
Feminisme dan Moderasi Beragama
Moderasi beragama yang diaruskan saat ini menyasar juga pada cara pandang agama terhadap laki-laki dan perempuan serta hubungan antara keduanya. Ini terkait dengan karakter Muslim moderat yang diinginkan Barat. Barat menghendaki Muslim moderat menyebarkan dimensi budaya universal (baca: Barat), yakni mendukung demokrasi, pengakuan terhadap HAM (termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama), menghormati sumber hukum non-agama, menentang terorisme dan kekerasan1 (sesuai tafsiran Barat).
RAND Corp., yang merupakan salah satu lembaga think tank kebijakan global AS, memandang bahwa kelompok perempuan bisa menjadi komunikator utama penderasan Islam moderat.2 Karena itu RAND Corp. mengeluarkan isu-isu gender yang bisa mendorong perempuan memperjuangkan Islam moderat. Lembaga ini mengklaim bahwa perempuan adalah pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam. Mereka pun paling tidak diuntungkan dalam penerapan syariah Islam yang kaku. Hukum Islam yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam kewajiban bekerja, kepemimpinan, pakaian, hak waris, poligami dan sebagainya dianggap sebagai wujud diskriminasi. Karena itu kesetaraan gender harus diwujudkan sebagai salah satu ciri Muslim moderat.3
Ide kesetaraan gender ini lalu dimanipulasi seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan Islam diklaim senafas dengan feminisme yang melahirkan ide ini. Simak kutipan berikut:
Melihat fakta historis yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa gerakan feminisme yang digaungkan sekarang ini ternyata nilai dan semangatnya sudah dipraktikkan oleh Islam sejak dulu. Islam, dengan membawa nilai-nilai ketauhidan, membebaskan perempuan dari belenggu patriarki. Dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw. adalah seorang ‘feminis’, karena secara praktik dia sudah seperti seorang feminis yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan gender.
Jadi dapat disimpulkan semangat feminisme tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sejalan dengan Islam dan sudah dipraktikkan oleh Islam terlebih dulu. 4
Tinjauan Historis Feminisme
Perubahan sosial yang terjadi di Eropa pada Abad 18, ketika sistem feodalisme digantikan oleh sistem kapitalisme, ternyata tidak serta-merta mengubah kondisi kaum perempuan yang sejak semula memang tertindas dan tidak lebih dari warga negara kelas kedua. Bahkan nasib kaum perempuan semakin terpuruk ketika harus menanggung beban ganda; sebagai ibu dan sebagai buruh, dengan gaji yang jauh lebih kecil dari kaum lelaki.
Dari sinilah kemudian muncul upaya untuk menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan yang kemudian disebut sebagai feminisme. Ide ini sebenarnya sudah lahir sejak Abad 18, seiring dengan kemunculan kapitalisme. Akan tetapi, gerakannya sendiri baru ada pada awal Abad 20.
Inti dari gerakan feminisme adalah pemberontakan terhadap tatanan masyarakat yang mereka anggap bersifat patriarkis, termasuk terhadap ide-ide teologis (agama) dan institusi sosial kultural yang sering dituduh sebagai pangkal dari ketidakadilan sistemik perempuan.
Sementara itu, Islam telah lahir pada Abad 7 M. Benar, Islam lahir dengan membawa ajaran yang memuliakan kaum perempuan. Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sama dengan laki-laki dari sisi kemanusiaannya. Allah SWT berfirman:
وَمَن يَعۡمَلۡ مِنَ ٱلصَّٰلِحَٰتِ مِن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ وَلَا يُظۡلَمُونَ نَقِيرٗا
Siapa saja yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun (QS an-Nisa’ [4]: 124).
Rasulullah saw. juga bersabda:
النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Sungguh perempuan itu adalah saudara sekandung laki-laki (HR Abu Dawud).
Karena itulah para feminis merasa mendapatkan legalitas dalam Islam. Segera pula mereka menyadari bahwa ide feminisme dapat dimanfaatkan untuk memalingkan kaum Muslim, terutama Muslimah, dari pemikiran Islam kaffah ke pemikiran pragmatis, yaitu memperjuangkan kesetaraan gender, mengangkat perempuan dari kemiskinan dan pemberdayaan perempuan melalui program-program ekonomi.
Untuk menguatkan arus moderasi kaum perempuan melalui feminisme, dibuatlah propaganda-propaganda dari tokoh-tokoh feminis yang mengklaim sebagai feminis Muslim. Bahkan mereka telah menyelenggarakan Konggres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon tahun 2017 lalu untuk memperkuat agenda perjuangan kesetaraan gender di kalangan ulama perempuan.
Menolak Klaim Feminisme Islam
Untuk membuat feminisme bisa diterima oleh kaum Muslim dan menjadi bagian dari upaya moderasi Islam, para ulama feminis telah mendobrak penafsiran al-Quran dan al-Hadis yang dilakukan ulama salaf. Mereka meletakkan kaidah-kaidah tersendiri untuk mendukung ide kesetaraan yang mereka emban. Mereka menabrak dan menjungkirbalikkan kaidah-kaidah penafsiran, terutama ilmu balaghah, dan ushul fiqih.
Seperti prinsip maqashid syariah, yaitu tujuan dari pensyariatan suatu hukum, oleh para pengikut Islam moderat, termasuk di dalamnya feminis Muslim, dirumuskan sesuai dengan kacamata mereka. Mereka menjadikan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan gender, HAM, toleransi, dan sejenisnya sebagai standar bagi penarikan hukum. Jika mereka anggap suatu hukum tidak sesuai dengan nilai ini, hukum tersebut harus dibatalkan, atau bila ada di dalam al-Quran maka harus ditafsirkan ulang.
Seperti penentuan bagian waris 2:1. Ketentuan ini dianggap tidak sesuai dengan maqashid syari’ah, yaitu keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini karena wanita pada waktu itu tidak mencari nafkah. Sekarang perempuan telah banyak yang bekerja. Karena itu bagian waris mesti disetarakan.
Cara penarikan hukum seperti ini tentu tidak benar. Pasalnya, apa yang disebut maqashid syari’ah harus dirumuskan dari dalil-dalil syariah, bukan dari asumsi-asumsi serta standar manusia yang berbeda-beda pemikiran dan kepentingannya.
Begitu pun kaidah mubadalah yang saat ini sedang tren sebagai metode penafsiran ayat dan hadis di kalangan feminis Islam. Kaidah yang dirumuskan Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya, Qira’ah Mubadalah ini, memiliki makna kesalingan, yakni pola relasi laki-laki dan perempuan mesti “mengandung nilai dan semangat kemitraan, kerjasama, kesalingan, timbal-balik dan prinsip resiprokal”. Dari konsep kesalingan tersebut, diupayakan agar pemahaman “teks Islam (bisa) mencakup perempuan dan laki-laki sebagai subjek dari makna yang sama.”5
Konsep mubadalah atau kesalingan ini merupakan pendapat yang tidak ada pijakannya dalam ilmu penafsiran al-Quran atau al-Hadis. Kaidah ini hanya mendasarkan bahwa dalam bahasa Arab kata yang dipakai umumnya adalah bentuk mudzakkar yang berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan. Karena itu apa yang layak bagi laki-laki untuk dilakukan, berlaku juga bagi perempuan dan sebaliknya. Apa yang dianggap baik bagi perempuan maka baik juga bagi laki-laki. Dengan demikian, misalnya, ketika perempuan memiliki kewajiban ber-‘iddah saat suaminya meninggal, suami juga sebaiknya ber-‘iddah saat istrinya meninggal.6
Konsep mubadalah ini dalam penerapannya menafikan berbagai dalil yang menjadi pengkhususan bagi perempuan. Sebagai contoh ketika membahas hadis, “Sungguh perempuan itu adalah saudara sekandung laki-laki.” (HR Abu Dawud). Dikatakan bahwa hadis ini adalah referensi dasar bagi prinsip kesederajatan laki-laki dan perempuan. Karena itu hak mereka sama; hak untuk hidup bermartabat, beragama, berpolitik, berkeluarga, beraktivitas dalam ruang lingkup sosial, ekonomi dan pendidikan.7
Penafsiran ini menyamakan semua hak laki-laki dan perempuan di ruang publik. Padahal, ada hukum-hukum yang berbeda antara keduanya. Perempuan tidak wajib mencari nafkah, sedang laki-laki wajib. Perempuan tidak boleh diangkat sebagai penguasa (hukkam) sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْ أَمْرَهُمْ إِمْرَأَة
Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada wanita (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Adanya dalil-dalil khusus ini menjadi pengecualian dari dalil-dalil yang bersifat umum sehingga yang berlaku adalah dalil khusus dan bukan dalil umum. Dalam prinsip mubadalah, justru semua dalil dikembalikan pada keumuman teksnya dengan penafsiran mubadalah dan mencampakkan dalil-dalil yang mengkhususkan.
Dengan demikian dalil-dalil yang digunakan untuk melegalisasi feminisme Islam adalah salah tempat. Artinya, dalil-dalil yang mereka gunakan tidak layak untuk membuktikan keberadaan feminisme dalam Islam.
Pandangan Islam
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ ٣٢
Janganlah kalian iri hati dengan apa yang telah Allah karuniakan kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan (QS an-Nisa’ [4]: 32).
Islam memandang laki-laki dan perempuan, dalam tabiatnya sebagai manusia, adalah sama di sisi Allah. Mereka sama-sama dijanjikan pahala dan surga jika beriman dan beramal shalih serta diancam neraka jika ingkar dan durhaka.
Namun, secara kodrati, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam peran dan fungsi di tengah keluarga dan umat. Perbedaan ini diikuti oleh perbedaan hukum antara keduanya, yang merupakan solusi bagi permasalahan keduanya dengan solusi yang sebaik-baiknya.
Perbedaan-perbedaan ini tidak dipandang sebagai pengistimewaan yang satu daripada yang lain atau sebagai diskriminasi Islam atas kaum perempuan. Islam memberikan nilai kemuliaan bukan pada jenis perannya, tetapi pada sejauh mana kedua pihak melaksanakan peran-peran ini sesuai tuntunan Allah SWT.
Dengan demikian keduanya bisa bekerjasama (ta’awun) saling mengisi, saling melengkapi secara produktif untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang akan mengantarkan kebahagiaan hakiki bisa dirasakan semua pihak, laki-laki atau perempuan, tanpa kecuali. Untuk mencapai itu semua, kita hanya membutuhkan penerapan syariat Islam secara kaffah, tidak perlu feminisme.
WalLahu a’lam. [Arini Retnaningsih]
Catatan kaki:
1 Building moderate Muslim networks / Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H. Schwartz, Peter Sickle. Published 2007 by the RAND Corporation
2 Idem
3 Idem
4 https://mubadalah.id/islam-dan-feminisme-pertemuan-dalam-suatu-narasi/
5 Abdul Kodir, Faqihuddin. 2019, Qirâ‘ah Mubâdalah; Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender Dalam Islam, Yogyakarta: IRCiSoD.
6 Idem, hal 428
7 Abdul Kodir, Faqihuddin. 2019, 60 Hadits Shahih Khusus Tentang Hak-hak Perempuan dalam Islam, Diva Press, Yogyakarta, hal 50.