Fokus

Makna Politis Hijrah Nabi saw.

Alhamdulillah, tak terasa bulan Dzulhijjah 1439H telah berlalu. Kini kita kembali memasuki bulan Muharram, menandai perpindahan tahun baru Islam, tahun 1440 H.

Salah satu perbedaan mendasar umat Islam dengan umat non-Muslim adalah terkait penanggalan tahun. Umat lain memiliki penanggalan tahun sendiri, seperti Tahun Masehi untuk agama Masehi (agama Nasrani, red.), Tahun Saka untuk umat Hindu, dll. Demikian pula umat Islam memiliki kalender tahunan sendiri, yakni kalender Hijrah.

 

Sejarah Penetapan Kalender Hijrah

Penetapan kalender Hijrah dilakukan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah sebagai tahun pertama pada kalender Islam.

Pada tahun 638 Masehi, Khalifah Umar bin al-Khaththab melihat sebuah masalah. Abu Musa al-Asy’ari pernah menulis kepada Khalifah Umar: “Surat-surat sampai kepada kami dari Amirul Mu’minin, tetapi kami bingung bagaimana menjalankannya. Kami membaca sebuah dokumen tertanggal Sya’ban, namun kami tidak tahu ini untuk tahun yang lalu atau tahun ini.” (Syaikh Abdurrahman al-Jabarti, 1825).

Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior. Mereka adalah Utsman bin Affan ra., Ali bin Abi Thalib ra., Abdurrahman bin Auf ra., Saad bin Abi Waqqas ra., Zubair bin Awwam ra. dan Thalhan bin Ubaidillah ra. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam untuk menghitung mulai kapan tahun pertama kalender Islam dimulai. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada pula yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Nabi Muhammad saw. menjadi rasul.

Dari semua usulan tersebut, akhirnya yang diterima adalah usulan Ali bin Abi Thalib ra., yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Yatsrib (Madinah). Para Sahabat yang hadir pada musyawarah tersebut semuanya setuju dengan usulan Ali ra. Kemudian ditetapkanlah tahun pertama dalam kalender Islam adalah momentum hijrah Rasulullah saw., yang kemudian dikenal dengan nama Kalender Hijriyah.

 

Makna Hijrah

Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Ash-Shihhah fi al-Lughah, II/243, Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs Al-Muhîth, I/637).

Para fukaha lalu mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari Daarul kufr menuju Daarul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).

Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah ini diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).

Peristiwa Hijrah setidaknya memberikan 3 (tiga) makna. Pertama: Pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau menyatakan: “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.” (HR Ibn Hajar).

Kedua: Tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam. Bahkan dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern untuk ukuran zamannya. Saat itu Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala negaranya (râ’is ad-dawlah).

Ketiga: Awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya. Ini terjadi setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim oleh orang-orang kafir Quraisy Makkah. Hal ini sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra. yang berkata:

كَانَ الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَإِلَى رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللَّهُ الْإِسْلَامَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ

Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia.” (HR al-Bukhari).

 

Setelah Hijrahlah semua ketertindasan dan kemalangan umat Islam tersebut berakhir. Setelah Hijrah pula Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab serta mampu menembus berbagai pelosok dunia. Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin, kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab.

 

Menimbang Makna Hijrah

 

  1. Sekadar Perubahan Individu dari Maksiat Menjadi Taat.

Dewasa ini, Alhamdulillah, banyak kita mendengar serta melihat langsung terkait dengan fenomena hijrah. Misalnya seseorang yang dulu dikenal sebagai sosok yang penuh dengan kemaksiatan, kemudian hijrah menjadi sosok yang taat pada ajaran Islam. Dari yang tidak menutup aurat, kemudian beralih memakai hijab, hingga bercadar. Fenomena seperti ini salah satu hal yang harus senantiasa kita syukuri. Bersyukur karena semakin banyak umat Islam yang menyadari kesalahan jalan hidup yang selama ini mereka tempuh, yakni jauh dari Islam.

Namun, kerap hijrah tersebut hanya dimaknai sekadar perubahan untuk invididu saja. Dari individu yang berperilaku maksiat, berubah atau berpindah menuju individu yang melaksanakan ketaatan. Harusnya, lebih dari itu, yakni turut mengupayakan bagaimana agar kehidupan masyarakat juga berubah, dari kehidupan masyarakat yang tidak islami menjadi kehidupan yang diatur dengan Islam.

 

  1. Peringatan Hijrah Sebatas Serimonial.

Walaupun tidak “semeriah” Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Islam oleh sebagian umat Islam tetap dirayakan. Biasanya dengan mengadakan acara zikir dan muhasabah akhir tahun. Memang, kegiatan seperti ini tidak ada contohnya dari Rasulullah saw dan para Sahabat Nabi. Namun demikian, kegiatan semacam ini bukanlah termasuk aktivitas yang haram dilakukan. Pasalnya, melakukan muhasabah dan zikir adalah perkara yang baik, selama bukan dipahami sebagai sesuatu yang “wajib” karena sebab tertentu.

Namun, yang lebih utama umat Islam seharusnya melakukan muhasabah dan  berupaya agar perpindahan tahun baru Islam itu menuju perpindahan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik tentu yang berpijak pada syariah Islam. Karena itu kaum Muslim harus berhijrah dari sistem sekuler menuju sistem Islam. Jika tidak, yang terjadi hanyalah perpindahan tahun saja tanpa diikuti dengan perpindahan kehidupan. Padahal, jika ingin memiliki kehidupan yang lebih baik, kita harus menuju sistem yang baik. Sistem yang baik tentu yang bersumber dari Zat Yang Mahabaik. Dialah Allah SWT.

Sistem tersebut adalah sistem Khilafah Islam. Sistem ini berfungsi untuk menjalankan syariah Islam secara kâffah. Sistem pemerintahan Islam ini diwariskan oleh Rasulullah saw. kepada para penerusnya, yakni para khalifah. Dengan sistem khilafah tersebut, kurang lebih selama 14 abad lamanya umat Islam berhasil menjadi umat terbaik (khayru ummah) sebagaimana yang dipredikatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengimani Allah (QS Ali Imran [3]: 110).

 

  1. Hijrah Dilepaskan dari Politik.

Paham sekularisme—paham yang memisahakan agama dari kehidupan—telah merasuk lama di benak kaum Muslim. Akibatnya, perkara politik (siyasah) menjadi tabu bagi sebagian umat Islam. Padahal Islam mengatur masalah politik. Itulah politik Islam. Politik Islam (as-siyâsah al-islâmiyah) bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri (ri’âyah syu’ûn al-ummah dâkhiliy[an] wa khârijiy[an] bi al-ahkâm al-islâmiyyah).

Terkait itu, hijrah Rasulullah saw. mengandung makna politis, yakni tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dengan berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah, seluruh kehidupan masyarakat di sana diatur dan di urusi dengan syariah Islam.

 

Hukum Seputar Hijrah

Secara syar’i, para fukaha, salah satunya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan makna Hijrah, yakni “Hijrah adalah keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).

Hijrah dari darul kufur menuju Darul Islam tidak hanya memiliki satu hukum saja, tetapi mempunyai beberapa hukum, bergantung pada keadaan dan situasinya.

 

  1. Hijrah Wajib.

Orang yang mampu hijrah, sementara dia tidak mampu menampilkan agamanya, tidak dapat melaksanakan hukum-hukum Islam yang harus dilaksanakan, maka wajib berhijrah. Dalam ayat hijrah disebutkan:

إِنَّ ٱلَّذِينَ تَوَفَّىٰهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ ظَالِمِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمۡۖ قَالُواْ كُنَّا مُسۡتَضۡعَفِينَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ قَالُوٓاْ أَلَمۡ تَكُنۡ أَرۡضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٗ فَتُهَاجِرُواْ فِيهَاۚ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ٩٧

Sungguh orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya. “Dalam keadaan bagaimana kalian ini (diwafatkan)?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).” Para Malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kalisn dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya Neraka Jahanam. Jahanam itu seburuk-seburuk tempat kembali (QS an-Nisa [4]: 97).

 

Bentuk kalimat al-ikhbâr (pemberitahuan) dalam ayat ini mengandung makna al-amr (perintah). Itu termasuk bentuk-bentuk kalimat tuntutan, seakan-akan Allah SWT berfirman: “Berhijrahlah!” Tuntutan dalam ayat ini disertai ta’kîd (penegasan) dan ancaman berat bagi yang tidak berhijrah. Ini adalah salah satu bukti bahwa hijrah dalam kondisi seperti ini hukumnya fardhu dan berdosa jika tidak dilakukan. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II).

 

  1. Hijrah Sunnah.

Adapun orang yang mampu hijrah, tetapi dia mampu mengekspresikan agamanya dan melaksanakan tuntutan-tuntutan syariah, maka hijrah bagi dia adalah sunah, tidak wajib. Alasannya, karena Rasulullah saw. memilih hijrah dari Makkah sebelum dibebaskan dan statusnya masih sebagai darul kufur (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II).

 

  1. Gugurnya Hukum Hijrah.

Hukum ketiga dari hukum-hukum hijrah adalah gugurnya kewajiban dan kesunnahan hijrah bagi orang-orang yang tidak mampu melaksanakan hijrah. Ketidakmampuan di sini disebabkan karena sakit, dipaksa untuk tetap tinggal, atau orang tersebut terkategori kaum lemah (wanita dan anak-anak). Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

إِلَّا ٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ حِيلَةٗ وَلَا يَهۡتَدُونَ سَبِيلٗا ٩٨

Kecuali mereka yang tertindas, baik laki-laki atau wanita, ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) (QS an-Nisa’ [4]: 98).

 

  1. Hijrah Haram.

Seorang Muslim dilarang (haram) berhijrah dari darul kufur ke Darul Islam. Ia wajib tetap tinggal di darul kufur jika memiliki kesanggupan dan kekuatan untuk mengubah darul kufur yang ia tinggali menjadi Darul Islam. Kesanggupan dan kekuataan ini bisa saja karena ia sendiri memang kuat dan mampu, atau bergabung      dengan kaum Muslim lain yang tinggal di negerinya, atau bersekutu dengan kaum Muslim yang berada di luar, atau mendapatkan dukungan dari Daulah al-Islaamiyah.                 Dalam kondisi semacam ini ia wajib tinggal di darul kufur dan dilarang hijrah ke Darul Islam (Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/269-270).

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قَٰتِلُواْ ٱلَّذِينَ يَلُونَكُم مِّنَ ٱلۡكُفَّارِ وَلۡيَجِدُواْ فِيكُمۡ غِلۡظَةٗۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلۡمُتَّقِينَ ١٢٣

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kalian itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari kalian. Ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa (QS at-Taubah [9]: 123).

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Adi Victoria; (Penulis & Aktivis Dakwah)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 + 16 =

Check Also
Close
Back to top button