Opini

BRICS Sejenis Game?


Sejak Perjanjian Bretton Woods pada 1944 disepakati, Dolar Amerika Serikat (AS) telah mendominasi perdagangan internasional dan menjadi mata uang cadangan dunia. Kepercayaan terhadap Dolar AS dibangun atas landasan kekuatan ekonomi AS yang tidak tertandingi.

Namun, dengan semakin banyaknya tantangan yang muncul, seperti krisis finansial global 2008, ketegangan perdagangan, serta meningkatnya sentimen anti-AS, berbagai negara mulai mencari cara untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap Dolar AS. Salah satu inisiatif terbesar yang muncul adalah upaya dari negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok dan Afrika Selatan) untuk menciptakan mata uang baru yang dapat menantang dominasi Dolar AS.

Upaya ini bukanlah hal baru. Sejak 2009, ide menciptakan mata uang bersama BRICS sudah mencuat. Bahkan pada Agustus 2023, rencana untuk menciptakan mata uang baru ini kembali dibahas dalam KTT BRICS. Meskipun demikian, potensi keberhasilan proyek ini masih diragukan. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan, terutama terkait dengan kondisi ekonomi masing-masing anggota BRICS, yang meskipun besar, memiliki ketergantungan yang dalam terhadap sistem keuangan global yang didominasi oleh Dolar AS.

Salah satu alasan utama mengapa proyek mata uang BRICS ini berisiko gagal adalah ketidakcocokan kepentingan antara negara-negara anggotanya. Negara seperti India memiliki hubungan dagang yang kuat dengan AS. Brasil dan Afrika Selatan lebih terintegrasi dalam sistem keuangan global yang berbasis pada Dolar AS. Berbeda dengan Rusia dan Tiongkok, yang lebih agresif dalam upaya de-dolarisasi, negara-negara BRICS lainnya masih bergantung pada Dolar AS untuk menjaga stabilitas ekonomi mereka.

Selain itu, meskipun Tiongkok, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, memiliki potensi untuk mendominasi mata uang alternatif, sulit untuk membayangkan negara-negara Barat, terutama AS dan Eropa, akan mendukung sistem moneter yang dipimpin oleh negara-negara dengan sistem politik otoriter seperti Tiongkok dan Rusia.

Dalam konteks ini, lebih realistis bagi negara-negara BRICS untuk fokus pada inisiatif Local Currency Settlement (LCS), yaitu perdagangan bilateral dengan menggunakan mata uang masing-masing negara. Dengan demikian, meskipun mata uang baru BRICS belum terlihat sebagai solusi yang realistis dalam jangka pendek, pengurangan ketergantungan pada Dolar AS melalui perdagangan bilateral dapat menjadi langkah awal yang lebih bijak.

Namun, dampak dari inisiatif BRICS tidak bisa diremehkan. Meskipun sulit untuk menggulingkan dominasi Dolar AS dalam waktu dekat, gerakan de-dolarisasi yang dimulai oleh negara-negara BRICS, yang menyumbang 24% dari PDB dunia, berpotensi menciptakan efek domino yang memengaruhi hubungan keuangan global. Jika sejumlah negara mengikuti jejak BRICS, terutama dengan memperbanyak penggunaan mata uang lokal dalam transaksi internasional, hal ini bisa mengurangi pengaruh Dolar AS secara bertahap.

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS, meskipun membawa keuntungan ekonomi dan perdagangan, dapat menimbulkan tantangan tersendiri. Indonesia harus berhati-hati. [Yuli Sarwanto ; (Direktur FAKKTA)]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two + seventeen =

Back to top button