Pengantar [Menyoal Rekontekstualisasi Fikih]
Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Pembaca yang budiman, persis sejak wahyu terakhir turun kepada Baginda Rasulullah saw., Islam telah sempurna, sekaligus paripurna (QS al-Maidah [5]: 3). Tak ada sedikit pun kekurangan di dalam agama ini. Siapa saja yang menuding Islam belum sempurna bisa jatuh dalam kekafiran.
Karena kesempurnaan dan keparipurnaanya, Islam pasti cocok di setiap zaman dan tempat. Syariah Islam pasti bisa mengatasi semua problem yang dihadapi umat manusia di mana pun dan kapapun. Ini berlaku sampai Hari Kiamat.
Karena itu Islam tak butuh direaktualisasi, direkonstruksi, direkontekstualisasi atau apapun istilahnya. Sebabnya, inti semua itu pada hakikatnya adalah ikhtiar untuk menundukkan Islam terhadap realitas yang ada.
Padahal Islam lahir justru untuk menundukkan (baca: mengubah) realitas yang ada—yang nyata-nyata rusak—agar sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Bukan sebaliknya. Syariah Islam diotak-atik—atas nama pembaruan dan semacamnya—agar sesuai dengan realitas atau tuntutan zaman.
Jelas, upaya reaktualisasi atau rekontekstualisasi Islam—jika dimaksudkan untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman—wajib ditolak. Selain berbahaya, hal demikian tidak relevan dengan tuntutan Islam itu sendiri. Sebabnya, yang dituntut saat ini tidak lain penerapan syariah Islam secara kaffah. Bukan yang lain.
Di seputar itulah tema utama al-waie kali ini. Selain tema menarik lain lainnya. Selamat membaca!
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.