
Bahaya Moderasi Islam
Moderasi. Kata tersebut kini sedang dijalankan oleh Kementrian Agama. Dengan alasan moderasi, ajaran Islam yang mereka anggap radikal dihilangkan dari kurikulum dan buku Pendidikan Agama Islam (PAI).
“Istilah moderasi itu dulu tahun 2000-an dipopulerkan oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai Islam liberal,” ungkap Pak Dhani. “Dan tidak laku. Sebab, realitasnya justru meninggalkan aturan Islam itu sendiri,” tambahnya.
“Namun, dengan makin sekularnya rezim yang berkuasa di Indonesia, gagasan moderasi pun makin diwujudkan,” Pak Hasan nimbrung.
Memang, istilah ‘moderasi’ lahir bukan dari rahim ajaran Islam. Pada tahun 1998, Charles Kurzman dalam bukunya Liberal Islam: a Sourcebook telah menuliskan terkait moderasi ini.
Siapa pun yang mengamati pergerakan Islam akan menemukan bahwa gagasan moderasi itu berkembang paralel dengan tudingan terhadap Islam dan para pejuangnya. Juga paralel dengan berkembangnya sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Pada tahun 1980-an orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam disebut sebagai ekstrem kanan. Tuduhan anti-Pancasila pun disematkan kepada orang yang berpegang pada ajaran Islam. Namun, keterikatan pada ajaran Islam pun tak tergoyahkan. Berikutnya, pada tahun 1990-an siapa saja yang terikat pada syariah Islam disebut dengan tuduhan fundamentalis. Siapa saja yang berpegang kuat pada al-Quran dan as-Sunnah dicap sebagai fundamentalis.
Sejak tahun 2000-an, tepatnya sejak peledakan gedung kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2001, istilah yang dipakai pun berubah menjadi ‘terorisme’. Para aktivis Islam selalu dituduh sebagai ‘teroris’ sekalipun tidak melakukan tindak kekerasan. Apa itu terorisme pun tidak ada definisi yang jelas. Aktivitas dakwah Islam yang menyerukan terikat pada ajaran Islam secara kaffah pada kurun itu senantiasa dikait-kaitkan dengan terorisme.
Di tengah tuduhan itu, wacana moderasi pun digaungkan sekalipun suaranya nyaris tak terdengar. Sekalipun masyarakat memahami bahwa istilah itu bungkus dari paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyikapi hal ini. Pada tahun 2005 melalui Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme Dan Sekularisme Agama, MUI mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme.
“Sejak rezim Jokowi berkuasa tahun 2014 sikap anti-Islam sangat terasa,” kata Pak Dede.
Tuduhan ‘anti-Pancasila’ pun dijadikan palu godam yang memukul siapa saja yang terikat pada Islam atau kritis kepada penguasa. Pada saat rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/11/2019), Menteri Agama Fachrul Razi menyampaikan: “Pelajaran yang dibenahi utamanya adalah Akidah Akhlak, Al-Qur’an dan Hadis. Bukan al-Quran yang dibenahi, ndak. Itu sudah tidak bisa tersentuh. Masalah Fikih, masalah Sejarah Kebudayaan Islam, kemudian Bahasa Arab.”
Jadi, setidaknya ada lima tema tersebut yaitu Akidah Akhlak, Al-Qur’an dan Hadis, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab. Menurut dia, revisi dilakukan untuk mengikuti perkembangan sains dan teknologi serta untuk menyesuakan dengan nilai revolusi mental dan moderasi beragama.
Pada pertengahan Juli 2020, Kementerian Agama Republik Indonesia, melalui Ditjen Pendidikan Islam, mengeluarkan buku modul Membangun Karakter Moderat untuk MI, MTs, dan MA. Dalam pengantarnya ditegaskan bahwa buku tersebut mengandung dua inti, yaitu moderasi agama dan revolusi mental. Menurut Fahmi Lukman, buku tersebut patut dicermati. Mantan Atdikbud RI untuk Mesir itu mengatakan, “Tampak ada upaya penggeseran dari pluralitas sosiologis ke pluralisme teologis/agama.”
Salah satu bukti pernyataan Lukman itu bisa ditemukan dalam buku tersebut untuk MI. Pada halaman 42 ada dialog antara seorang ibu dan anaknya. Anak bertanya, “Bu, jadi kita juga boleh mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani, ya?” Ibunya pun menjawab, “Nak, meski kita berbeda agama, tapi kita semua adalah saudara. Jadi, harus saling menjaga, menghormati, menyayangi dan mengasihi. Tante Greta juga selalu mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, loh, ketika kita merayakannya.”
Padahal menurut Prof. Hamka, tradisi Perayaan Hari Besar Agama Bersama semacam itu bukan menyuburkan kerukunan umat beragama atau membangun toleransi, tetapi menyuburkan kemunafikan. Fatwa MUI tahun 1981 tentang keharaman Perayaan Natal Bersama (PNB) pun terus digugat.
Berkaitan dengan hal ini, Hamid Fahmy Zarkasyi bahwa liberalisasi ini terus berjalan. Pengajar Filsafat Islam dan Direktur Pascasarjana UNIDA Ponorogo ini menambahkan, “Momentum perubahan kurikulum menjadi puncak dari itu (liberalisasi) secara akademik dan sosial.”
Lebih tegas, Ahmad Sastra menyampaikan, “Moderasi Islam menjadikan umat meragukan ajaran Islam, tidak bangga dengan agamanya, dan sinkretisme dengan pemikirian di luar Islam.”
Beliau menambahkan, “Pun demikian, kata wasathiyah yang kerap dihubungkan dengan moderat jelas berbeda maknanya. Jihad bukan terorisme. Khilafah bukan khilafahisme dan radikalisme. Itu penyebutan salah dan fatal.”
Apa yang disampaikan Ketua Forum Doktor Muslim Indonesia itu dapat dijumpai pada beberapa tafsir. Misalnya, di dalam Tafsir Jalalain (1/149) disebutkan bahwa makna ‘ummat[an] wasatha’ dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah ‘khiyar[an] wa ‘udul[an]’ (umat terbaik dan adil).
Hal senada disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/454), makna ummat[an] wasatha adalah ‘khiyaral ummah’ (umat terbaik).
Dalam Tafsir Ath-Thabari (3/141) juga disebutkan ‘wa ammal wasatha fa innahu fi kalamil ‘arab al-khiyar’ (wasatha dalam Bahasa Arab artinya adalah yang terbaik).
Jadi, ummat[an] wasatha bukanlah umat moderat sebagaimana pengertian Barat. Dengan demikian istilah moderasi Islam lebih pada upaya mengubah ajaran Islam ke arah liberal. Karena itu tidaklah mengherankan, atas nama moderasi, ajaran Islam yang dipandang membahayakan sekularisme/kapitalisme/liberalisme maupun sosialisme/komunisme dihilangkan, atau diarahkan sesuai dengan pandangan idelogi kapitalisme ataupun komunisme tersebut.
WalLahu a’lam. []