
Kapitalisme Gigit Ekor Sendiri
Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang diberlakukan per 2 April 2025 kembali membuka babak baru dalam dinamika geopolitik dan ekonomi global. Alih-alih mencerminkan prinsip perdagangan bebas ala Kapitalisme global, kebijakan ini justru menegaskan hipokrisi sistem yang selama ini diagungkan negara-negara Barat. Amerika, sebagai motor utama kapitalisme global, menunjukkan bahwa kepentingan nasional tetap menjadi prioritas, bahkan jika itu harus menabrak dogma pasar bebas dan globalisasi yang selama ini mereka paksa diterapkan di negara-negara berkembang.
Tarif minimum 10% untuk semua impor, dan lebih tinggi untuk 57 negara termasuk Indonesia, bukan hanya langkah proteksionis. Ini adalah sinyal politik bahwa Amerika memposisikan diri sebagai pusat dominasi ekonomi yang berhak menetapkan standar, sambil menuntut negara lain tunduk. Negara-negara yang secara ekonomi lebih lemah, terutama negara-negara Muslim, kembali menjadi korban permainan kekuasaan ekonomi global.
Langkah ini tidak bisa dilepaskan dari kegagalan negara-negara Muslim dalam membangun kedaulatan ekonomi dan politik. Selama ini, negeri-negeri Muslim hanya menjadi eksportir bahan mentah dan pasar konsumsi produk Barat. Ketergantungan ini membuat mereka rentan terhadap guncangan eksternal, termasuk perang dagang, inflasi global, hingga krisis mata uang.
Indonesia, misalnya, berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, Pemerintah ingin mempertahankan hubungan dagang dengan AS; di sisi lain, kenaikan tarif akan memukul ekspor domestik, memperburuk defisit neraca perdagangan, dan mengancam stabilitas industri lokal. Respon Indonesia—seperti negara Muslim lain—lebih bersifat reaktif dan diplomatis, tidak menyentuh akar persoalan: ketidakmandirian ekonomi dan keterikatan pada sistem kapitalisme global.
Sementara itu, Trump memanfaatkan retorika nasionalisme ekonomi untuk memenangkan simpati domestik meskipun dunia internasional menyaksikan ironi besar: negara adidaya kapitalis justru melanggar prinsip dasar kapitalisme itu sendiri. Di sinilah letak kegagalan struktural kapitalisme. Sistem ini tidak dibangun atas asas keadilan, melainkan dominasi.
Bagi Dunia Islam, ini adalah panggilan penting. Ketika satu negara adidaya bisa mengacaukan stabilitas ekonomi puluhan negara hanya dengan satu kebijakan, sudah seharusnya negeri-negeri Muslim merevisi strategi mereka. Mereka harus keluar dari ketergantungan pada sistem ekonomi Barat dan mulai membangun blok kekuatan ekonomi sendiri. Potensi itu nyata: kekayaan sumber daya alam, posisi geografis strategis serta populasi besar yang didominasi generasi muda.
Namun, itu tidak cukup tanpa kesatuan ideologis dan politik. Dunia Islam memerlukan institusi pemersatu—seperti Khilafah—yang tidak hanya berbasis spiritual, tetapi juga menjamin independensi ekonomi, kebijakan moneter stabil (berbasis dinar-dirham), serta kepemimpinan global yang adil dan tidak hegemonik.
Kebijakan Trump adalah bukti bahwa kapitalisme hanya berpihak pada kekuatan. Dunia Islam harus belajar bahwa kekuatan bukan hanya soal senjata atau ekonomi, tetapi juga tentang keberanian mengambil sikap mandiri dan kembali kepada sistem yang lahir dari nilai-nilai ilahiyah.
Saatnya Dunia Islam menolak menjadi korban dan mulai menjadi pemain utama dalam panggung ekonomi-politik dunia. [Yuli Sarwanto (Direktur FAKKTA)]