Opini

Masih Terjajah

Sejak agresi brutal Israel terhadap Gaza yang dimulai pada Oktober 2023, dunia menyaksikan bagaimana kekuatan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya, bukan hanya gagal menghentikan kekejaman, tetapi justru menjadi bagian darinya. Lebih dari 33.000 warga Palestina tewas hingga pertengahan 2025. Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak (data OCHA). Namun, suara dari Dunia Islam, terutama dari negara-negara mayoritas Muslim, terdengar lemah, terpecah dan cenderung simbolik.

Padahal umat Islam secara global berjumlah lebih dari 1,8 miliar jiwa (Pew Research Center, 2023). Kekuatan ekonomi dan sumber dayanya yang sangat besar. Sayangnya, jumlah besar itu tidak berbanding lurus dengan pengaruh geopolitik ataupun solidaritas yang nyata. Dunia Islam hari ini hidup dalam kerangka sistem nation-state (negara-bangsa), sebuah sistem yang diwariskan oleh kolonialisme Barat dan secara sistematis memecah kekuatan umat.

Perjanjian Sykes-Picot 1916 menjadi tonggak awal Dunia Islam terfragmentasi. Inggris dan Prancis, sebagai kekuatan kolonial utama, membagi-bagi wilayah Khilafah Utsmaniyah menjadi entitas-entitas politik kecil. Mereka mengabaikan sama sekali ikatan sejarah, agama atau budaya yang menyatukan masyarakat Muslim saat itu. Wilayah-wilayah seperti Irak, Suriah, Yordania dan Palestina dipisahkan secara paksa. Mereka menciptakan batas-batas artifisial yang hingga kini terus memicu konflik berkepanjangan.

Hasilnya, saat satu bagian tubuh umat Islam disakiti, bagian lain hanya bisa menyaksikan tanpa kuasa. Ketika Gaza dibombardir, perbatasan Mesir ditutup. Ketika rakyat Palestina berteriak, dunia Arab hanya mengeluarkan kecaman lisan. Indonesia, meski secara publik sangat pro-Palestina, tetap menjaga hubungan dagang dengan AS yang menjadi penyokong utama militer Israel.

Sudah waktunya Dunia Islam mulai memikirkan ulang struktur politik globalnya. Wacana membangun sistem pemerintahan bersama berbasis syariah Islam, atau Khilafah, bukan hanya berasal dari semangat religious. Ia juga merupakan respon atas kegagalan sistem nation-state yang terbukti memecah dan melemahkan.

Gabungan 57 negara anggota OKI, misalnya, jika disatukan, memiliki PDB gabungan lebih dari $10 triliun dan menguasai 60% cadangan minyak dunia. Belum lagi kekuatan militer, demografi serta posisi geopolitik yang sangat strategis. Persatuan semacam ini bukan utopia, tetapi potensi nyata yang hingga kini belum digerakkan secara kolektif.

Umat Islam tidak kekurangan jumlah, sumber daya atau semangat. Yang kurang adalah sistem yang menyatukan. Krisis Palestina dan konflik-konflik lain di Dunia Islam tidak akan selesai dengan konferensi dan bantuan kemanusiaan saja. Dibutuhkan perubahan fundamental dalam struktur politik umat Islam, dari keterpecahan menuju integrasi. Indonesia, dengan sejarah besar dan kekuatan populasi Muslimnya, seharusnya menjadi pelopor perubahan ini—bukan sekadar pengamat tragedi. [Aida Karimah (Forum Literasi Muslimah)]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − three =

Check Also
Close
Back to top button