Muhasabah

Bukan ‘Apa Arti Sebuah Nama’

What’s in a name? (Apa arti sebuah nama?)” kata William Shakespeare.  Pujangga Inggris yang lahir tahun 1564 itu melanjutkan, “That which we call a rose by any other name would smell as sweet (Apa yang kita namai mawar diganti dengan nama lain ia akan tetap wangi),” tambahnya.

Namun, tampaknya ungkapan itu tidak selalu benar.

Pertengahan bulan Oktober 2021 ini, Pemerintah berencana untuk menamai salah satu jalan di Kawasan Menteng Jakarta dengan nama ‘Jalan Mustafa Kemal Attaturk’.  Hal itu ditegaskan oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (17/10/2021).  “Insya Allah bagian dari kerjasama antara negara Indonesia dan negara Turki,” ungkapnya.

Sontak saja, protes pun bermunculan dari berbagai kalangan.  Di antaranya adalah Buya Anwar Abbas.  Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu menyatakan, “Itu jelas merupakan sebuah tindakan yang tidak baik dan tidak arif. Sebab, jelas-jelas akan menyakiti dan mengundang keresahan di kalangan umat Islam yang itu jelas tidak kita harapkan.”

Buya Anwar menambahkan, “Mustafa Kemal Ataturk adalah seorang tokoh yang mengacak-acak ajaran Islam. Banyak sekali kerusakan yang telah dilakukan dan bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.”

Menarik apa yang dikatakan Fadli Zon.  Ia mengingatkan, “Mustafa Kemal Ataturk merupakan figur yang kontroversial, bukan sekadar di Turki, tetapi juga di Indonesia” (17/10/2021).

Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI ini pun mengusulkan nama Fatih Sultan Mehmet II atau Muhammad al-Fatih sebagai nama jalan di Jakarta. Menurut Bang Fadli, begitu saya biasa menyapa, nama tokoh tersebut pasti diterima oleh mayoritas masyarakat Indonesia.  “Ia adalah sang penakluk Konstantinopel pada 1453 pada usia 21 tahun. Namanya tercatat sebagai conqueror termuda sepanjang sejarah, lebih muda dari Alexander the Great,” katanya.

“Nah ini usulan bagus.  Tapi, orang-orang yang anti-Islam akan langsung menolaknya,” ujar Kang Maman.

Politik simbol.  Itulah tampaknya yang kini sedang terjadi. Sebelumnya upaya untuk mensekularkan masyarakat Indonesia sangat jelas. Tidak boleh menganjurkan atau memerintahkan jilbab di sekolah, Bahasa Arab dianggap cikal-bakal radikalisme. Stigmatisasi kampus dan pesantren radikal. Pengeras suara di masjid dipermasalahkan. Nikah di bawah 19 tahun dipersoalkan, namun pergaulan bebas dibiarkan. Orang yang terikat dengan aturan Islam dihina dengan sebutan kadal gurun (kadrun). Sertifikasi ustadz dan ulama. Tudingan ada Taliban di KPK. Pembubaran ormas Islam. Pemenjaraan ulama dan tokoh kritis. Pemecahbelahan Islam dengan istilah islam radikal versus moderat. Upaya menggolkan UU PIP yang mereduksi lima sila menjadi satu sila gotong royong. Semua agama sama. Penggeseran hari besar Islam seperti tahun baru Islam 1 Muharram dan Maulid 12 Rabi’ul Awwal. Demikian seterusnya.

Kini butuh simbol yang meringkas semua wujud sekularisme radikal itu.  “Menurut saya, penamaan suatu ruas jalan di Jakarta dengan nama Mustafa Kemal Attaturk adalah simbol itu,” Kang Maman kembali berkomentar.

Saya pikir pandangan itu tidak salah.  Ada beberapa argumen yang dapat direnungkan. Pertama: Rencananya nama itu akan dipampang di Kawasan Menteng. Menteng merupakan Kawasan ‘wow’ di Jakarta.  Ini bukan sekadar simbol Jakarta, namun juga simbol Indonesia.

Kedua: Rencana penamaan jalan ini dilakukan pada saat upaya sekularisasi sedang marak-maraknya: pada waktu keberanian menghina Islam dan umatnya sedang puncak-puncaknya; ketika mayoritas orang yang disebut tokoh Islam bungkam; dan penguasa sedang memegang kekuasaan sekuat-kuatnya.

Ketiga: Dalam banyak literatur disebutkan bahwa Mustafa membubarkan benteng umat Islam ‘Khilafah Utsmaniyah (Ottoman)’, mempertanyakan nilai agama, berpendapat bahwa agama tidak cocok dengan sains modern dan sekularisme sangat penting bagi modernitas, menghapus institusi agama Islam, mengganti hukum syariah dengan kode hukum Eropa, mengganti kalender Islam dengan kalender Gregorian, mengganti aksara Arab yang digunakan untuk menulis bahasa Turki dengan aksara Latin, menutup semua sekolah agama, juga mengambil alih 70.000 masjid di negara itu dan membatasi pembangunan masjid baru.  Pada masanya mufti dan imam diangkat dan diatur oleh Pemerintah. Instruksi keagamaan diambil-alih oleh Departemen Pendidikan Nasional. Masjid-masjid hanya boleh menyebarkan ideologi Kemalis, Fez (topi Turki) dilarang untuk pria. Jilbab tidak boleh. Kata Allah diganti dengan Turki Tanri. Bacaan shalat dan adzan tidak boleh menggunakan Bahasa Arab melainkan harus  menggunakan bahasa Turki. Masjid Hagia Shofiya diubah menjadi museum. Demikian seterusnya.  Ringkasnya sekularisme berjalan secara mulus.  So, tidak heran penolakan keras terjadi dari kalangan yang paham sejarah, politik dan punya keberpihakan pada Islam.  Sebab, nama tersebut adalah simbol sekularisme.

“Jadi, upaya mensekular-radikalkan Indonesia sangat masif.  Jika penamaan jalan di Jakarta dengan Jalan Mustafa Kemal Attaturk itu terlaksana, ini berarti simbol sekularisme radikal pun telah ditancapkan.  Sangat sistematis,” ujar Fikry.

Karena itu wajar, siapa pun yang punya kesadaran politik akan menolak.  “Tugas saya hanya menyampaikan dan mengingatkan, Pak Rahmat.  Saya tidak mau ada umat Islam menjadikan yang bersangkutan sebagai suri teladan.  Sudah jelas mereka akan tersesat dan saya tidak mau hal itu terjadi,” ungkap Buya Anwar kepada saya.

Ternyata, nama itu sangat bermakna.  WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 − one =

Check Also
Close
Back to top button