Cara Islam Membiayai Pembangunan Infrastruktur
Proyek mercusuar pemerintahan Jokowi dalam bentuk pembangunan infrastruktur banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan. Bahkan ada yang berpendapat pembangunan infrastruktur saat ini mirip dengan zaman penjajahan Belanda. Pembangunan infrastruktur pada zaman Belanda bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan penjajah Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi. Pembangunan infrasturktur sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan para kapitalis. Contoh paling nyata adalah pembangunan jalan kereta api cepat Bandung Jakarta. Proyek tersebut jelas tidak urgen karena sudah ada jalan tol, sudah tersedia jalan kereta api. Bahkan Ignatius Johan, Menteri Perhubungan saat itu, menolak proyek tersebut dan memberikan solusi dengan membangun double track dengan biaya yang sangat murah dan bisa memperlancar arus transportasi Jakarta Bandung. Namun, usulan itu ditolak oleh Jokowi karena sebenarnya yang diincar oleh para kapitalis adalah puluhan ribu hektar tanah PT Perkebunan (PTPN) yang akan dijadikan area bisnis dan komplek perumahan atau kota baru untuk kepentingan para kapitalis. Jelas keberadaan kereta api cepat adalah fasilitas untuk kepentingan para kapitalis. Begitu juga proyek pembangunan pelabuhan dan bandara serta bendungan seperti Bendungan Jati Gede yang baru diresmikan tahun lalu di Jawa Barat. Semuanya tidak memiliki dampak signifikan terhadap rakyat. Bahkan rakyat hanya jadi korban. Justru infrastruktur yang dibutuhkan rakyat seperti gedung sekolah yang hampir ambruk, jembatan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, tidak menjadi prioritas, bahkan diabaikan, karena di sana tidak ada kepentingan para kapitalis.
Infrastruktur dalam Perspektif Islam
Infrastruktur merupakan bangunan fisik yang berfungsi untuk mendukung keberlangsungan dan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi suatu masyarakat. Berdasarkan pengertian tersebut, keberadaan infrastruktur akan sangat menunjang kemajuan sosial dan ekonomi suatu masyarakat. Dalam Infrastructure Engineering and Management, Neil S Grigg mengkategorikan infrastruktur menjadi tujuh kategori berdasarkan fungsinya, yakni:
- Infrastruktur transportsi semisal: bandara, jembatan, stasiun, terminal, dan jalan raya.
- Infrastruktur air dan limbah seperti: saluran drainase dan pipa pembuangan air limbah.
- Infrastruktur pengelolaan limbah padat seperti: landfill.
- Infrastruktur produksi dan distribusi energi seperti: pembangkit listrik, jaringan kabel, jaringan transmisi, gardu induk.
- Infrastruktur bangunan gedung seperti: perkantoran, rumah, apartemen, mall, gedung kantor.
- Infrastruktur rekreasi seperti: taman rekreasi, taman kota.
- Infrastruktur komunikasi seperti: jaringan kabel telekomunikasi, menara komunikasi.
Berbeda dengan yang disampaikan oleh Neil di atas, Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah yang dikeluarkan Hizbut Tahrir Indonesia, membagi infrastruktur dari sisi kepemilikan menjadi 3 jenis. Pertama: Infrastruktur milik umum. Jenis ini terbagi menjadi dua yaitu: (i) Jalan-jalan umum dan sejenisnya seperti laut, sungai, danau, kanal atau terusan besar seperti terusan suez, lapangan umum dan masjid. (ii) Pabrik/industri yang berhubungan dengan benda-benda milik umum seperti pabrik/industri eksplorasi pertambangan, pemurnian dan peleburannya; juga pabrik/industri minyak bumi dan penyulingannya. Jenis pabrik/industri ini boleh dijadikan milik umum, mengikuti (hukum) benda-benda yang dihasilkan pabrik tersebut dan yang berkaitan dengannya.
Kedua: Infrastruktur milik negara yang disebut dengan marâfiq. Marâfiq adalah bentuk jamak dari kata mirfaq, yaitu seluruh sarana yang dapat dimanfaatkan; meliputi sarana yang ada di pedesaan, propinsi maupun yang dibuat oleh negara selama sarana tersebut bermanfaat dan dapat membantu. Marâfiq ‘âmmah ialah seluruh sarana umum yang disediakan negara agar dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat seperti:
- Sarana pelayanan pos, surat menyurat, telepon, kiriman kilat, teleks, sarana televisi, perantara satelit, dan lain-lain.
- Alat pembayaran berupa alat tukar, jasa titipan, pertukaran mata uang, uang emas dan perak cetakan, atau penukaran uang cetak. Negara melayani berbagai transaksi tadi. Selama pelayanannya tidak mengandung riba, dibolehkan.
- Sarana transportasi umum, seperti kereta api yang berjalan bukan pada jalan umum. Jika kereta api berjalan di jalan umum berarti menjadi milik umum, mengikuti hukum jalan umum. Begitu pula pesawat terbang dan kapal laut. Sarana-sarana ini bisa dimiliki oleh individu. Seseorang boleh memilikinya. Pada saat yang sama, negara juga harus memiliki sarana-sarana tersebut, baik pesawat terbang, kereta api, kapal laut, jika dilihatnya terdapat maslahat bagi kaum Muslim, dan sangat mendesak untuk membantu mereka, serta memudahkan mereka untuk bepergian.
- Pabrik atau industri. Pabrik atau industri yang menjadi milik negara adalah pabrik-pabrik yang berhubungan dengan industri berat dan industri militer. Jenis pabrik ini boleh dimiliki oleh individu, karena bagian dari pemilikan individu. Akan tetapi, pabrik-pabrik dan industri semacam ini memerlukan modal yang sangat besar. Sangat sulit dapat dilakukan oleh seorang individu. Lagi pula (industri) senjata berat saat ini tidak bisa dibandingkan dengan (industri) senjata perorangan (ringan) yang dapat dimiliki individu, seperti yang terjadi pada masa Rasulullah saw dan para Khalifah sesudah beliau. Jadi harus dimiliki oleh negara. Negaralah yang membangunnya. Sudah menjadi kewajiban negara mengatur dan membangunnya.
Ketiga: Infrastruktur yang bisa dimiliki individu seperti industri berat dan senjata, landasan pesawat terbang, sarana ransportasi seperti bus dan pesawat terbang serta yang lainnya.
Startegi Pembiayaan dan Pengelolaan
Dalam sistem ekonomi kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia, biaya pembangunan dan pemeliharaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar penerimaan negara, dari pinjaman atau uang luar negeri dan melalui skenario kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) yaitu kontrak kerjasama antara Pemerintah dan swasta dalam penyediaan infrastruktur atau layanan publik dalam jangka waktu panjang (biasanya 15-20 tahun). Pada akhirnya masyarakat yang harus menanggung beban bak secara langsung melalui pungutan penggunanan infrasturktur seperti tarif tol yang semakin mahal maupun melalui pungutan tidak langsung dalam bentuk peningkatan berbagai pungutan pajak.
Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang masuk kategori milik umum harus dikelola oleh negara dan dibiaya dari dana milik umum. Bisa juga dari dana milik negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya. Walaupun ada pungutan, hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain. Ini termasuk juga membangun infrastruktur atau sarana lain yang menjadi kewajiban negara untuk masyarakat seperti sekolah-sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, jalan-jalan umum, dan sarana-sarana lain yang lazim diperuntukkan bagi masyarakat sebagai bentuk pengaturan dan pemeliharaan urusan mereka. Dalam hal ini, negara tidak mendapat pendapatan sedikit pun. Yang ada adalah subsidi terus-menerus. Jadi, sama sekali tidak ada pos pendapatan dari sarana-sarana ini.
Dalam pandangan Islam, ada sejumlah aset/sumberdaya yang terkategori kepemilikan umum yang mencegah pemberian hak khusus/hak eksklusif pemilikan atau penguasaan sumberdaya tersebut kepada individu atau kelompok tertentu.
Meskipun negara sama-sama sebagai pihak yang mengelola kepemilikan umum dan juga mengelola milik negara, terdapat perbedaan di antara dua kepemilikan tersebut. Setiap benda yang tergolong milik umum seperti minyak bumi, gas dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak, laut, sungai, mata air, lapangan, hutan belukar, padang gembalaan, dan masjid; semua itu tidak boleh dialihkan kepemilikannya untuk siapa pun, baik individu maupun kelompok. Semuanya milik seluruh kaum Muslim. Semua itu wajib dikelola oleh Khalifah sehingga memberi peluang seluruh manusia dapat memanfaatkan kepemilikan ini. Khalifah dapat menjadikan tanah maupun bangunan yang termasuk milik negara dimiliki oleh orang-orang tertentu baik bendanya maupun manfaatnya, atau manfaatnya saja tanpa memiliki bendanya, atau mengizinkan untuk menghidupkan dan memilikinya. Khalifah mengatur hal itu dengan melihat kebaikan dan kemaslahatan bagi kaum Muslim.
Infrastruktur jenis kedua yang merupakan milik negara, maka keempat jenis sarana/infrastruktur tersebut harus disediakan negara untuk melayani masyarakat dalam memudahkan kehidupan mereka. Karena infrastruktur tersebut milik negara maka dimungkinkan negara mendapat atau memperoleh pendapatan dengan menentukan tarif tertentu atas pelayaananya termasuk juga mengambil keuntungan. Pendapatan dan keuntungannya pun menjadi milik negara dan menjadi salah satu pemasukan Baitul Mal, yang ditaruh pada pos fai dan kharaj. Dana itu digunakan sesuai dengan peruntukkannya.
Adapun jenis infrastruktur yang ketiga, yaitu infrastruktur yang dibangun oleh individu dan menjadi milik individu atau swasta, maka tidak boleh dilarang oleh negraa. Negara bahkan mendorong setiap individu berperan aktif dalam membantu Pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat dan akan mengaturnya sesuai dengan hukum syariah dan kemaslahatan umat.
Pembiayaan dengan Utang dan Pajak
Dari sisi jangka waktu pengadaannya infrastruktur dalam islam dibagi menjadi dua jenis: (i) Infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Misal, satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, saluran air minum. (ii) Infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid dll.
Infrastruktur kategori yang kedua tidak boleh dibangun jika negara tidak memiliki dana sehingga tidak dibolehkan pembangunan infrastruktur tersebut dengan jalan utang dan pajak. Jadi infrastruktur kategori yang kedua hanya boleh dibangun ketika dana APBN atau Baitul Mal mencukupi.
Adapun infrastruktur kategori yang pertama, tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana APBN atau Baetul Mal, harus tetap dibangun. Jika ada dana APBN atau Baitul Mal maka wajib dibiayai dari dana tersebut. Akan tetapi, jika tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak (dharîbah) dari rakyat. Jika waktu pemungutan dharîbah memerlukan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, maka boleh negara meminjam kepada pihak lain. Pinjaman tersebut akan dibayar dari dana dharîbah yang dikumpulkan dari masyarakat. Pinjamaan yang diperoleh tidak boleh ada bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada pemberi pinjaman.
Hanya saja terdapat perbedan yang mendasar antara pajak dalam sistem Islam dan pajak dalam sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara yang dipungut dari banyak sekali item yang ditetapkan sebagai objek pajak. Pemungutan pajak dalam Kapitalisme dilakukan terhadap seluruh warga negara dan secara permanen/berkelanjutan. Adapun dalam pandangan Islam, pajak (dharîbah) hanya dipungut dalam kondisi kas negara dalam keadaan kosong dan dipungut dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharîbah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi. Selebihnya, pemasukan negara dalam Khilafah Islamiyah didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diizinkan oleh Asy-Syâri’ berupa harta-harta fai dan kharaj, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat (khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh dicampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat). [Adam Romulo dan Anas].
Referensi
- Grigg, Neil S. (1988), Infrastructure Engineering and Management, John Wiley and Sons, N.Y., USA.
- Zallum, Abdul Qadim (2009), Sistem Keuangan Negara Khilafah, HTI Press, Bogor, Indonesia.