Opini

Rezim Dunia Arab Berkhianat

Perjanjian gencatan senjata antara Lebanon dan entitas Yahudi yang dimediasi Amerika Serikat dan Prancis adalah bukti nyata dari rapuhnya posisi umat Islam akibat dominasi agenda kolonial di kawasan. Entitas Yahudi, yang kerap bergantung pada kekuatan militer untuk mempertahankan pendudukannya, kini menunjukkan kelemahan fundamentalnya: ketidakmampuan menghadapi konfrontasi jangka panjang. Namun, gencatan senjata ini justru mengungkapkan bagaimana perpecahan politik di Dunia Islam dimanfaatkan untuk mempertahankan status quo penjajahan.

Kesepakatan yang menempatkan Hizbullah pada posisi defensif dan membatasi aktivitasnya di Lebanon Selatan menunjukkan bagaimana kepentingan umat Islam sering dikorbankan demi stabilitas semu yang diatur oleh kekuatan kolonial. Negara-negara Barat, seperti Amerika dan Prancis, yang menjadi mediator, jelas bukan pihak netral. Mereka adalah pendukung utama entitas Yahudi yang terus melakukan pendudukan terhadap Palestina, dan sekaligus aktor di balik fragmentasi politik umat Islam melalui Perjanjian Sykes-Picot.

Para penguasa Muslim dalam sistem negara bangsa sekuler gagal membela hak-hak umat Islam, malah memperkuat sekat-sekat nasionalisme yang memecah-belah solidaritas Muslim global. Mereka membiarkan pasukan bersenjata mereka terkungkung oleh doktrin pertahanan nasional sempit, alih-alih memobilisasi kekuatan besar umat Islam untuk membebaskan tanah yang dijajah.

Umat Islam memiliki potensi yang sangat besar—baik dari segi populasi maupun sumber daya alam—untuk menghadapi penindasan dan penjajahan. Namun, potensi ini tidak terwujud akibat kurangnya kepemimpinan yang bersandar pada nilai-nilai Islam. Sejarah mencatat bahwa di bawah Khila­fah, umat Islam bersatu sebagai satu kesatuan politik, yang tidak hanya mampu melindungi kehormatan umat, tetapi juga membawa keadilan bagi dunia.

Fragmentasi akibat negara-bangsa harus segera diatasi dengan upaya menyatukan kembali umat Islam di bawah naungan Khilafah. Sistem ini tidak hanya akan memobilisasi kekuatan militer umat untuk membebaskan Palestina dan tanah Muslim lainnya, tetapi juga akan menjadi tameng yang melindungi umat dari dominasi kekuatan kolonial. Dalam kerangka Khilafah, umat Islam akan memiliki strategi geopolitik independen yang didasarkan pada akidah Islam, bukan kepentingan asing.

Perjanjian gencatan senjata ini, seperti perjanjian lainnya yang melibatkan kekuatan kolonial, adalah alat untuk mempertahankan status quo yang tidak adil. Umat Islam harus memanfaatkan momen ini untuk mempertegas identitas mereka sebagai umat yang satu, dan mengarahkan perjuangan mereka pada visi besar: membebaskan tanah-tanah Muslim yang terjajah dan mengembalikan kejayaan Islam melalui persatuan dan kepemimpinan sejati. Perjuangan ini tidak akan selesai dengan langkah-langkah diplomasi semata, melainkan dengan kesadaran politik, keteguhan iman, dan komitmen terhadap nilai-nilai Islam. [Anggi Suharnadi]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 1 =

Back to top button