
Akar Masalah Tingginya Dispensasi Nikah
Dari hari ke hari, banyak remaja meminta dispensasi nikah. Sebagian besar karena hamil di luar nikah. Ini makin membuat kita tercengang. Betapa tidak. Di Ponorogo, dari 176 anak yang diizinkan menikah dini ternyata sebanyak 125 anak menikah karena hamil duluan. Ini saja sudah membuat kita prihatin. Betapa rusak moral sebagian generasi muda saat ini.
Kasus di Ponorogo ternyata hanya nomor 28 di Jatim. Kabupaten Malang menduduki urutan pertama banyaknya dispensasi kawin di Jawa Timur, yaitu mencapai jumlah 1455, disusul Jember 1395, dan seterusnya sampai terakhir Kota Madiun dan Sampang di angka 18 (Ponorogo.go.id).
Di Indramayu, 572 anak mengajukan dispensasi kawin. Sebagian besarnya juga karena hamil duluan (Kompas.com, 17/01/2023). Pada tahun lalu, Jogjakarta juga mencatat sebanyak 1.032 kasus hamil di luar nikah, termasuk di kalangan pelajar. Tangsel akhir 2021 mencatat sekitar 276 kasus hamil di luar nikah (Haluan.com, 12/02/2022).
Salah Solusi
Menanggapi masalah di atas, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyatakan bahwa Pemerintah akan memperketat syarat-syarat pengajuan dispensasi perkawinan untuk mencegah pernikahan dini. Alasannya, pernikahan anak ini menimbulkan banyak dampak negatif. Pernikahan anak dinilai bisa merusak masa depan anak, juga menggerus cita-cita bangsa untuk menciptakan sumberdaya manusia yang unggul dan memiliki daya saing.
Bintang juga melihat, dari aspek ekonomi, pernikahan anak yang menjadikan remaja di bawah umur harus bekerja sehingga rentan untuk mendapatkan pekerjaan berupah rendah (Suara.com, 14/01/2023).
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mengingatkan pernikahan dini berdampak pada kesiapan remaja, baik secara mental ataupun fisik. (Cnnindonesia.com, 13/01/2023).
Dari apa yang dilontarkan Pemerintah, solusi tingginya permintaan dispensasi nikah ini adalah mencegah pernikahan dini dengan memperketat syarat-syarat pengajuannya. Namun, apakah solusi ini relevan dengan persoalan yang terjadi?
Dispensasi nikah diatur dalam perubahan UU perkawinan terbaru, yakni UU Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat 2, yang berbunyi: Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orangtua pihak pria dan/atau oran tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.
Alasan sangat mendesak ini berdasarkan apa yang diteliti Mansari dkk, antara lain: hamil di luar nikah, telah melakukan hubungan layaknya suami-istri, anak ditangkap masyarakat karena berdua-duaan dan usia putus sekolah yang masih tinggi sehingga memutuskan menikah (https://ms-blangpidie.go.id/148-uncategorised/artikel/720-konkretisasi-alasan-mendesak-dan-bukti-cukup-dalam-memberikan-dispensasi-perkawinan-bagi-anak-oleh-hakim).
Melihat alasan paling dominan dalam pengajuan dispensasi nikah adalah hamil dan hubungan seks di luar nikah, maka pengetatan aturan dispensasi nikah sepertinya mustahil bisa dilakukan. Pasalnya, alasan ini tidak mungkin ditolak hakim. Jika pun dipaksakan, akan merebak pernikahan siri yang memunculkan berbagai persoalan baru nantinya.
Jika dispensasi nikah disebabkan karena tingginya kasus seks bebas di kalangan remaja, maka persoalan inilah yang semestinya dicarikan solusi. Bukan dengan melarang pernikahan dini.
Mengapa Pernikahan Dini?
Dalam sistem kapitalis, seorang individu dianggap sebagai aset ekonomi sehingga harus dipastikan ia memiliki produktivitas yang terukur. Untuk itu individu harus memiliki pendidikan yang cukup yang memngkinkan ia memasuki lapangan kerja dan menjadi bagian dari mesin ekonomi.
Pernikahan dini pada umumnya akan menjadikan para remaja putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Malah bisa jadi para remaja perempuan harus berkutat dengan anak dan urusan rumah sehingga tidak memiliki produktivitas dalam kacamata ekonomi. Hal ini dalam sistem kapitalis dianggap sebagai hilangnya sumberdaya potensial, yang akan berdampak dalam perhitungan pendapatan perkapita sebagai indikator kesejahteraan negara.
Itulah sebabnya, penghapusan pernikahan dini masuk dalam agenda internasional SDGs (Sustainable Development Goals) Tujuan 5 (Goal 5), yakni mencapai kesetaraan gender; memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan; terhapusnya segala praktik yang membahayakan seperti perkawinan anak, dan sunat perempuan.
Ketika muncul fakta angka dispensasi nikah tinggi, bisa dipahami kepanikan Pemerintah karena program SDGs yang telah diratifikasi terancam tidak bisa direalisasikan. Langkah yang diambil kemudian adalah memperketat syarat dispensasi nikah sebagai upaya menekan pernikahan dini. Bisa diprediksi bahwa solusi ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah tingginya dispensasi nikah. Malah boleh jadi pergaulan bebas antar remaja akan merebak. Angka kehamilan di luar nikah terus meningkat. Fakta ini akan disembunyikan di balik turunnya angka dispensasi nikah.
Liberalisasi Merusak Generasi
Tingginya angka kehamilan di luar nikah yang mendorong permintaan dispensasi nikah pada remaja mencerminkan kerusakan akhlak yang luar biasa. Persoalan inilah yang semestinya dicarikan solusi. Ini karena remaja kita kelak akan menjadi penerus estafet kepemimpinan umat.
Gempuran paham kebebasan, disertai dengan sekularisasi sistem pendidikan, merupakan sebab utama kerusakan ini. Dalam sistem pendidikan sekuler-liberal, guru yang menyuruh anak memakai kerudung dituding melakukan pemaksaan dan pelanggaran hak asasi. Ketika anak pacaran, mereka justru dibiarkan. Pendidikan seks dimasukkan dalam kurikulum. Ditambah mudah dan bebasnya akses anak ke internet yang didominasi paham liberal ala Barat. Di sisi lain, pengawasan orangtua semakin longgar karena kesibukan mereka bekerja.
Solusi yang dibutuhkan dalam kasus ini adalah solusi sistemik. Membongkar akar masalahnya, yakni menganti asas sekularisasi pendidikan menjadi berdasarkan akidah Islam. Membuang jauh paham liberalisme dan menerapkan aturan pergaulan sesuai yang disyariatkan dalam Islam. Memblokir konten-konten yang merusak dan membentengi anak dengan konten-konten mendidik sesuai syariah Islam. Menguatkan pendidikan dan pengawasan di rumah dengan menjamin nafkah ibu agar ia bisa menjalankan perannya dengan sempurna. Ini semua hanya dapat dilakukan ketika sistem Islam yang diterapkan, bukan sistem yang lain.
Pernikahan Dini dalam Pandangan Islam
Pernikahan dini dalam Islam hukumnya mubah berdasarkan dalil-dalil berikut:
وَٱلَّٰٓـِٔي يَئِسۡنَ مِنَ ٱلۡمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمۡ إِنِ ٱرۡتَبۡتُمۡ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشۡهُرٖ وَٱلَّٰٓـِٔي لَمۡ يَحِضۡنَۚ وَأُوْلَٰتُ ٱلۡأَحۡمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مِنۡ أَمۡرِهِۦ يُسۡرٗا ٤
Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuan kalian, jika kalian ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid. Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan bagi dia kemudahan dalam urusannya (QS ath-Thalaq [65]: 4).
Nabi Muhammad saw. juga bersabda, “Wahai para pemuda, siapa saja yang telah mampu, hendaknya menikah. Menikah itu akan lebih menundukkan pandangan dan akan lebih menjaga kemaluan. Kalau belum mampu, hendaknya berpuasa, karena puasa itu akan menjadi perisai bagimu.” (HR al-Bukhari dan Muslim). (HSA Al-Hamdani, 1989, Risalah Nikah, hlm. 18).
Hadis tersebut mengandung seruan untuk menikah bagi “para pemuda” (asy-syabaab), bukan orang dewasa (ar-rijal) atau orangtua (asy-syuyukh). Hanya saja, seruan itu tidak disertai indikasi (qariinah) ke arah hukum wajib. Artinya, seruan itu tidak bersifat wajib (thalab ghayru jazim), tetapi manduub (sunnah).
Menikah dini hanya kebolehan, bukan keharusan. Ketika ada perempuan yang di usia tua belum menikah tidak lantas dicap dengan stigma negative. Tidak juga menikah muda dijadikan sebagai adat masyarakat. Namun, upaya untuk melarang pernikahan dini tidak diperbolehkan. Pasalnya, apa yang telah dihalalkan oleh Allah tidak boleh diharamkan oleh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 87).
Dengan demikian jelas, pernikahan dini tetap sebagai suatu perbuatan yang hukumnya boleh. Tentu selama tidak ada paksaan dan telah ada kesiapan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Kesiapan ini dari sisi kesiapan ilmu, kesiapan materi (nafkah) serta kesiapan fisik.
Bahkan menikah dini dianjurkan oleh para ulama karena akan menjaga kesucian anak dari syahwat. Hal demikian akan bisa mencegah anak melakukan pergaulan bebas. Dengan demikian tidak selayaknya solusi bagi tingginya dispensasi nikah adalah pencegahan pernikahan dini, melainkan mengganti sistem kapitalis-liberal-sekular yang diterapkan saat ini menjadi sistem Islam.
WalLaahu a’lam bi ash-shawwab. [Arini Retnaningsih]