Hadis Pilihan

Menghidupkan Tanah Mati

(Sebab Kepemilikan Pribadi Atas Tanah)

مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

 

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Jabir bin Abdullah ra. Imam at-Tirmidzi berkomentar: hadis ini hasan shahîh.

Dalam riwayat lainnya dari jalur Said bin Zaid, Rasul saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ لَه وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu (menjadi) miliknya. Dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim dengan menanaminya (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

 

Imam at-Tirmidzi berkomentar: hadis ini hasan gharîb. Penilaian hasan ini disetujui oleh al-Mundziri.

Aisyah ra. Juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ

Siapa yang memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka dia lebih berhak (atas tanah tersebut) (HR al-Bukhari).

 

Rasul saw. juga pernah bersabda:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلى أَرْضٍ فَهِيَ لَه

Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).

 

Semua hadis ini berkaitan dengan aktivitas ihyâ‘u al-mawât (menghidupkan tanah mati), sekaligus menjelaskan hukumnya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fath al-Bârî menyatakan: “Menghidupkan tanah mati adalah seseorang menyengaja atas tanah yang tidak diketahui kepemilikannya pada seorang pun, lalu dia menghidupkan tanah itu dengan menyirami, menanami, menggali atau membangun suatu bangunan (di atasnya) sehingga dengan itu tanah mati itu menjadi miliknya, baik tanah itu dekat dengan pemukiman atau jauh, baik diizinkan oleh Imam (Khalifah) atau tidak. Ini adalah pendapat jumhur”.

Al-Khathabi (w. 388 H) di dalam Ma’âlim as-Sunan Syarh Sunan Abî Dâwud mengatakan, “Menghidupkan tanah mati itu tidak lain dengan menggali, memagari dan mengalirkan air pada tanah tersebut dan bentuk memakmurkan tanah semacam itu. Siapa saja yang melakukan demikian maka dia telah memiliki tanah itu, baik diizinkan oleh sulthan (penguasa) atau tanpa seizinnya…Hal itu tidak dibatasi pada orang tertentu dan zaman tertentu. Ini menjadi pendapat kebanyakan ahlul ilmi.”

Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak padanya telah berlangsung kepemilikan seseorang. Jadi tidak tampak di situ bekas sesuatu berupa pagar, taman, bangunan atau semacam itu. Tidak ada pemilik tanah itu dan tidak ada yang memanfaatkannya. Inilah tanah mati. Selain yang demikian bukan merupakan tanah mati meskipun tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang pun.

Dalam hadis-hadis di atas digunakan redaksi syarth-masyrûth. Syaratnya adalah menghidupkan atau memakmurkan tanah mati. Masyrûth-nya adalah kata hiya lahu. Huruf lâm di sini adalah lâm al-milk (menyatakan milik). Hubungan keduanya menggunakan huruf fâ’ at-ta’qîb wa at-tasbîb (huruf fâ’ yang menyatakan akibat dan sebab) secara dalâlah memberi faedah ‘illat. Artinya, aktivitas menghidupkan tanah mati itu menjadi ‘illat atas kepemilikan tanah itu pada orang yang menghidupkannya. Jadi aktivitas menghidupkan tanah mati menjadi ‘illat kepemilikan tanah tersebut.

Karena itu siapa saja baik Muslim atau kafir dzimmi yang menghidupkan (tanah mati), apapun bentuk aktivitas menghidupkan itu, maka ia telah memiliki tanah mati tersebut. Dengan demikian aktivitas menghidupkan itu menjadi sebab kepemilikan atas tanah mati itu.

Hukum tersebut dikaitkan dengan shifat mufhimah (sifat yang memberi konotasi), yaitu al-mawât (tanah mati). Mafhûm dari hadis di atas adalah jika bukan al-mawât (bukan tanah mati) maka tidak bisa dimiliki dengan aktivitas menghidupkan, memagari atau semacamnya atas tanah tersebut meski tanah itu tidak ditanami, atau untuk ditanami harus diolah dulu, atau tidak layak untuk bercocok tanam, dan meskipun tidak ada pemiliknya yang dikenal atau tidak diketahui pemiliknya. Pasalnya, jika bukan al-mawât (bukan tanah mati), jika diketahui pemiliknya, tidak bisa dimiliki kecuali dengan salah satu sebab kepemilikan selain ihyâ‘u al-mawât misal: jual beli, hibah, warisan, dsb. Jika tidak diketahui pemiliknya atau tidak ada pemiliknya maka tidak bisa dimiliki kecuali melalui iqthâ‘u Khâlifah (pemberian Khalifah).

Tanah itu harus dimakmurkan dan tidak boleh ditelantarkan. Jika ditelantarkan tiga tahun berturut-turut maka tidak ada hak pemilikan lagi atas tanah tersebut bagi pemiliknya itu. Abu Yusuf di dalam Al-Kharâj menuturkan dari Said bin al-Musayyib bahwa Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata:

مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌّ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun (HR Abu Yusuf).

 

Karena itu Umar bin al-Khathab ra. pernah mengambil tanah Bilal bin Harits al-Muzni yang telah ditelantarkan lebih dari tiga tahun berturut-turut. Al-Baihaqi menuturkan di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 11605 dari Abdullah bin Abu Bakar, bahwa Umar bin al-Khaththab ra. berkata kepada Bilal bin Harits al-Muzni, “Lihatlah, apa yang kamu sanggup atas tanah itu maka pertahankan, sementara yang kamu tidak sanggup, serahkan kepada kami. Kami bagikan di antara kaum Muslim.” Bilal berkata, “Aku tidak mau, demi Allah, menyerahkan sesuatu yang telah diberikan Rasulullah kepadaku.” Umar berkata, “Demi Allah, sungguh kamu harus melakukannya.”. Lalu Umar mengambil tanah yang tidak mampu digarap oleh Bilal dan Umar membagikan tanah itu di antara kaum Muslim.

Apa yang diucapkan dan dilakukan oleh Umar itu didengar dan diketahui oleh para sahabat dan mereka diam saja atas hal demikian. Dengan demikian ketentuan itu menjadi ijmak sahabat bahwa tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut hilang kepemilikan atas pemiliknya. Hal itu tidak hanya atas tanah yang dimiliki melalui aktivitas ihyâ‘u al-mawât, tetapi juga berlaku atas tanah yang dimiliki dengan cara legal apapun. Tanah yang ditelantarkan tiga tahun berturut-turut itu tidak lantas berubah menjadi tanah mati. Kepemilikan atasnya telah hilang atau lepas dari pemilik sebelumnya. Khalifah/imam akan mengambil tanah itu dan membagikan tanah tersebut kepada rakyat menurut ijtihad dan pendapatnya.

WalLâh a’lam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 − 3 =

Back to top button