Muhasabah

Islamophobia dan Sekularisme Radikal

Masyarakat terkoyak.  Itu di antara hal yang mengkhawatirkan banyak pihak.  “Social capital yang ada tidak mampu merekatkan harmoni sosial,” ujar pengamat politik Ubedillah Badrun (19/03/21).

“Ini berarti sistem sosial sedang mengalami kerusakan.  Pembelahan sosial terjadi berkali-kali.  Supra liberal sedang menguasai sistem politik kita.  Bila dibiarkan, warga negara dapat menjadi tidak saling percaya,” tambahnya.

Proses menjauhkan ajaran Islam dari kehidupan tampaknya menjadi salah satu di antara pemicu keretakkan itu.

Dalam sebuah diskusi ringan, perasaan itu terungkap.  “Saya ingat tahun 2014 yang lalu.  Ada wacana dari Kementerian Dalam Negeri untuk menghapus kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP),” ujar Pak Sandi.

“Beruntung, masyarakat khususnya Muslim menolak.  Akhirnya bilang, tidak ada rencana itu,” tambahnya.

“Iya, padahal saya ingat pada waktu itu ada LSM dan Komnas HAM yang mendorong penghapusan kolom agama di KTP tersebut,” Pak Rudy merespon.

Saya bilang, “Saya ingat betul pada tahun 2016, Ketua Dewan Pertimbangan MUI pada waktu itu, Din Syamsudin, melihat adanya upaya diskriminasi yang ditujukan kepada Muslim di Indonesia.”

Pada 22/6/2016, Pak Din (begitu beliau biasa dipanggil) menyampaikan usai rapat Dewan Pertimbangan MUI, “Umat Islam akhir-akhir ini berada pada posisi tertuduh. Padahal masih banyak umat Islam yang toleran.”

Beliau melanjutkan, “Jika umat Islam diperlakukan secara berkeadilan maka artinya sama dengan membangun bangsa Indonesia.”

“Hal itu terus berlanjut sampai sekarang.  Sedih memang,” Pak Rudy menyahut.

“Kita tentu masih ingat, pada akhir 2020, ada 155 buku pelajaran agama Islam yang direvisi.  Kata ‘jihad’ dihilangkan,” katanya semangat.

“Lalu, pada awal Februari 2021, keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri.  Intinya, sekolah tidak boleh mewajibkan, melarang, atau menganjurkan siswa mengenakan jilbab/kerudung,” tegasnya memaparkan.

“Aneh, menutup aurat kan wajib.  Masa mewajibkan yang wajib malah dilarang.  Kok bisa-bisanya menganjurkan melakukan yang wajib diancam diberi sanksi. Kebablasan ini,” tambahnya rada emosi.

Saya menyampaikan bahwa itulah realitas.  Hal-hal berbau Islam dicurigai.  Islam diposisikan sebagai tertuduh.  “Saya mengenal Bang Zaim Saidi sebagai orang yang pro ekonomi kerakyatan.  Dia saya lihat mencoba menghidupkan ekonomi umat.  Barang dibarter dengan dinar (emas) dan dirham (perak),” kata saya.

“Namun, hingga saat ini dia masih ditahan.  Padahal dinar dan dirham itu salah satu ajaran Islam.  Sebagai contoh, nishab zakat saja ditentukan berbasis dinar dan dirham.  Jadi, orang yang berusaha menerapkan ajaran Islam dianggap melakukan tindak kriminal,” saya menambahkan.

“Ustadz, Maret ini malah investasi dalam minuman keras dibuka lebar-lebar.  Padahal sudah jelas-jelas minuman keras itu haram ya, kan?  Kalau pun katanya peraturan Presiden dicabut, dalam UU Cipta Kerja toh masih tetap ada,”

Pak Sandi keheranan.  “Kata para ulama, minuman keras itu merupakan ummul jara’im alias induk semua kriminalitas.  Melegalkan minuman keras sama saja dengan membuka lebar-lebar pintu kejahatan,” saya berkomentar.

“Iya, kok makin sini aturan Islam makin dilabrak.  Terang-terangan pula,” Pak Sandi menambahkan.

Hal ini memang sangat meyakiti umat Islam.  Wajar apabila Buya Anwar Abbas yang begitu dikenal lembut menanggapi hal ini dengan sangat keras.  “Di mulut bilang Pancasila, perilakunya kapitalis dan liberal,” ungkap Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu.

“Tak hanya itu, lho.  Saya baca, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Peta Jalan Pendidikan 2020-2035.  Tidak menyebut-nyebut agama.  Iman dan takwa tidak lagi menjadi visi dan misi,” Ustadz Toto menambahkan.

Tidak heran, Ketua Umum PP Muhammadiyah bereaksi sangat keras.   “Hilangnya frasa ‘agama’ merupakan bentuk melawan Konstitusi (inkonstitusional),” kata Pak Haedar Nashir.

Beliau pun bertanya secara retoris, “Saya bertanya, hilangnya kata agama itu kealpaan atau memang sengaja?”

Berhenti sampai di situ?  Tidak.   Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyurati Menteri Agama supaya buku pelajaran agama Islam terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang menyinggung soal Kitab Injil dan Taurat dikaji ulang.  “Saya yakin juga banyak buku atau pendapat tentang ajaran Islam, termasuk tentang Isa as., yang diajarkan oleh teman-teman Kristiani yang menurut kami salah. Tapi kami hormat karena memang itulah ajaran Kristiani. Kami akan fokus pada ajaran/paham kami sendiri. Intinya saling menghormati,” begitu di antara bunyi twitter @ShamsiAli2 menanggapi hal itu.

“Biarlah orang Islam sendiri yang akan menilai benar-tidaknya apa yang diajarkan di sekolah-sekolah tentang apapun,” tambahnya.

Mantan Wakil Sekjen MUI, Tengku Zulkarnain menyatakan, “Mustahil Islam menulis tentang Taurat dan Injil mesti sesuai dengan pandangan Yahudi dan Kristen. Begitu juga Yahudi dan Kristen mustahil menuliskan tentang al-Quran, Nabi Musa, dan Nabi Isa mesti sesuai dengan pandangan Islam. Kan memang ketiganya berbeda pandangan.”

Menyikapi hal itu, Pak Rudy merespon dengan mengatakan, “Makin sini kok makin berani ya.  Menohok hingga akidah.”

“Bahkan mereka meminta agar agama tidak diajarkan di sekolah.  Cukup diajarkan di rumah dan tempat ibadah,” tambahnya.

Lantas apa yang sebenarnya tengah terjadi?  Saya sampaikan pada saat itu, “Tampak jelas, upaya untuk menjauhkan Islam dari kehidupan terus dilakukan secara sistematik dan kontinu.  Sikap islamophobia makin terlihat.”

Berteriak demokrasi, toleransi dan kebhinekaan. Namun, yang dicengkeramkan adalah islamophobia dan sekularisme radikal.  Jangan heran apabila masyarakat makin dapat melihat bahwa demokrasi yang kini ada merupakan tempat persembunyian mereka yang benci pada Islam.  Rakyat pun kian menyadari bahwa ungkapan radikalisme, intoleran dan kebhinekaan lebih merupakan tameng dan tempat persembunyian sekulerisme radikal yang kini makin menjadi-jadi.

WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen + 19 =

Check Also
Close
Back to top button