Politik Tauhid VS Politik Sekular.
Ayah, mengapa sih perkusi dilarang? Padahal, lagu pop atau dangdut dibiarkan?” Tanya seorang anak SD kepada ayahnya. Sang ayah bingung, kok perkusi dilarang. “Dimana perkusi dilarang, De? Di sekolah?” tanyanya. Dede menjawab, “Itu Ustadz Abdu Shomad diperkusi.”
Oh, rupanya yang ia maksud bukan perkusi (alat musik) melainkan persekusi. Memang agak-agak mirip kedua kata itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan persekusi merupakan pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah atau ditumpas. Kini, banyak pengajian yang dianggap tidak sejalan dengan penguasa dipersekusi, dilarang. Sebut saja kasus pelarangan pengajian Ustadz Abdu Shomad di beberapa tempat seperti Surabaya dan Solo. Semarak pula persekusi terhadap Bunda Neno Warisman di Pekan Baru, Marwan Batubara dan Ratna Sarumpaet di Pangkal Pinang, serta Ahmad Dhani di Surabaya. Kasus terakhir, gerakan #2019GantiPresiden dituding membahayakan dan dianggap makar. Padahal pakar hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menegaskan bahwa acara dengan tagar tersebut konstitusional dan tidak melanggar hukum.
Yang menarik adalah alasan pelarangan Ustadz Abdu Shomad pada awal September. Alasannya, ada salah satu kru beliau yang mengenakan topi bertuliskan kalimat tauhid ‘Lâ ilâha illalLâh, Muhammadu RasûlulLâh’. Kalimat tauhid itu diklaim sebagai simbol Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Gerakan dakwah ini saat ini banyak disebut-sebut orang. Apa yang terjadi sebenarnya adalah islamophobia, anti-Islam. Benar kata Fahri Hamzah, “Percaya saya, bahwa penguasa sekarang memiliki lingkaran anti Islam dan Islamophobia di sekitarnya. Dari mulut mereka keluar kebencian, tetapi dalam hati mereka kebencian itu lebih dalam. Waktu akan menceritakan.”
Bagaimana bisa, orang ditakut-takuti oleh kalimat tauhid yang ada di topi, badge baju, atau bendera Rasulullah saw. berupa liwa dan rayah. Tak mengherankan, ada seruan dari netizen untuk mengenakan atribut tauhid di dalam pakaiannya sebagai simbol perlawanan terhadap islamophobia yang terus digaungkan. Bahkan Gus Nur, Ustadz Muda yang tengah naik daun pada saat berceramah di Solo awal September 2018 mengenakan ikat kepala putih bertuliskan Arab ‘Lâ ilâha illalLâh, Muhammadu RasûlulLâh’ berwarna merah. “Saya mengenakan kalimat tauhid. Silakan kalau ada yang mau menurunkan saya. Mulai saat ini saya akan mengenakan kalimat tauhid dalam setiap ceramah saya,” ungkap Gus Nur yang disambut dengan gema takbir oleh ribuan orang yang menghadiri tausiyahnya.
Aneh memang. Padahal Indonesia ini merdeka karena dorongan kalimat tauhid. Secara syar’i, kalimat tauhid inilah yang akan menyelamatkan seorang Mukmin. Saat sakaratul maut saja diperintahkan untuk ditalqinkan dengan kalimat tersebut. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Talqinkanlah orang yang sakaratul maut di antara kalimat dengan kalimat Lâ ilâha illalLâh”.
Larangan ceramah pun didasarkan pada isu politik. Kepolisian Resor Tangerang Selatan, sebagaimana diberitakan media, memberi catatan agar ceramah Ustadz Abdul Shomad tidak terkait politik. Benar juga perkataan Ahmad Dhani. Artis yang kini dekat dengan kalangan Islam itu mengatakan, “Hari ini ada berita Ustadz Abdul Shomad berceramah tapi dilarang bicara politik. Sungguh aneh tapi nyata. Ulama dilarang bicara politik tapi Ketua Umum Majelis Ulama diajak terjun ke politik praktis.”
Saat ini Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin dipilih Joko Widodo sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2019 yang akan datang. Memang, secara syar’i politik itu tidak dapat dipisahkan dari Islam. “Al-Islâm dîn[un] wa siyâsah minhu.” Islam itu agama dan politik adalah bagian dari Islam.
Rasulullah saw. bersabda, “Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah yang banyak” (HR Muslim).
Dalam hadis tersebut digunakan kata siyâsah (politik). Bahkan ada ilmu keislaman yang dikenal sebagai ‘siyâsah syar’iyyah’ alias politik syar’i. Buku-buku tentang politik Islam pun bertebaran ditulis oleh para ulama. Sebut saja, kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyah karya Imam al-Mawardi yang banyak dikaji di dunia pesantren dan pendidikan Islam.
Jadi, memang aneh apabila ulama dilarang bicara politik. “Pasti larangan itu bersifat politik. Larangan ulama berbicara politik, itu merupakan politik,” ujar Pak Mufti.
Menarik untuk ditanyakan, mengapa pada satu sisi ulama dilarang bicara politik, namun pada sisi lain justru dimajukan ke depan untuk berpolitik? Mengapa takut dengan kalimat tauhid yang dijadikan dorongan dalam berpolitik?
Rupanya, ada dua jenis politik. Politik tauhid dan politik sekular. Nah, yang dilarang dan ditakutkan oleh para penganut islamophobia itu bukan politik itu sendiri. Buktinya, mereka berpolitik. Yang mereka cegah adalah politik yang didasarkan pada tauhid. Politik yang dijadikan sarana untuk menerapkan Islam. Politik yang keberpihakan-nya jelas bagi Islam dan umatnya. Mereka biasa menyebut itu sebagai Islam politik.
Siapa pun yang jernih pikirannya akan sependapat bahwa persekusi yang terjadi saat ini dilakukan oleh para pemain politik sekular terhadap politik tauhid. Ya, pertarungan politik sekular dengan politik tauhid terus berlangsung. [Muhammad Rahmat Kurnia]