Telaah Kitab

Peraturan Kepegawaian Dalam Daulah Khilafah

(Muqaddimah ad-Dustur Pasal 98-101)

Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy

Pasal 98 menjelaskan hak warga negara Khilafah untuk diangkat menjadi direktur (mudir) atau menjadi pegawai di dalam Jihaz Idari (Struktur Administrasi), baik laki-laki maupun wanita, Muslim maupun kafir. Ketentuan ini diadopsi dari hukum-hukum ijârah (kontrak kerja).  Sebab, para mudir dan pegawai merupakan pekerja yang diatur berdasarkan hukum-hukum ijârah.

Negara Khilafah boleh mempekerjakan pekerja secara mutlak, baik Muslim maupun kafir, berlandaskan keumuman dan kemutlakan dalil-dalil ijarah Allah SWT berfirman:

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) kalian demi kalian, maka berikanlah kepada mereka upahnya (QS ath-Thalaq [65]: 6).

Ayat ini berlaku umum, tidak dikhususkan hanya seorang Muslim saja, tetapi juga mencakup kafir.

Abu Hurairah ra. Juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

قَالَ اللَّهُ ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ

Allah SWT berfirman, “Ada tiga kelompok yang nanti pada Hari Kiamat akan Aku perkarakan yaitu: seseorang yang berjanji dengan menyebut nama-Ku, kemudian ia berkhianat; seseorang yang menjual orang merdeka (bukan budak) kemudian ia memakan hasil penjualannya itu; dan seseorang yang mempekerjakan seorang pekerja, kemudian pekerja tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak mau memberikan upahnya.” (HR al-Bukhari).

Kata al-ajîir di dalam hadis ini bersifat mutlak, tidak dibatasi dengan Muslim saja.  Selain itu Nabi saw. pernah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani ad-Diil, sedangkan ia memiliki tanggungan hutang atas kaumnya, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dari ‘Aisyah ra.

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa seseorang, Muslim maupun kafir, pria maupun wanita, berhak bekerja menjadi direktur atau pekerja di dalam Jihaz Idari, tanpa ada batasan.

Pasal 99 menjelaskan pengangkatan seorang mudîr (direktur) untuk setiap jenjang instansi di Jihaz Idari. Setiap departemen (mashlahat) di Jihaz Idari diangkat seorang mudîr ‘âm (direktur umum) yang secara langsung berwenang mengatur departemen serta mengontrol dan membawahi direktur-direktur pada  jawatan (idârah) dan unit (dâ’irah) pada departemennya. Pada masing-masing dâ’irah (jawatan) dan idârah (unit) diangkat seorang mudîr (direktur) yang berwenang mengatur dan mengontrol instansinya dan bagian-bagian yang menginduk kepadanya.

Direktur umum berwenang mengatur semua urusan administrasi di instansinya.   Para direktur bertanggung jawab kepada pejabat yang memiliki hirarki kepemimpinan tertinggi di masing-masing departemen, jawatan, dan unit.   Ini ditinjau dari sisi tugas dan pekerjaan mereka.  Adapun ditinjau dari sisi keterikatan dengan hukum dan sistem aturan umum, para direktur tersebut bertanggung jawab kepada wali (kepala daerah tingkat I atau wilayah) atau amil (kepala daerah tingkat II).

Pengangkatan direktur umum pada departemen serta direktur pada jawatan dan unit ditujukan agar tugas, pokok, dan fungsi pada masing-masing tingkatan instansi tersebut berjalan secara sempurna.

Adapun Pasal  100 menjelaskan mekanisme penggantian direktur pada Jihaz Idari.  Para direktur departemen, jawatan dan unit tidak dimakzulkan kecuali karena sebab-sebab yang termaktub dalam aturan administrasi.    Namun, mereka boleh dimutasi ke daerah atau tempat lain, dengan tetap melakukan pekerjaan yang sama.  Mereka juga boleh dinonaktifkan dari suatu pekerjaan karena sebab-sebab tertentu.  Pihak yang berwenang memakzulkan, memutasi atau menonaktifkan direktur, baik di departemen, jawatan dan unit adalah pejabat yang memiliki kewenangan tertinggi pada masing-masing departemen, jawatan, dan unit.      

Pasal ini didasarkan pada hukum-hukum yang mengatur para pekerja. Jika pekerja dikontrak untuk melakukan suatu pekerjaan dalam masa tertentu, maka ia tidak boleh dicopot dari pekerjaannya selama masih berada dalam masa kontraknya.   Namun, ia boleh dinonaktifkan dari pekerjaannya dalam masa tersebut. Dalam keadaan seperti ini, pekerja masih berhak mendapatkan gaji. Sebab, ijârah (kontrak kerja)  termasuk akad lâzim (bersifat wajib atau mengikat), bukan akad jâ’iz (bersifat boleh).  Jika akad telah disepakati dua belah pihak, yakni pekerja dan yang mempekerjakan, maka akad tersebut mengikat kedua belah pihak.

Dalil yang menetapkan bahwa para direktur wajib terikat dengan aturan-aturan administrasi di departemen, jawatan dan unit, adalah sabda Nabi saw.:

الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ

Kaum Muslim itu terikat dengan syarat-syarat mereka (HR al-Bukhari).

Setiap orang yang menjalin akad, ia terikat dengan syarat-syarat akad, dan tidak boleh menyimpang dari akad.

Kebolehan para direktur dimutasi juga mengikuti hukum-hukum ijârah.   Seseorang yang dipekerjakan untuk menggali tanah tidak boleh dipindahtugaskan untuk membangun rumah. Namun, ia boleh dipindahtugaskan (mutasi) di tempat lain dengan tetap melakukan pekerjaan yang sama.

Pasal 101 menjelaskan tentang pengangkatan pegawai biasa (bukan direktur), serta pihak yang berwenang mengangkat mereka. Pegawai biasa, baik di tingkat departemen, jawatan maupun unit adalah pekerja (pegawai) yang tunduk di bawah hukum-hukum pekerja.   Oleh karena itu pengangkatan, mutasi, pembinaan dan pencopotan mereka ada pada orang yang memiliki kewenangan tertinggi di departemen, jawatan atau unit tempat mereka bekerja.

Seluruh pegawai yang berkeja pada negara Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijârah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan perlakuan adil sejalan dengan hukum syariah.    Hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur, dilindungi oleh Khilafah. Para pegawai bekerja sesuai dengan bidang masing-masing dengan selalu memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara maupun sebagai rakyat.

Dalam konteks sebagai pegawai, mereka bertugas melayani urusan-urusan rakyat, sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen, jawatan, dan unit. Mereka tidak dibebani dan dituntut melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan dalam aqad ijarah.

Adapun dalam konteks mereka sebagai rakyat, negara Khilafah akan melayani dan memperlakukan mereka hingga apa yang menjadi hak mereka terpenuhi secara sempurna.

Dengan aturan-aturan di atas, pegawai di dalam Jihaz Idari bekerja dengan amanah dan maksimal.  Sebab, mulai dari rekrutmen kepegawaian, diskripsi dan pembagian tugas, paparan hak dan kewajiban tergambar dengan jelas. Hak-hak mereka sebagai pekerja dipenuhi dan dilindungi sepenuhnya oleh Khilafah.  Akibatnya, seluruh pelayanan urusan dan kepentingan rakyat berjalan dengan mudah, cepat, dan dengan hasil yang sempurna.  Kelangsungan roda pemerintahan Khilafah benar-benar terjaga.  Kesejahteraan dirasakan oleh warga negara Khilafah yang akan merembet hingga seluruh umat manusia.   Semua itu disebabkan karena seluruh pegawai Muslim Khilafah bekerja  tidak sekadar karena ingin mendapatkan upah. Lebih dari itu mereka memahami bekerja melayani urusan rakyat merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan.

Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ

Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang Muslim maka Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat (HR al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, seluruh pegawai Jihaz Idari yang Muslim memahami bahwa nafkah yang diperoleh dari hasil usaha sendiri merupakan nafkah yang terbaik. Rasulullah saw. pernah bersabda:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ فَيَأْتِيَ الْجَبَلَ فَيَجِئَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَسْتَغْنِيَ بِثَمَنِهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Sungguh sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil seutas tali kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, yang dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik bagi dirinya daripada dia meminta-minta kepada sesama manusia baik mereka memberi ataupun tidak memberi (HR al-Bukhari).

Imam as-Sanadi, dalam Syarh Sunan Ibnu Mâjah, mengatakan bahwa apa yang diperoleh manusia dengan cara yang terhormat, yakni bekerja keras di kehidupan dunia, lebih baik dibandingkan dengan apa yang dia peroleh dengan cara meminta-minta meskipun ia bekerja keras untuk kehidupan akhiratnya.[1]

Rasulullah saw. juga bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Allah Dawud as. makan dari hasil usahanya sendiri (HR al-Bukhari).

Hadits ini juga menerangkan, sebaik-baik makanan adalah apa yang diusahakan dari jerih payahnya sendiri, tanpa harus bergantung kepada orang lain.[2]

Inilah di antara faktor-faktor non materi yang mendorong pegawai dalam Jihaz Idari bekerja semaksimal mungkin demi mendapat keutamaan yang sangat besar di sisi Allah SWT. [Gus Syams]

[1]  Imam al-Sanadiy, Syarah Sunan Ibnu Majah, hadits 1826

[2]  al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, hadits no. 1930

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 + twenty =

Back to top button