
Krisis Moral Nasional?
Indonesia tengah menghadapi krisis sosial yang jarang disorot sebagai darurat nasional, yakni krisis moral dan seksual. Data resmi dari Kementerian Kesehatan RI (2024) menunjukkan adanya peningkatan signifikan kasus sifilis, mencapai 23.347 kasus dalam satu tahun. Ini adalah lonjakan 70% dari tahun 2018, dan menjadi indikator darurat perzinaan yang kian normal di masyarakat, terutama kalangan muda.
Data BKKBN tahun 2024 juga memprihatinkan: 59% remaja perempuan dan 74% remaja laki-laki telah melakukan hubungan seksual di usia 15-19 tahun. Fenomena ini berdampak langsung terhadap kesehatan dan struktur sosial: kehamilan remaja, aborsi ilegal (sekitar 750 ribu hingga 1,5 juta kasus pertahun), serta penyebaran penyakit menular seksual (PMS) seperti HIV/AIDS yang kini menyerang anak usia 15–18 tahun.
Situasi ini bukan sekadar masalah Kesehatan. Ini adalah krisis ideologi dan kegagalan sistemik. Negara saat ini mengadopsi prinsip liberalisme-sekuler dalam kebijakan sosial. Negera menganggap seks bebas sebagai bagian dari «hak privat» individu, selama dilakukan atas dasar suka sama suka. KUHP yang berlaku hanya menghukum zina jika ada aduan resmi, menjadikan hukum kehilangan daya cegah. Perilaku menyimpang seperti LGBT juga terus mendapat pembelaan melalui narasi HAM dan kebebasan.
Padahal kerusakan yang diakibatkan oleh perzinaan bersifat meluas dan sistemik: keruntuhan struktur keluarga, anak tanpa nasab, aborsi, pelecehan seksual, perdagangan manusia, hingga kerentanan ekonomi perempuan dan anak. Lebih jauh, generasi yang seharusnya menjadi pilar masa depan, justru hancur oleh hedonisme yang dilegalkan.
Islam memandang seksualitas sebagai amanah, bukan konsumsi bebas. Syariah Islam memiliki tiga pilar utama untuk menyelesaikan masalah ini: Pertama, pencegahan sistemik melalui pendidikan berbasis akidah Islam yang menumbuhkan sifat ‘iffah dan menolak pornografi serta pergaulan bebas. Kedua, penguatan institusi keluarga dengan memudahkan pernikahan dan memperbaiki sistem ekonomi agar pemuda mampu berumah tangga. Ketiga, penegakan hukum syar’i terhadap pelaku zina dan penyimpangan seksual, demi menjaga masyarakat dari kerusakan moral dan epidemi penyakit. Sayangnya, semua solusi tersebut tak bisa diterapkan dalam sistem sekuler seperti saat ini.
Liberalisme justru melanggengkan perzinaan sebagai pilihan hidup. Kapitalisme menjerumuskan masyarakat dalam krisis ekonomi dan konsumsi tak terkendali.
Karena itu, penyelesaian problematika seksual di Indonesia bukan sekadar soal edukasi seks atau layanan kesehatan. Perlu perubahan menyeluruh dalam sistem nilai dan hukum. Hanya sistem Islam yang mampu mengintegrasikan akidah, hukum, pendidikan dan perlindungan sosial secara harmonis dalam satu tatanan kehidupan.
Dalam sejarah, sistem Islam melalui Khilafah Islamiyah terbukti mampu menjaga kehormatan manusia, mencegah kerusakan seksual dan menyehatkan masyarakat secara jasmani dan rohani. Karena itu bagi bangsa yang mayoritas Muslim dan ingin mencetak generasi emas 2045, kembali pada sistem Islam bukan pilihan ideologis semata. Ia adalah kebutuhan faktual. [Ahmad Rizal (Pengamat Sosial)]