Perppu Ciptaker Suburkan Privatisasi?
Pasca Perppu Omnibus Law Ciptaker disahkan, Negara dinilai telah dikendalikan oleh para kapitalis global. Negara terlihat sekali melayani para kapitalis itu dengan tiga Tindakan, yaitu: (1) privatisasi; (2) relebelisasi; (3) deregulasi.
Privatisasi ini contohnya adalah pengelolaan dan kepemilikan tanah. Kenyataannya, privatisasi tidak seperti yang digambarkan Pemerintah, yakni bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Pasalnya, yang dimaksud masyarakat bukanlah masyarakat secara keseluruhan, tetapi tentu saja hanya ’kelompok masyarakat khusus’, yakni mereka yang punya uang (investor).
Privatisasi tidak lain merupakan upaya Pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengelola negara. Tidak aneh, setiap tahun Pemerintah hanya bisa menjual aset/kekayaan negara dengan cara ugal-ugalan. Akibatnya, kekayaan negara—yang hakikatnya milik rakyat—terus menyusut, sedangkan hutang negara terus bertambah.
Kebijakan privatisasi di Indonesia telah diatur sedemikian rupa seperti yang tertuang dalam dokumen milik Bank Dunia yang berjudul, Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen ini terdapat panduan bagaimana Pemerintah melakukan kebijakan privatisasi dengan menghilangkan persoalan hukum. Pertama: Memastikan tujuan-tujuan Pemerintah dan komitmennya terhadap privatisasi. Kedua: Mengubah undang-undang atau peraturan yang menghalangi privatisasi. Ketiga: Menciptakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan privatisasi. Keempat: Menghindari kekosongan kewenangan kebijakan privatisasi yang dapat menyebabkan kebijakan privatisasi tidak dapat dijalankan.
Privatisasi merupakan salah satu agenda globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), AS dan negara-negara kapitalis lainnya, serta para investor global. Tujuannya tidak lain adalah penjajahan.
Privatisasi juga merupakan hukum kufur yang tegak di atas prinsip pasar bebas, yang menjadi salah satu pilar sistem ekonomi kapitalis. Ini sangat bertentangan dengan Islam. Penerapan hukum ini menjadikan Pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pengatur urusan masyarakat. Pemerintah kemudian menyerahkan perannya kepada pemilik modal.
Syariah Islam menegaskan bahwa Pemerintah harus mampu mengatur dan melayani urusan masyarakat (ri’âyah as-su’ûn al-ummah), Pemerintah harus memiliki alat dan sarana. Salah satunya dengan mendirikan badan-badan yang bertugas menggali sekaligus mengolah barang tambang serta memproduksi barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga harus memiliki badan yang dapat menjamin pendistribusian semua itu di tengah-tengah masyarakat. [Yuli Sarwanto ; (Direktur FAKKTA)]