Ustadz H. Ismail Yusanto: Identitas Politik Islam Itu Wajib
Pengantar Redaksi:
Meski Pilpres dan Pilkada masih jauh, dunia politik di Tanah Air sudah diramaikan dengan narasi ‘politik identitas’. Apa sebetulnya politik identitas? Apa bedanya dengan identitas politik yang sejatinya akan selalu ada pada partai politik manapun? Apa target dan tujuan dari upaya mengembangkan terus narasi tersebut? Mengapa sasaran narasi ‘politis identitas’ selalu kelompok Islam dan kaum Muslim? Apa sikap kita seharusnya dalam merespon narasi tersebut?
Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang disampaikan oleh Redaksi kepada Ustadz H. Ismail Yusanto kali ini. Berikut ini jawaban dan penjelasan beliau.
Aktivis, kelompok atau ormas Islam sering dituduh menggunakan politik identitas. Benarkah demikian, Ustadz?
Ya. Benar sekali. Setiap kali bicara tentang agama (Islam) atau aspirasi umat Islam, dan dengan Islam itu lalu kita menginginkan pengaturan negeri ini didasarkan, pasti segera kita dituding seperti itu. Dulu dengan istilah primordial atau dituding hanya mementingkan kelompoknya saja. Kini dengan istilah politik identitas. Karena itu tidak sedikit orang yang kemudian menghindar diri dari terlalu tampak membela Islam karena jengah dengan tudingan semacam itu.
Namun, benarkah keinginan seperti itu artinya telah menggunakan politik identitas? Apa itu identitas atau politik identitas sebenarnya?
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), identitas merupakan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang atau jatidiri. Manusia yang memiliki identitas adalah mereka yang menyadari tanda khusus atau ciri-ciri yang melekat pada dirinya.
Adapun politik identitas, dikutip dari Wikipedia, adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jatidiri kelompok itu. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrem. Tujuannya untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.
Berdasarkan dua pengertian di atas, bisa disimpulkan bahwa politik identitas adalah politik yang menekankan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan dan bahasa yang menjadi ciri atau tanda khas dari seseorang. Contoh terkenal adalah politik apartheid di Afrika Selatan yang membagi warganya menjadi dua golongan berdasarkan ciri fisik, yakni mereka yang berkulit hitam dan yang berkulit putih.
Di Indonesia politik identitas sering didasarkan pada kepercayaan, agama dan suku bangsa, yang digunakan untuk meraih tujuan politik, termasuk untuk menjegal lawan politik.
Di sisi lain, tatkala musim kampanye tiba, banyak parpol dan caleg yang menggunakan “identitas” Islam bahkan kedaerahan. Apakah ini bisa disebut politik identitas?
Itulah politik identitas yang sebenarnya. Mereka memanfaatkan identitas agama (Islam) dalam pakaian seperti peci, baju koko, kerudung, atau dalam acara keagamaan seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. untuk kepentingan politiknya. Setelah kekuasaan didapat, bukan hanya simbol-simbol itu ditanggalkan, bahkan Islam dan umat Islam yang semula didekati pun lalu dijauhi, bahkan dimusuhi.
Benarkah tampak ambiguitas dalam mendefinisikan politik identitas?
Iya. Jelas sekali. Itu bergantung pada sudut pandang dan kepentingan di balik itu. Politik identitas memang bisa berdampak negatif, seperti memunculkan sentimen negatif antarsuku, ras, golongan dan agama. Ini akan mengganggu hubungan antarmanusia, menghambat proses asimilasi dan integrasi, mengurangi atau bahkan menghilangkan objektivitas ilmu pengetahuan, menyebabkan terjadinya diskriminasi, menimbulkan konflik antarkelompok.
Namun, politik semacam itu juga bisa berdampak positif. Di antaranya: memperkuat kohesivitas kelompok, memunculkan kesetiaan terhadap cita-cita bersama, membangkitkan semangat perjuangan, menjaga keutuhan dan kestabilan budaya.
Sebenarnya sangat aneh jika ini hari hal seperti ini dipersoalkan. Bukankah hal biasa jika orang punya aspirasi berdasar identitas, seperti tuntuan kesetaraan jender yang berdasar identitas kelamin? Jika aspirasi berdasar identitas kelamin, suku, bahkan orientasi seksual mesti diterima sebagai kewajaran, mengapa jika berdasar identitas agama (Islam) menjadi tidak boleh?
Apalagi faktanya adanya partai politik berbasis agama atau religious political party merupakan fenomena biasa di dunia, baik di negara-negara yang meresmikan agama tertentu sebagai identitas negara, seperti Israel, Pakistan, dan Afghanistan, maupun di negara-negara sekuler seperti Jerman dan Belanda. Di Jerman ada partai Kristen (Christian Democratic Union – CDU). Bahkan partai yang didirikan pada tahun 1950, sebagai tempat berkumpulnya semua pemilih konservatif Kristen di sana, menjadi kekuatan politik paling dominan dan telah memimpin Jerman lebih dari 50 tahun, hingga sekarang. Dalam Pemilu di Eropa tahun 2019 mereka mendapat 28,9%. Dalam Pemilu Jerman tahun 2017 mereka mendapat 33% (246 kursi).
Penelitian Nancy L Rosenblum dari Harvard University terhadap partai-partai berbasis agama dan etnis di Eropa dan Turki menunjukkan bahwa munculnya partai-partai berbasis agama dan etnis ke dalam arena politik berkontribusi pada konsolidasi rezim demokrasi. Jika demikian, mengapa di Indonesia yang mayoritas Muslim aspirasi berdasar Islam malah dipersoalkan? Jika tidak lagi boleh menggunakan Islam, lalu umat Islam mesti menggunakan identitas apa untuk memperjuangkan aspirasi Muslim di negeri ini?
Bila demikian, apakah jargon politik identitas itu sejatinya untuk mengkriminalisasi dakwah syariah kaaffah? Apa targetnya?
Iya. Tampak sekali kecenderungan ke arah sana. Jika benar mereka mengakui prinsip kedaulatan rakyat dalam demokrasi, mestinya apa saja aspirasi rakyat itu, termasuk jika berdasar Islam, haruslah diterima. Faktanya, kini malah makin gencar dikampanyekan penolakan dengan aneka sebutan: radikal-radikul lah, fundamentalis lah, garis keras lah, termasuk sebutan politik identitas. Targetnya, supaya orang merasa bersalah sehingga tidak lagi menggunakan Islam dalam berpolitik atau tak lagi getol memperjuangkan aspirasi Islam karena dianggap buruk. Akibatnya, politik Islam makin tersisih.
Siapa saja yang diuntungkan dengan kampanye ini?
Siapa lagi kalau bukan kelompok sekuler dan pembenci Islam. Mereka tahu, kekuatan potensial yang bakal menghadang kepentingan politik mereka, seperti yang mereka alami dalam Pilkada DKI tahun 2017 lalu, adalah politik Islam. Karena itulah mereka berusaha keras menghancurkan kekuatan potensial itu dengan gencar mengkampekan penolakan terhadap politik identitas. Dengan cara itu, di satu sisi, mereka bisa mengeliminasi kekuatan Islam dalam kontestasi politik. Di sisi lain acap mereka juga memanfaatkan agama untuk kepentingan politik mereka.
Sejatinya bagaimana seharusnya hubungan Islam versus politik? Politik berdasarkan Islam atau politisasi Islam?
Seorang Muslim sewajarnya, bahkan semestinya, menjadikan Islam sebagai dasar dalam berpolitik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Jika politik adalah pengaturan urusan rakyat maka pengaturan yang baik itu mestilah berdasar Islam. Andai sekalipun pun politik diartikan sebagai seni meraih kekuasaan (the art of getting power), maka cara untuk meraih kekuasaan juga haruslah sesuai dengan ajaran Islam. Ketika kekuasaan didapat, harus pula digunakan untuk dan dijalankan sesuai ajaran Islam pula. Inilah yang disebut islamisasi politik.
Sebaliknya, orang-orang sekuler menjadikan Islam untuk kepentingan politik. Sadar besarnya pengaruh pesantren dan kiainya terhadap konstituen, misalnya, maka jelang Pemilu berbondong-bondong datanglah mereka ke pesantren, berpakaian ala pesantren, berlagak seperti orang pesantren, berucap dengan bahasa pesantren. Partai sekuler pun ramai-ramai bikin organ sayap yang berbau Islam. Dulu pada masa Orde Baru ada Satkar Ulama Golkar, ada GUPPI dll. Cara seperti itu kini dipakai juga. Lihat saja, sebagai contoh, di PDI-P ada Baitul Muslimin. Semua itu dilakukan bukan karena mereka benar-benar hendak memperjuangkan Islam, tetapi sekedar guna meraih simpati dari pemilih Muslim sehingga suara dalam pemilu bisa meningkat. Setelah kekuasan didapat, mereka acap bertindak bertentangan dengan Islam, seperti penolakan terhadap RUU Miras, juga terhadap masuknya kata iman dan takwa dalam tujuan pendidikan nasional dan lain sebagainya. Inilah yang disebut politisasi Islam.
Jadi, apa bedanya islamisasi politik dengan politisasi Islam?
Politisasi Islam sekadar memanfaatkan Islam untuk kepentingan politik. Kepentingan politik mereka sejatinya tak ada kaitannya dengan Islam. Sebaliknya, islamisasi politik adalah kegiatan politik berdasarkan Islam dan dilakukan untuk memberi manfaat bagi kemajuan Islam. Inilah politik Islam yang sebenarnya. Berpolitik untuk ibadah.
Sering dikampanyekan jika politik berdasar syariah Islam itu akan berdarah-darah, terjadi pemaksaan kehendak agama/kepentingan, Indonesia akan pecah dan stigma buruk lainnya. Betulkah?
Itulah cara mereka untuk mendiskreditkan Islam. Mengembangkan pandangan buruk tentang politik Islam dan menimbulkan perasaan takut terhadap Islam di tengah publik. Inilah yang disebut monsterisasi Islam. Islam adalah agama yang diturunkan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jelas bukan monster. Namun, mereka mencitrakan seolah Islam itu menyeramkan bagaikan monster.
Karena itu penting melawan kampanye buruk ini, dengan penjelasan yang jelas dan tegas. Misalnya, mengapa kita menginginkan Islam sebagai dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara? Mengapa harus Islam? Memang ini soal identitas dan bagaimana kita memaknai identitas itu. Buat sebagian orang, mungkin identitas Islam itu diangap sekadar sebuah label, yang tidak terlalu penting, yang karena itu bisa dipakai dan ditanggalkan setiap saat. Namun, bagi Muslim sejati, Islam itu adalah cara pandang. Jika ia sebuah identitas, maka itu identitas yang sangat penting dan mempunyai makna yang amat mendalam.
Lagi pula, jika keprihatinan kita kepada berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara disebut sebagai kepedulian, maka dengan tawaran Islam sebagai solusi, membuat kepedulian ini bukan sembarang kepedulian, melainkan kepedulian yang bersifat transendetal.
Mengapa kepedulian transedental itu penting? Karena dengan kepedulian itu kita juga ingin sekaligus beribadah dan mendapatkan berkah. Disebut ibadah, karena kepedulian itu merupakan perwujudan ketaatan kita kepada Sang Pencipta dengan sebuah keyakinan, bahwa dengan Islam berbagai problematika yang dihadapi negeri ini, juga dunia, akan bisa teratasi dengan baik. Tentu karena Allah SWT memang menetapkan Islam dengan aturannya itu sebagai jalan atau cara untuk kita menyelesaikan berbagai persoalan itu dengan sebaik-baiknya.
Apa yang akan terjadi jika politik berlandaskan Islam atau negara mengatur sesuai syariah Islam?
Ini soal output apa yang bakal didapat ketika Islam dijadikan dasar pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Output yang didapat pastilah sebuah kebaikan. Kita harus menjelaskan dan meyakinkan publik, bahwa negeri ini, dan apa saja yang diatur dengan Islam, akan diliputi keberkahan. Melalui sebuah hadis qudsi, Allah SWT menyatakan (yang artinya): Jika Aku ditaati, Aku ridha. Ketika Aku ridha, Aku berkahi. Jadi, dengan taat, Allah SWT akan ridha, dan dengan ridha, berkah akan kita bisa raih.
Berkah menurut bahasa sebagaimana disebut dalam Kamus al-Munawwir (1997) berasal dari kata al-barakah. Artinya nikmat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), berkah artinya “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”. Soal bagaimana berkah ini didapat, lebih jauh dijelaskan al-Quran surah al-A’raf ayat 96.
Jadi, dengan Islam berkah akan didapat. Ini bukan sembarang keyakinan. Jika keyakinan umumnya bersifat subyektif, maka ini jenis keyakinan yang obyektif. Artinya, kebaikan yang bakal ditimbulkan oleh Islam bisa diuji, dikaji dan diteliti.
Misal, soal riba. Bisa dikaji, manakah sistem ekonomi keuangan yang lebih baik, yang dengan riba ataukah yang tanpa riba. Bila diyakini bahwa riba itu sumber labilitas ekonomi, keyakinan semacam ini juga bisa dikaji dan diteliti, apakah benar begitu. Obyektivitas itulah yang akan menepis tudingan bahwa pejuangan Islam itu hanya demi kepentingan kelompok, dan karena itu pantas disebut sebagai politik identitas.
Islam itu risalah universal, bukan lokal apalagi individual. Kebaikan atau keberkahan Islam itu juga pasti bersifat universal. Tidak mungkin bersifat personal. Itu pula yang diyakini oleh para founding father kita dulu ketika menyatakan bahwa kemerdekaan ini “atas berkat rahmat Allah”. Jika kemerdekaan itu diyakini atas berkah rahmat Allah, lantas siapa yang mendapatkan keberkahan dari kemerdekaan itu? Apakah hanya orang Islam saja?
Sayang sekali, dalam konteks pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kata berkah itu kini hampir-hampir tak lagi disebut kalau tidak boleh dikatakan sudah dilupakan sama sekali. Padahal, mengingat pentingnya berkah, semestinya ke sanalah pembangunan negara diorientasikan. Wajar belaka bila kemudian negeri ini tak pernah surut dirundung berbagai duka dan luka. Pihak yang menyerukan penerapan Islam malah dipersekusi, dituding radikal dan sekarang ditambah dengan tudingan menggunakan politik identitas.
Apa yang dilakukan oleh umat agar tidak terjebak dengan kampanye hitam politik identitas?
Pemahaman dan kesadaran. Itulah kunci umat terhindar dari kampanye hitam itu. Harus dipahami bahwa memperjuangkan Islam hingga bisa menjadi dasar dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa disebut tindakan mementingkan kelompok atau mengembankan politik identitas, apalagi radikal. Justru hal itu menunjukkan kepedulian yang nyata terhadap keadaan negara dan masa depannya, sekaligus memberikan solusi atas segala problematika sehingga mendatangkan keberkahan bagi semua. []