuk menikmati harta yang diperoleh itu dan untuk memakan yang baik-baik.

Dilihat dari sisi ekonomi, bisa dipahami bahwa hukum-hukum syariah yang berkaitan dengan ekonomi ditujukan pada perolehan harta dan menikmati harta yang baik-baik. Islam mendorong individu untuk bekerja. Islam juga memeritahkan individu-individu itu untuk memanfaatkan kekayaan yang mereka peroleh. Semua itu untuk mewujudkan kemajuan ekonomi, memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok setiap orang, juga memungkinkan bagi masing-masing orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier.   Sebab untuk memenuhi semua itu harus tersedia barang-barang ekonomi. Hal itu tidak akan terwujud kecuali jika mereka berusaha untuk memperolehnya. Karena itu Islam mendorong orang untuk bekerja, berusaha dan mencari rezeki. Bahkan Islam menetapkan bekerja mencari rezeki menjadi kewajiban bagi laki-laki yang mampu untuk memenuhi nafkah dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya. Itulah yang menjadi salah satu kebijakan politik ekonomi dalam Islam, yaitu memenuhi kebutuhan pokok tiap individu secara sempurna dan menciptakan peluang bagi setiap orang untuk dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier.

Dengan demikian, hadis-hadis tentang dorongan untuk bekerja itu merupakan bagian dari politik ekonomi Islam.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 − 14 =

Back to top button