Hiwar

H. Budi Mulyana, S.I.P., M.Si.: Radikalisme: Proyek Barat Setelah Terorisme

Pengantar:

Setelah isu terorisme mulai tidak laku, negara-negara Barat kafir imperialis yang dipelopori AS kini jualan baru: radikalisme. Tujuannya masih sama: memerangi Islam dan umatnya. Kali ini di balik ‘perang melawan radikalisme’.

Terlalu banyak fakta yang menunjukkan bahwa perang melawan radikalisme adalah perang melawan Islam dan umatnya. Pertanyaannya: Mengapa ini terjadi? Apa penyebabnya? Mengapa hanya Islam dan umatnya yang dijadikan sasaran? Mengapa pula para penguasa negara-negara Islam melakukan hal yang sama, sebagaimana yang dilakukan oleh Barat kafir penjajah? Apa pula yang mesti dilakukan oleh umat Islam untuk melawan propaganda “perang melawan radikalisme”?

Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada pengamat politik internasional, H. Budi Mulyana, S.I.P., M.Si., dalam rubrik Hiwar kali ini. Berikut hasil wawancaranya.

 

Mengapa isu radikalisme kembali menguat? Apa factor-faktor yang melatarbelakanginya?

Menguatnya isu radikalisme di negeri ini disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya dikaitkan dengan fenomena politik di negeri ini. Mulai dari Pilkada Jakarta hingga Pilpres yang lalu. Ini menunjukkan menguatnya isu radikalisme dalam proses politik yang terjadi.

Hal ini yang menyebabkan seolah masyarakat menjadi terbelah menjadi kubu-kubu, yang tidak lagi pragmatis, namun lebih substansial. Dugaannya adalah disebabkan oleh menguatkan pemahaman radikalisme, khususnya radikalisme agama di negeri ini.

Di sisi lain, isu terorisme yang menjadi turunan dari isu radikalisme dianggap sudah usang dan tidak mendapatkan relevansinya. Aksi-aksi teror yang terjadi tidak sekuat pada masa sebelumnya. Proses penangangan terorisme pun mendapatkan kritik karena dianggap tidak menyelesaikan akar masalahnya. Radikalismelah yang kemudian disasar. Karena itu isu radikalisme kembali mencuat menggantikan isu terorisme.

 

Siapa yang di sasar dengan isu radikalisme ini?

Islam dan umatnya yang menjadi sasaran. Pasalnya, simbol Islamlah yang muncul dari berbagai isu yang terjadi. Penolakan terhadap pemimpin kafir, respon terhadap pembakaran bendera tauhid, dorongan untuk memilih pemimpin yang berpihak kepada umat Islam, dan lainnya, bisa menjadi indikasi ke arah sana.

 

Jika demikian, benarkah isu radikalisme itu untuk memerangi Islam?

Bisa jadi, wallahu ‘alam.

 

Seperti apa implementasinya?

Dalam tataran implementatif. Screening terhadap pegawai negeri yang dianggap terlalu ‘islami’ terjadi. Kriminalisasi terhadap pengguna cadar, pemakaian kalimat tauhid, pertanyaan yang membenturkan Pancasila dengan ‘khilafah’, ‘negaraIslam’, dan yang semisal, terjadi. Banyak lagi yang lainnya.

 

Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan isu ini ust?

Yang diuntungkan tentu yang membuat isu ini sebagai agenda mereka. Juga orang-orang pragmatis yang mencari keuntungan sendiri melalui proyek yang membuat isu ini.

 

Namun, ada sebagian dari umat Islam yang justru menjadi bagian yang ikut terlibat bahkan menjadi pemain dalam isu radikalisme. Bagaimana ini?

Ada beberapa kemungkinan. Pertama: Mereka adalah agen dari Barat untuk turut bermain dalam isu radikalisme ini. Kedua: Mereka adalah orang-orang yang mencari keuntungan pribadi dengan isu radikalisme ini, mencari uang dari proyek-proyek Barat. Mereka tidak peduli bahwa apa yang mereka lakukan justru akan menghancurkan Islam dan umatnya. Ketiga: Mereka adalah orang-orang yang terbawa oleh arus tsaqafah Barat. Menganggap isu radikalisme adalah hal yang wajar sesuai dengan kealamiahan perkem-bangan isu sosial. Mereka tidak peka, bahwa di balik isu yang berkembang, pasti ada pihak yang berkepentingan.

 

Adakah kaitannya isu radikalisme dengan konteks global?

Tentu. Pasalnya, isu radikalisme awalnya dihembuskan oleh Barat. Isu ini kemudian dipropagandakan oleh Barat dalam rangka menggerus nilai-nilai fundamental yang bertentangan dengan keyakinan sekularisme ala Barat.

 

Apakah ada kaitannya dengan agenda Amerika yang mengubah isu dari “War on Terrorist to War on Radicalist”?

Pada pidato pertamanya tanggal 28 Februari 2017, Presiden Donald J. Trump dalam sidang Kongres mengucapkan dua kata yang tidak pernah dikatakan presiden Amerika di depan umum, yakni terma “Islam radikal.”

Padahal dua presiden sebelumnya, Bush dan Obama, memilih menggunakan ungkapan “Perang Melawan Teror” atau “War on Terror”.

Secara resmi, Presiden George W. Bush pertama kali menggunakan ungkapan “perang melawan teror” pada tanggal 20 September 2001, pada sebuah pidato dalam Kongres, sesaat setelah serangan terhadap World Trade Center di New York pada tanggal 11 September.

Pada tahun 2013, Pemerintahan Obama mengumumkan bahwa AS adalah tidak lagi melakukan “perang melawan teror,” namun ekspresi politiknya masih menggunakan terma tersebut.

Perubahan terma yang dilakukan oleh Trump ini membawa implikasi pada perubahan dukungan kebijakan luar negeri Amerika Serikat kepada negara-negara yang selama ini sejalan dengan propaganda Amerika dalam mencengkeramkan hegemoninya di dunia ini. Indonesia termasuk di dalamnya.

 

Mengapa agenda Amerika berubah dari terorisme menjadi radikalisme?

Teror, seperti yang dikemukakan banyak ahli, bukanlah ideologi atau satu perangkat keyakinan (set of values). Teror juga bukan organisasi, institusi pemerintahan atau negara yang dengan itu seseorang dapat berperang. Teror adalah sebuah taktik. Ini adalah bentuk perang asimetris. Di sini pemain yang lemah mencoba memaksa pemain kuat untuk mengubah perilaku mereka dengan menundukkan militer, institusi pemerintah dan penduduk sipil dengan tindakan kekerasan secara acak.

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok garis keras kebijakan luar negeri telah mengkritik Pemerintah AS karena keengganannya untuk menggunakan istilah “Islam radikal” sebagai indikasi keengganan untuk mengakui sifat sebenarnya dari ancaman terhadap kepentingan strategis AS.

Implikasinya, teror yang dibungkus dengan istilah jihad, adalah konsekuensi inheren dari radikalisasi Islam dan keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan kata lain, radikalisme Islam dan kekerasan jihad adalah sinonim.

Dulu, pemerintahan Bush dan Obama memilih untuk tidak menggunakan ungkapan itu karena takut tindakan AS akan ditafsirkan sebagai perang melawan Islam dan komunitas Muslim dunia. Kini, Donald Trump mengarahkan pemerintah ke arah yang berbeda. Beberapa anggota penasihat Presiden telah berpendapat bahwa Amerika Serikat sedang berperang dengan “terorisme radikal Islam,” atau “Islam radikal”, atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti “Islamisme.”

Mereka telah menggambarkan perang ini sebagai sebuah perjuangan ideologis untuk melestarikan peradaban Barat, seperti dulu ketika berperang melawan Nazisme dan Komunisme.

Istilah Islam radikal yang diungkapkan Trump karena ia berpikir bahwa Islam membenci Amerika. Ini karena sulit memisahkan antara teroris Muslim dengan ajaran Islam itu sendiri. Menurut Trump, “Can be no compromise with this form of radical Islam.”

 

Jika demikian, benarkah isu radikalisme ini perang global untuk semakin menyudutkan umat Islam?

Saya memandang realitasnya demikian. Isu radikalisme sama sekali tidak ditujukan kepada selain Islam dan umatnya. Sebagaimana isu terorisme sebelumnya. Islamlah yang disasar, bukan yang lain.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam menangkal isu radikalisme ini?

Pertama: Umat Islam tidak boleh takut menunjukkan kesejatian dirinya. Isyhadu bi anna Muslimun. Sebagai dorongan dari keyakinan akidah terhadap Islam yang kaffah, yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., umat tidak boleh ada keraguan sedikitpunwalaupun ada celaan dari orang-orang munafik dan jahil.

Kedua: Umat Islam harus dapat menunjukkan bahwa apa yang dituduhkan dengan isu radikalisme ini adalah sebuah kesalahpahaman terhadap Islam. Di sinilah fungsi penting dari dakwah Islam secara kaffah. Islam adalah rahmatan lil alamin. Tidak ada sedikit pun dari Islam yang merupakan wahyu dari Allah SWT yang akan membuat manusia dalam kesengsaraan dan kebinasaan. Justru pemahaman yang keliru dari Islamlah yang akan menjauhkan Islam dari sifat rahmat nya.

Ketiga: Umat Islam juga harus memahami bahwa isu radikalisme ini adalah upaya dari musuh Islam untuk menjauhkan Islam dari kesejatiannya. Islam kaffah. Caranya dengan memberikan stigma buruk terhadap Islam, dan mendekatkan Islam dengan pemahaman keliru ala sekularisme Barat. Pastinya, ini akan semakin menjauhkan Islam dari umatnya, dan akan menjauhkan dari upaya umat untuk menerapkan Islam secara kaffah. WalLahualam. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 2 =

Back to top button