Opini

Stop Candaan, Arogansi dan Hinaan

Fenomena candaan yang diucapkan oleh Gus Miftah, seorang pendakwah ternama, terhadap penjual es teh dalam acara tablig akbar di Magelang dan beberapa kesempatan lainnya memantik diskusi serius mengenai batas antara humor dan penghinaan, khususnya di ruang publik. Sebagai tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan moral, tindakan Gus Miftah menimbulkan pertanyaan tentang etika berkomunikasi dan peran pendakwah di masyarakat.

Ucapan “goblok” kepada penjual es teh—baik pria maupun wanita—yang disampaikan Gus Miftah di atas panggung, meski dibingkai sebagai candaan, menunjukkan bagaimana posisi sosial sering digunakan untuk merendahkan orang lain di ruang publik. Dalam konteks ini, pendakwah yang berada di atas panggung tidak hanya menggunakan kuasanya untuk menyampaikan pesan agama, tetapi juga mendominasi wacana dengan candaan yang menjatuhkan pihak lain.

Candaan seperti ini mencerminkan arogansi. Pendakwah merasa berhak menghakimi atau merendahkan seseorang demi memancing tawa audiens. Perilaku ini menunjukkan ketidaksensitifan terhadap martabat individu, terutama mereka yang bekerja keras di sektor informal, seperti penjual es teh.

Di masyarakat, kata “goblok” sering dianggap bagian dari percakapan sehari-hari. Namun, ketika disampaikan oleh figur publik, apalagi seorang tokoh agama, ini memiliki dampak yang jauh lebih besar. Ucapan tersebut tidak hanya mencerminkan sikap merendahkan, tetapi juga dapat memberikan legitimasi terhadap kekerasan verbal di masyarakat. Normalisasi semacam ini berbahaya karena memperkuat budaya saat hinaan dianggap wajar, bahkan lucu, sehingga melanggengkan siklus pelecehan verbal.

Panggung tablig Gus Miftah kerap disoroti karena didesain layaknya pusat kekuasaan. Sang pendakwah berada di posisi tertinggi dengan pengikut di bawahnya yang siap memberikan validasi terhadap setiap ucapan. Gesture seperti menertawakan «korban» di panggung dan mencari audiens untuk ikut tertawa bersama menggambarkan bagaimana kuasa sering disalahgunakan.

Alih-alih mendekatkan diri kepada umat, perilaku ini justru menciptakan jarak yang semakin besar antara pendakwah dan masyarakat biasa. Hal ini menunjukkan hilangnya empati dan penghormatan terhadap individu, terutama mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah.

Sebagai seorang pendakwah, Gus Miftah memiliki tanggung jawab besar untuk tidak hanya menyampaikan nilai-nilai agama, tetapi juga mencontohkan sikap yang etis dan beradab. Ketika hinaan dijadikan lelucon, pesan moral yang ingin disampaikan justru tenggelam oleh kontroversi, dan integritas pendakwah tersebut menjadi dipertanyakan.

Dalam konteks ini, Gus Miftah dan para pendakwah lainnya perlu merefleksikan kembali peran mereka sebagai pemimpin moral masyarakat. Humor dalam dakwah memang penting, tetapi harus digunakan secara bijak dan tidak menjadikan individu sebagai objek penghinaan. Sebabnya, tugas utama pendakwah adalah menginspirasi, bukan menjatuhkan.

Masyarakat juga memiliki peran dalam mengkritisi fenomena ini. Dukungan terhadap candaan yang merendahkan hanya akan memperkuat budaya toxic di ruang publik. Dalam dunia yang terus berubah, figur publik, termasuk pendakwah, perlu belajar bahwa empati dan penghormatan terhadap martabat individu adalah fondasi dari pesan-pesan moral yang mereka bawa. Dakwah sejatinya bukan tentang mendominasi panggung, melainkan membawa kebaikan yang sejati. [Anwar Rosadi]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eight − three =

Back to top button