Narasi Pahit Perempuan Dalam Sistem Demokrasi
Telah berabad perjalanan perempuan meniti asa mewujudkan kehidupan sejahtera dan mulia. Di bawah asuhan sistem demokrasi, harapan ini semakin memudar. Teriakan keras dan tuntutan panjang selalu menyertai setiap aksi perempuan, baik dari kalangan pekerja, buruh maupun penggiat hak-hak perempuan. Dari tuntutan mengakhiri ketidakadilan (upah rendah, jam kerja panjang dan kondisi kerja yang tidak aman) hingga tuntutan melawan kekerasan, pelecehan dan diskriminasi. Hari ini, tuntutan sejahtera dan mulia telah menjadi uphill battle (perjuangan berat). Sejarah perempuan dalam asuhan sistem demokrasi dipenuhi dengn penderitaan, kesengsaraan dan kesedihan.
Belum Sejahtera
Siapapun namanya, perempuan adalah manusia yang tidak ada bedanya dengan laki-laki. Sisi kemanusiaan perempuan telah lama menuntut pemenuhan kebutuhan dasar; dari akses makanan, pakaian dan perumahan yang layak, juga pendidikan, kesehatan dan keamanan. Kita harus membuka mata bahwa masih ada 14,3 juta penduduk miskin di desa, 9,86 juta penduduk miskin di kota. Separuh dari mereka adalah perempuan. Terdapat 30,23% populasi perempuan yang tidak mempunyai jaminan kesehatan (Susenas, BPS 2020).
Kemiskinan yang dialami perempuan berimplikasi pada kondisi saat menjalani periode hamil, menyusui dan mengasuh anak-anaknya. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018 menyebutkan, 17,3% Ibu hamil kurang energi kronik (KEK), 48,9% ibu hamil mengalami anemia, 27,67% anak-anak di Indonesia atau 6,3 juta masih stunting. Semua kondisi ini tidak bisa dipisahkan dari berbagai regulasi yang dihasilkan melalui sistem pemerintahan demokrasi.
Tuntutan demokratisasi pada tata kelola pemerintahan telah menjadikan peran Negara harus selalu dikurangi hingga terwujud small goverment. Negara tidak lagi menjadi satu-satunya penyelenggara pelayanan publik. Ada swasta sebagai patner. Perubahan tata kelola pemerintahan demokratis telah menjadikan fungsi pelayanan Negara menjadi bisnis untuk mencari keuntungan yang membebani akses rakyat pada kebutuhan dasar. Jadilah, semua serba mahal; dari layanan pendidikan hingga kesehatan.
Kondisi ini diperparah oleh regulasi yang mengadopsi kebijakan global, terutama ketentuan perdagangan bebas. Bahan pangan, obat-obatan dan komoditas lain yang termasuk kebutuhan dasar masyarakat masuk dalam komoditas yang diperdagangkan mengikuti ketentuan pasar bebas neoliberal. Tidak aneh, harga barang kebutuhan dasar sangat rentan dihempas fluktuasi dolar dan rantai pasok global. Sekali lagi, akses terhadap bahan-bahan dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar semakin tidak aman dengan naiknya harga. Demokrasi yang dipaksakan di negeri ini telah menjadi konektor bagi kebijakan rezim global kapitalisme yang menyengsarakan.
Masih Tereksploitasi
Transformasi perjuangan perempuan global dan lokal tidak bisa dilepaskan dari perjuangan kalangan feminis yang membawa ide kesetaraan gender. Saat ini kesetaraan gender telah diadopsi sebagai dokumen pembangunan global SDGs atau Sustainable Development Goals sebagai tujuan ke-5. Kesetaraan gender telah menjadi alat penjajahan Barat yang diselubungi utopia kesejahteraan perempuan. Semua “pemufakatan” internasional tentang gender—baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs, ataupun SDGs—sebagaimana UU internasional yang digagas Barat tidak lepas dari agenda penjajahan Barat.
“Kemajuan” gender yang dipropagandakan hanyalah mantra yang membius perempuan dan keluarganya untuk mau diberdayakan (dieksploitasi). Para kapitalis yang serakah terus-menerus mengeksploitasi perempuan demi mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Dunia yang disetir oligarki pengendali Multi National Corporation strategis telah menguasai SDA vital dan bisnis global.
Tentu mereka membutuhkan SDM untuk mengelola produksi barang dan jasa di korporasi miliknya. Selain menggerakkan roda ekonomi, perempuan adalah pasar potensial produksi barang dan jasa. Karena itu perempuan yang mandiri secara finansial akan mengalirkan keuntungan bagi “brankas” bos-bos MNC.
Karena itu pula Barat menciptakan ukuran untuk menilai keseriusan setiap negara menderaskan kesetaraan gender. UNDP (United Nations Development Programme) dipilih untuk mengawal capaian tersebut demi mengesankan sebagai target pembangunan. Dibuatlah Gender Inequality Index (GII) sejak 2010 untuk memperbaiki kekurangan indikator sebelum-nya, Gender Development Index (GDI), dan Gender Empowerment Measure (GEM), yang diperkenalkan sejak 1995.
Padahal mobilisasi—tepatnya eksploitasi—perempuan sebagai tenaga kerja akan memaksa perempuan banyak beraktivitas di luar rumahnya. Di sisi lain, tatanan masyarakat sekuler memiliki nilai-nilai yang merusak pandangan seksual saat laki-laki dan perempuan berinteraksi, pandangan yang kuat memangsa yang lemah. Kondisi ini akan menjadikan para perempuan menjadi target kejahatan-kekerasan, pelecehan dan diskriminasi.
Menguatnya eksploitasi perempuan atas nama pemberdayaan ekonomi telah menjadi tuntutan perundangan demi kemajuan ekonomi. Lagi-lagi demokrasi telah menjadi legislator UU dan aturan yang menjaga eksploitasi pada perempuan.
Ruang Hidup Terampas
Konflik agraria di Indonesia terus terjadi. Di berbagai penjuru negeri seakan tak ada yang lepas dari persoalan lahan. Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, ada 207 konflik agraria di 32 provinsi sepanjang 2021. Secara angka ada penurunan dibandingkan dengan tahun 2020, dengan 241 kejadian. Meskipun begitu, dampak konflik meluas. Pada 2020, konflik lahan terdampak pada 135.337 keluarga menjadi 198.859 keluarga. Keadaan ini menunjukkan, konflik menyasar lokasi padat penduduk, kampung-kampung maupun wilayah adat.
KPA mencatat, selama dua tahun pandemi ada 448 konflik agraria pada 902 desa/kota-kota. Dalam masa pemerintahan Joko Widodo tercatat 2.498 konflik agraria, atau sekitar 30 letusan kasus tiap bulan. Tiada hari tanpa konflik agraria di negeri ini dan di setiap konflik perempuan akan menanggung dampaknya. Perempuan memang mengalami beban ganda ketika ada konflik. Saat konflik, perempuan tak hanya turun langsung berjuang, tetapi harus menjadi kuat untuk keluarga mereka.
Meningkatnya konflik agraria yang merampas ruang hidup perempuan adalah implikasi dari penguatnya relasi bisnis ekstraktif di Indonesia, semisal perkebunan besar (contoh sawit atau program food estate) dan pertambahan, dengan elit penguasa (politik), sebut saja oligarki. Praktik oligarki yang muncul dari penerapan demokrasi telah menjadi pembuka berbagai perampasan lahan dan perampasan ruang hidup yang berdampak pada kehidupan perempuan; dari hilangnya tempat mencari kehidupan hingga ancaman bencana alam.
Derita Perempuan dan Keluarga
Demokrasi, dengan nilai-nilai kebebasan di dalamnya, menjadi kendaraan bagi norma kesetaraan gender untuk menuntut UU yang membebaskan perempuan dan menjaga eksploitasi perempuan atas nama pemberdayaan dan kesetaraan.
Pemberlakuan UU dengan norma kesetaraan gender, semisal UU KDRT, UU TPKS dan yang akan datang RUU KIA Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, dan RUU PPRT, akan mengubah relasi laki-laki dan perempuan, merusak sendi-sendi hubungan sosial kemasyarakatan, baik di sektor privat ataupun publik. Semangat meliberalkan perempuan akan menghancurkan peran sentral perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ini akan berdampak pada kehidupan keluarga.
Persaingan ekonomi yang keras menekan perempuan untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Peradaban kapitalis juga telah mereduksi nilai perempuan hanya dianggap berharga jika mandiri secara finansial.
Pengistimewaan posisi perempuan dalam dunia kerja tak jarang turut memelihara mentalitas ketakpedulian laki-laki terhadap tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Betapa banyak perempuan depresi karena target pekerjaan sekaligus menjadi breadwinner plus bertanggung jawab mengendalikan rumah dan keluarganya. Wajar jika kerap terjadi perselisihan tentang tanggung jawab dalam pernikahan dan pengasuhan anak. Sebabnya, posisi laki-laki sebagai qawwaam tak terjadi. Pernikahan bukan lagi untuk menjalani mitsaaq[an] ghaliizha. Banyak pasangan yang tak mampu melewati ujian pernikahan hingga perceraian menjadi pilihan logis. Apalagi ketika perempuan memiliki penghasilan. Hal itu cukup menjadi pembuktian bahwa dia bisa hidup tanpa laki-laki.
Belum lagi masalah terkait pengasuhan anak. Suka tak suka, perempuan pekerja memilih membayar orang lain untuk memelihara dan membesarkan anak-anak. Padahal sebuah survei PEW Research Center (2013) di AS melaporkan lebih 50% responden memilih anak-anak lebih baik dengan ibu yang tidak memiliki pekerjaan dan berada di rumah sepanjang waktu.
Melewatkan pengasuhan anak ternyata mempengaruhi kesejahteraan mental anak-anak. Bahkan di Swedia yang menjadi Top 4 dalam kesetaraan gender. Lebih dari 90% anak dari usia 18 bulan hingga 5 tahun yang berada dalam penitipan anak justru memiliki masalah disiplin tertinggi di Eropa.
Begitu berat hidup berumah tangga. Tak pelak, turut berkembang perilaku menunda atau menghindari memiliki anak demi mengejar karir. Dengan menolak melahirkan, bagaimana mereka mampu mewujudkan fitrah keibuan yang telah diberikan Allah SWT? Apalagi kini dunia maju telah tertimpa population ageing, yakni jumlah kelahiran menurun drastis.
Sistem demokrasi telah menjadi legislator penguatan norma gender yang berdampak pada tatanan sosial masyarakat.
Khatimah
Inilah kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem demokrasi. Bagaimanapun, demokrasi sebagai sistem politik dan sistem pemerintahan, telah mengokohkan kesetaraan gender di tengah masyrakat Muslim Indonesia. Kondisi ini akan memunculkan tidak hanya kerusakan tatanan sosial, tetapi resistensi pada nilai dan ajaran Islam yang terkait dengan perempuan dan keluarga.
Untuk menghentikan kerusakan ini, butuh solusi struktural, bukan individual ataupun komunal. Dunia butuh Khilafah. Khilafah dibangun atas pandangan shahih tentang perempuan, hukum-hukum yang menjamin kesejahteraan dan kemuliaannya. Khilafah memiliki wibawa untuk menolak ketundukan pada undang-undang kufur internasional dan memiliki kemandirian untuk melaksanakan hukum Islam kaaffah. Hanya Khilafah yang mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menjamin keberkahan kehidupan.
WalLaahu a’lam. [Fatma Sunardi]