Tafsir

Sifat Manusia Penghuni Neraka

فَمَا لَهُمۡ عَنِ ٱلتَّذۡكِرَةِ مُعۡرِضِينَ ٤٩  كَأَنَّهُمۡ حُمُرٞ مُّسۡتَنفِرَةٞ ٥٠  فَرَّتۡ مِن قَسۡوَرَةِۢ ٥١

Lalu mengapa mereka (kaum kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? Seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut. Lari dari singa. (QS al-Muddatstsir [74]: 49-51).

 

Dalam ayat sebelumnya Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada syafaat bagi mereka di akhirat kelak. Penyebabnya jelas karena mereka tidak mau beriman hingga mereka mati. Karena itu tak ada ampunan buat mereka. Tak ada juga yang bisa memberikan pertolongan kepada mereka.

Dalam ayat ini mereka diingatkan tentang sikap mereka saat hidup di dunia yang menjadi sebab mereka mendapatkan balasan demikian. Artinya, hukuman yang menimpa mereka itu merupakan akibat dari ulah mereka sendiri yang berpaling dari peringatan Allah SWT.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

فَمَا لَهُمۡ عَنِ ٱلتَّذۡكِرَةِ مُعۡرِضِينَ ٤٩

Lalu mengapa mereka (kaum kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? (QS al-Muddatstsir [74]: 49).

 

Ayat ini diawali dengan huruf al-fâ‘ yang merupakan isti’nâfiyyah. Dengan demikian kalimat berikutnya merupakan kalimat baru yang terputus dengan kalimat sebelumnya secara i’râb. Meskipun demikian, kandungan isinya masih terkait dengan ayat sebelumnya, yakni berkisar tentang orang-orang kafir. Pasalnya, dhamîr al-hâ‘ pada frasa لَهُمْ sebagaimana dalam ayat sebelumnya menunjuk kepada kaum yang mendustakan Hari Kiamat (lihat ayat 47).

Mereka disebutkan berpaling dari at-tadzkirah. Secara bahasa, kata التَّذْكِرَةِ adalah bentuk mashdar dari kata  ذَكَّرَ – يُذَكِّرُ (mengingatkan). Artinya: sesuatu yang digunakan untuk mengingat kebutuhan dan sesuatu yang mendorong untuk dijadikan peringatan dan pelajaran.1

Dalam konteks ayat ini, yang dimaksud dengan at-tadzkirah adalah al-Quran atau nasihat-nasihat yang berasal darinya. Qatadah berkata bahwa عَنِ التَّذْكِرَةِ adalah عَنْ هَذَا الْقُرْآنِ (dari al-Quran ini).2 Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh Muqatil, Nizhamuddin an-Naisaburi, al-Baidhawi, al-Harari, dan lain-lain.3

Penafsiran tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan ayat 54 yang menyebut al-Quran sebagai Tadzkirah. Menurut Fakhruddin ar-Razi dan al-Biqa’i, selain al-Quran, bisa juga nasihat-nasihat lainnya.4 

Adapun yang dimaksud dengan al-i’râdh (berpaling) dari al-Quran, menurut Muqatil dapat diartikan dengan dua bentuk. Pertama, menyangkal dan mengingkari al-Quran. Kedua, tidak mengamalkan apa yang ada di dalamnya.5 Termasuk juga berpaling dari al-Quran adalah berpaling dari mendengarkan ayat-ayatnya.6

Ayat ini memberikan pengingkaran terhadap mereka tersebut dengan menggunakan gaya bahasa kalimat tanya. Kata  dalam ayat ini merupakan ism istifhâm (kalimat tanya).7 Artinya, “Apa yang terjadi pada mereka karena keberpalingan mereka dari mengambil nasihat?”8

Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, mengapa orang-orang kafir sebelum kamu itu berpaling dari seruan dan peringatan yang kamu tujukan kepada mereka?”9

Asy-Syaukani juga berkata, “Apakah yang terjadi pada mereka ketika mereka berpaling dari al-Quran yang berisikan peringatan yang besar dan nasihat yang agung?”10

Istifhâm (kalimat tanya) tersebut bukan bermakna hakiki atau pertanyaan yang meminta jawaban atas pertanyaan yang disampaikan, tetapi istifhâm inkâri (kalimat retoris),11 yakni, kalimat tanya yang digunakan untuk menyatakan pengingkaran. Maksudnya, pengingkaran terhadap sikap mereka yang berpaling dari peringatan Allah SWT yang tidak didasarkan pada sebab yang dibenarkan.12

Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Mengapa kaum  musyrik itu berpaling dari al-Quran dan ayat-ayatnya, padahal isinya berupa nasihat-nasihat yang bagus, petuah-petuah dan pengajaran-pengajaran?”13

Menurut al-Biqa’i, sikap mereka itu sangat mengherankan. Sebabnya, tabiat manusia itu biasanya ketika diminta dengan sangat agar waspada, seperti musafir yang diminta agar waspada terhadap hewan buas di jalan, maka dia akan mengerahkan kemampuannya untuk menghindari dan berhati-hati terhadapnya meskipun orang yang mengabarkannya adalah pendusta. Lalu bagaimana dia bisa berpaling dari perkara yang harus sangat diwaspadai, sementara yang memberitahu adalah Zat Yang Mahabenar? Artinya, keberpalingan mereka itu menjadi bukti yang sangat jelas tentang lemahnya akal mereka dan bodohnya pemahaman mereka. Lebih mengherankan lagi ketika mereka justru berlari kencang darinya.14

Penolakan mereka terhadap peringatan Allah SWT semakin dikuatkan dengan firman-Nya berikutnya:

كَأَنَّهُمۡ حُمُرٞ مُّسۡتَنفِرَةٞ ٥٠

Seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut (QS al-Muddatstsir [74]: 50).

 

Dalam ayat ini mereka diumpamakan dengan keledai liar yang berlari kencang. Perumpamaan tersebut diungkapkan dengan kata كَأَنَّ yang pada umumnya mengandung makna at-tasybîh (penyerupaan). Makna tersebut adalah jika khabar atau predikatnya merupakan ism jâmid (kata benda yang format katanya tidak diambil dari kata yang lain). Namun, jika khabar-nya berupa ism musytaq (kata yang diambil dari kata lainnya dan menunjukkan sesuatu yang disifati oleh suatu sifat) atau jumlah fi’liyyah (kalimat yang diawali dengan al-fi’l atau kata kerja), maka maknanya azh-zhann (dugaan).15

Karena yang menjadi khabar-nya adalah kata حُمُرٌ yang merupakan ism jâmid, maka kata كَأَنَّ dalam ayat ini bermakna tasybîh. Dalam ayat ini termasuk tasybîh mursal,16 yakni tasybîh (penyerupaan) yang disebutkan adat tasybih atau pertikel untuk menyerupakannya,17 seperti huruf al-kâf yang berarti seperti atau كَأَنَّ yang berarti seolah-olah.

Kata حُمُرٌ merupakan bentuk jamak dari kata حِمَار (keledai).18 Maksudnya adalah الْحُمُرُ الْوَحْشِيَّة (keledai liar). Demikian penjelasan para mufassir seperti Ibnu Abbas, asy-Syaukani, al-Biqa’i, Ibnu ‘Asyur, al-Jazairi, dan lain-lain.19

Kemudian kata tersebut disifati dengan kata مُسْتَنْفِرَة. Kata tersebut merupakan bentuk muannats (kata benda yang menunjukkan jenis perempuan) dari ism al-fâ’il (kata benda yang menunjukkan pelaku perbuatan) dari kata اِسْتَنْفَرَ – يَسْتَنْفِرُ (melarikan).20

Menurut banyak ulama bahwa kata مُسْتَنْفِرَة. semakna dengan kata نَافِرَةٌ (berlari, menghindar, menjauhkan diri). Sebabnya, نَفَرَ وَاسْتَنْفَرَ merupakan dua kata yang mengandung makna yang sama, sebagaimana kata عَجِبَ وَاسْتَعْجَبَ (mengherankan, mengagumkan).21

Menurut Ibnu ‘Asyur, tambahan huruf al-sîn wa al-tâ` pada kata tersebut memberikan makna li al-mubâlaghah (untuk melebihkan) sifatnya, sebagaimana kata اسْتَكْمَلَ (menyempurnakan, menyelesaikan), اسْتَجَابَ (menyambut, menerima), اسْتَعْجَبَ (menakjubkan, mengherankan), اسْتَسْخَرَ (mengejek, mencemooh), اسْتَخْرَجَ (mencabut, menarik keluar), dan اسْتَنْبَطَ (menemukan, menggali). Dengan demikian kata مُسْتَنْفِرَة bermakna نَافِرَةٌ نِفَارًا قَوِيًّا (belari dengan sangat cepat). Artinya, berlari dengan kecepatan maksimal.22

Az-Zamakhsyari juga memaknai مُسْتَنْفِرَةٌ sebagai الشَّدِيدَةُ النِّفَارِ (yang berlari kencang), seolah-olah keinginan berlari itu timbul dari diri mereka sendiri.23 Penjelasan yang sama juga dikemukakan an-Naisaburi.24

Menurut Ibnu ‘Asyur, sifat النَّفْرَة (lari karena terkejut atau takut) dan سُرْعَةِ السَّيْرِ وَالْهَرَبِ (berjalan dan berlari cepat) biasa digunakan bagi hewan liar, baik keledai dan sapi. Artinya, keledai itu lari sangat kencang ketika mendengar suara pemburu.25 Itulah perumpamaan kaum kafir yang berpaling dari al-Quran, seperti keledai liar yang lari tunggang langgang.

Kemudian Allah SWT berfirman:

فَرَّتۡ مِن قَسۡوَرَةِۢ ٥١

Lari dari singa.

 

Ini masih menggambarkan penolakan orang-kafir terhadap al-Quran. Jika dalam ayat sebelumnya mereka diumpamakan seperti keledai liar yang berlari kencang, dalam ayat ini diberikan penjelasan lebih lanjut, bahwa larinya mereka disebabkan oleh adanya singa atau pemanah yang mengancam mereka.

Secara bahasa, kata فَرَّتْ bermakna هرَب (berlalu dengan cepat, melarikan diri, meloloskan diri).26 Artinya: keledai itu meloloskan diri dan berlari kencang dari qaswarah).27

Adapun kata قَسْوَرَةٍ, secara bahasa memiliki dua makna. Pertama, ism jâmid yang bermakna الْأَسَدُ (singa).28 Ini sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Aslam.29 Ibnu Abbas berkata, “al-Qaswarah adalah al-asad (singa) menurut bahasa Habsyah.”30 Hal yang yang sama juga dinyatakan Atha` dan al-Kalbi.31 Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, ini merupakan pendapat jumhur ulama bahasa.32

Kedua, bermakna الرُّمَاةُ (para pemanah). Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas ra.—dalam satu riwayat, Abu Musa al-Asy’ari, Said bin Jubair, ad-Dahhahak, Mujahid, Ikrimah, Qatadah dan Ibnu Kaisan.33

Menurut al-Azhari bahwa al-qaswarah merupakan ism al-jam’ (kata yang mengandung makna jamak) untuk menunjuk para pemanah, tidak memiliki bentuk tunggal.34 Namun menurut asy-Syaukani, قَسْوَرَةٍ merupakan bentuk jamak dari kata الْقَسْوَرُ yang bermakna الرَّامِي (pemanah).35 Penafsiran ini juga dipilih oleh az-Zamakhsyari. Maksudnya, para pemanah yang memburu  keledai-keledai liar.36

Dengan demikian, ayat ini menyerupakan orang yang berpaling dari al-Quran beserta berbagai nasihat lainnya yang baik seperti keledai liar yang berlari kencang dari singa atau rombongan pemanah. Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika keledai liar itu melihat singa, dia pun lari tunggang langgang. Demikianlah yang terjadi pada orang-orang kafir ketika melihat Nabi Muhammad saw. Mereka pun melarikan diri dari beliau  seperti keledai yang lari dari singa.”37

Menurut Ibnu ‘Asyur, ini merupakan tasybîh al-ma’qûl bi al-mahsûs, menyerupakan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang terindra.38

Penyerupaan tersebut merupakan celaan dan kecaman terhadap mereka. Demikian penjelasan para mufssir, seperti Abu Hayyan al-Andalusi, Mahmud Shafi, dan lain-lain.39 Itu juga menetapkan kebodohan mereka karena mereka diserupakan dengan keledai yang merupakan jenis hewan yang sangat bodoh.40

Sebagaimana dikemukakan Wahbah al-Zuhaili, penyerupaan tersebut merupakan celaan dan kecaman yang paling keras pada keadaan mereka sekaligus memberitahukan bahwa mereka adalah kaum yang bodoh.41

Menurut Mahmud Shafi, celaan tersebut sangat jelas sebagaimana dalam firman Allah SWT:

مَثَلُ ٱلَّذِينَ حُمِّلُواْ ٱلتَّوۡرَىٰةَ ثُمَّ لَمۡ يَحۡمِلُوهَا كَمَثَلِ ٱلۡحِمَارِ يَحۡمِلُ أَسۡفَارَۢاۚ ٥

Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya), adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (QS al-Jumu’ah [62]: 5).42

 

Ayat ini juga menunjukkan bahwa berpalingnya mereka dari kebenaran dan keimanan tidak didasarkan pada sebab yang jelas dan bisa diterima. Juga tidak dapat dipahami dan tidak dapat diterima. Dengan demikian penyerupaan mereka dengan keledai merupakan celaan yang sangat jelas, panggilan kepada mereka dengan kebodohan dan kepandiran, serta tidak terpengaruh dari nasihat-nasihat al-Quran. Padahal al-Quran yang menyebabkan mereka berlari meninggalkannya adalah menjadi penenang jiwa.43

WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Wasîth, vol. 1 (tt: Dar al-Da’wah, tt) , 313

2        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 39

3        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 88; Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ‘ib al-Qur‘ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 396; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihsya al-Turats al-‘Arabi, 1998), 263; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rawh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 413

4        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 716; al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 77

5        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 88;

6        Lihat Abdul Qadir Ghazi, Bayân al-Ma’ânî, vol. 1 (Damaskus: Mathb’ah al-Taraqiyy, 1965), 112; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 471

7        Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4 (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, 2005), 1389; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 401

8        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 241

9        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

10      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 400

11      Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 292; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rawh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30, 425

12      Lihat al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 148; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rawh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30, 413; Abu Su’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm, vol. 9  (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 62

13      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456

14      al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 77

15      Ibrahim Musthafa, al-Mu’jam al-Wasîth, vol. 2, 460

16      Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 293; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 163

17      Ahmad Musthafa al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’ânî wa al-Bayân wa al-Badî‘ (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt), 238

18      Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 1 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 557; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 329

19      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 339; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 400; Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21, 77;  Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 329; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 471; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 414

20      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 163

21      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 400

22      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 330

23      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 656

24      Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ‘ib al-Qur‘ân, vol., 396

25      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 329

26      Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol.  3, 1688

27      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 89

28      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 330; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur`ân, vol. 29, 163

29      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

30      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 330

31      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8 (tt: Dar Thayyah, 1997), 274

32      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 163

33      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 40; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 339; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 400; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

34      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 716-717. Lihat juga Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 163

35      al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 400

36      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 656

37      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 716; al-Wahidi al-Naisaburi, al-Tafsîr al-Basîth, vol. 22 (Saudi: Jam’ah al-Imam Muhammad ibnu Su’ud al-Islamiyyah, 20090, 461; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 244

38      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 329

39      Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 339; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 163; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 293

40      Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol. 21 (Beirut: Dar al-Kutu al-‘Ilmiyyahm 2001), 77

41      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 244

42      Lihat Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 163

43      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 244. Lihat juga Nizhamuddin al-Naisaburi, Gharâ‘ib al-Qur‘ân, vol. 6, 396

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × 3 =

Back to top button