Siyasah Dakwah

Kesudahan Proyek Barat Memecah-belah Dunia Islam

Selain faktor sumberdaya ekonomi, Timur Tengah merupakan wilayah sangat penting secara geografis dan maupun ideologis. Tak aneh bila kawasan ini selalu menjadi pusat gejolak dunia, menjadi kawasan yang sangat menentukan bagi setiap negara yang ingin menjadi adidaya dunia. Karena itulah dulu Barat menaruh perhatian besar untuk memisahkan kawasan ini dari Negara Khilafah, lalu mereka bagi-bagi dikalangan pemenang perang. Bahkan setelah terjadi perubahan konstelasi politik pasca perang Dunia Kedua, Timur Tengah tetap menjadi poros berbagai kegiatan politik dunia. Sebab, bila dibiarkan,  dengan sangat cepat  wilayah ini akan kembali pada akidah dan ideologi aslinya, yaitu Islam.  Karena itulah wilayah ini selalu berada dalam studi mikroskopis untuk memantau dan mencegah setiap gerakan menuju ke arah sana.

Dunia Islam hari ini ibarat berada dalam hamil besar yang siap lahir. Hal ini tiada lain akibat produk dari penerapan sistem yang bertentangan dengan akidah mereka oleh rezim diktator dan kejam, juga buah dari eksploitasi dan penindasan yang berlangsung lama. Masalah mendasarnya, umat belum sepenuhnya memiliki kesadaran bagaimana mereka bisa meraih apa yang mereka cita-citakan. Tak jarang, mereka kembali jatuh pada perangkap yang dirancang oleh Barat sendiri.

Sisi lain, kawasan Timur Tengah saat ini bagaikan gunung berapi besar yang  letusannya tak dapat diprediksi kapan berakhir.  Arab Spring yang terjadi sejak tahun 2011 lalu telah melahirkan rezim yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kondisi ini seharusnya semakin menguatkan tekad umat bahwa perjuangan mereka harus terus digelorakan dengan penuh kesadaran agar segera mencapai apa yang dicita-citakan. Perjuangan kaum Muslim tak boleh dibelokkan oleh propaganda media yang menyesatkan. Masyarakat Muslim saat ini jauh lebih siap untuk kembali pada penerapan hukum Islam. Hanya saja, masih terjadi kesamaran dan kehilangan kesadaran yang benar, akibat apa yang telah berhasil ditanamkan Barat kurang lebih sejak seratus tahun lalu.

Sektarianisme, misalnya, tak pernah ada di Dunia Islam sebelum seratus tahun yang lalu. Kalaupun terjadi perbedaan di tengah-tengah umat, hal itu terjadi karena perbedaan dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Betapapun tajamnya perbedaan tersebut, tak pernah mengakibatkan perpercahan sebagai-mana dampak fitnah, hasutan dan racun pemi-kiran yang ditanamkan Barat sekarang ini.  Andai bukan racun tersebut, niscaya upaya mengem-balikan kejayaan Islam tidak terlalu sulit.

Sebagai contoh, Iran tidak berbeda dengan negeri-ngeri Muslim yang lain. Penduduknya Muslim. Hanya saja pemimpin mereka adalah para pengkhinat yang tunduk pada kepentingan tuannya, layaknya para pemimpin Dunia Islam lainnya. Jika kita memperhatikan sejarah Iran baru-baru ini, kita akan mendapati betapa dahsyatnya persekongkolan di wilayah terebut. Kita juga menemukan bahwa Iran mengalami serangan yang luar biasa oleh aliansi pasukan Inggris dan Soviet pada 1941. Saat itu Iran diperintah oleh Reza Khan sejak 1925 M hingga 1941 M. Lalu dia meninggalkan jabatannya untuk putranya Mohammad Reza Shah Pahlavi yang memegang kekuasaan hingga Revolusi 1979 yang menggulingkan dirinya. Selama periode ini, upaya untuk membunuh Shah terus dilangsungkan, khususnya pada tahun 1949 oleh seorang anggota Partai Tudeh. Pada tahun lima puluhan terjadi perselisihan antara dia dan  seorang nasionalis, Mohammed Mossadeq, yang memaksa dia melarikan diri dalam beberapa waktu.

Ketika  Mohammed Mossadeq bersikeras dengan keputusan untuk menasionalisasi minyak Iran dan mengusir perusahaan minyak Inggris, pemerintahan London menjatuhkan hukuman berat pada Teheran untuk memaksa Teheran  menarik kembali kebijakan tersebut. Ketika Mossadeq tetap bertahan dengan keputusannya, Inggris dan Amerika Serikat merencanakan sebuah kudeta yang dikenal sebagai Operasi Ajax. Akhirnya, Mossadeq berhasil digulingkan dan kebijakan nasionalisasi dihentikan. Kemudian mereka mengembalikan Mohammed Reza pada pemerintahannya.

Sejak saat itu, Syah melangsungkan pemerintahannya dengan tangan besi. Ia menghapuskan seluruh partai politik, kecuali partai yang berkuasa. Selain itu, ia membentuk  kembali kesatuan polisi rahasia (Savak) yang melakukan tindakan paling kejam terhadap rakyat negara ini. Shah juga menasionalisasi tanah pertanian yang sangat luas.

Pada 16 Januari 1979, umat Islam Iran bergerak untuk mengenyahkan penghinaan atas mereka, terutama saat Shah mencegah penggunaan jilbab dan mengubah kurikulum pendidikan. Tuntuntan mereka tiada lain keberlangsungan penerapan hukum Islam. Selama revolusi terjadi, tak ada perbedaan antara Sunni dan Syiah, sebab gerakan tersebut mewakili semua kepentingan mereka.

Hal ini memaksa AS mengambil jalan bekerjasama dengan Khomeini, yang berada di pengasingan di Prancis. Kontak  antara Presiden AS Jimmy Carter dan Ayatollah Khomeini berlangsung pada  tahun 1979. Salah satu hasilnya, Khomeini menjanjikan bahwa bila ia berhasil mencapai puncak kekuasaan, ia tidak akan memutus minyak Iran untuk Barat dan tidak akan menjalarkan revolusi ke negara-negara di kawasan. Sejak saat itulah, arah revolusi berubah dari revolusi rakyat menjadi revolusi untuk  kepentingan AS, sebagaimana disebutkan dalam bocoran WikiLeaks.

AS lalu mengerahkan kekuatan militernya untuk memfasilitasi kudeta yang menguntungkan Khomeini. Tugas Khomeini adalah mengamankan stabilitas politik dalam negeri, mengalihkan arah revolusi, dan menyingkirkan para pejuang yang tulus, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah.

Setibanya di  Teheran,  Khomeini  menyampaikan pidato pertamanya atas nama Sheikh Ahmed Mufti Zada. Ia adalah simbol tokoh Sunni dalam revolusi tersebut. Akan tetapi,  ketika konstitusi dibuat, Sheikh Ahmed menolaknya. Ia mengatakan, “Undang-undang ini mengakibatkan negara berada pada sektarianisme yang memecah belah.”

Karena pernyataannya itu, ia dipenjara atas tuduhan melakukan tindakan oposisi dan menolak konstitusi. Sheikh berada dalam penjara hinga menjelang wafatnya.  Begitu pula nasib para pejuang yang tulus lainnya.

Era baru Iran tak menghentikan tuntutan Muslim Iran terhadap penerepan kembali hukum syariah. Namun, Khomeini memiliki rencana lain yang memalingkan revolusi dari arah yang benar menjadi berjalan atas kepentingan AS. Karena itu lah, pada tahun 1979, Hizbut Tahrir menyampaikan rancangan Konstitusi Islam yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah kepada Khomeini dan  komisi para ahli untuk diadopsi. Namun, mereka bukanlah orang yang ikhlas berjuang. Justru mereka telah mangkhianati darah para syuhada. Setelah rancangan yang disampaikan ditolak, Hizbut Tahrir kemudian menyampaikan kritik terhadap undang-undang Iran dan sistem wilayatul faqih yang akhirnya mereka tetapkan sebagai undangan dan sistem yang berlaku di Iran.

Setelah secara resmi berkuasa, Khomeini memerintah atas rakyat dengan khithah yang telah dia rancang. Dia memperluas dan mempertajam perbedaan di kalangan rakyat Iran, menanamkan benih-benih sektarianisme dan mengembangkannya dengan segala cara. Dengan ini Khomeini benar-benar telah menjadi kepanjangan tangan AS dalam menerapkan setiap kebijakannya di kawasan tersebut untuk jangka panjang. Untuk itu ia perlu mengelabui dunia, dengan menampakan  permusuhannya terhadap AS (setan besar) dan  entitas Zionis.

Karena itu kita menemukan selama kurang lebih 40 tahun, hampir semua orang mengira bahwa  Iran adalah musuh AS. Sebab, nyaris tak diketahui adanya hubungan persahabatan di antara keduanya hingga era belakangan ini. Namun, sejarah membuktikan bahwa itu tidak benar. Yang terjadi justru sebaliknya. Perang Irak-Iran yang pertama, yang sering disebut Perang Teluk I, yang terjadi pada 1980, pecah segera setelah Revolusi Iran. Perang tersebut berlangsung selama delapan tahun, memakan korban lebih dari satu juta orang, dan menyebabkan kerusakan serius bagi kedua negara.

Terlepas dari konflik kedua negara, perang tersebut tentu menguntungkan AS, yaitu mencegah berbaliknya revolusi melawan Khomeini dan membuka pintu ke negara-negara Teluk khususnya Arab Saudi. Seterusnya terjadilah konflik Sunni-Syiah yang berlangsung hingga sekarang.

Kuatnya persahabatan mereka juga ditunjukkan oleh skandal (Iran Gate) serta penjualan senjata AS dan Zionis ke Iran selama perang berlangsung. Dalam Perang Irak tahun 2003, Iran adalah salah satu pilar kemenangan AS.  Keharmonisan bahkan kerjasama dua negara itu tampak jelas.  Fatwa Sistani dengan jelas melarang konfrontasi melawan pasukan AS. Dalam pandangannya, tentara AS merupakan pasukan pembebas. Apa yang dilakukan milisi Syiah di Irak atas dukungun pemeritah Iran juga merupakan fakta yang tak bisa dilupakan. Juga apa yang dinyatakan Uri Chamoni di koran Zionis-Ma’aref, “Iran adalah negara regional. Kami memiliki banyak kepentingan strategis dengan mereka. Apa yang terjadi dengan institusi kami bukanlah permusuhan, melainkan konflik pengaruh,  bukan persoalan eksistensi.”

Yang juga tak boleh kita lupakan, peran organisasi Syiah di Dunia yang diam-diam didanai Amerika untuk menyebarkan pemikiran ekstrem  Syiah yang bertentangan dengan Islam, untuk  mendukung konflik Sunni-Syiah. Sebab, konflik tersebut memastikan kelangsungan entitas Zionis dan mencegah umat Islam bersatu. Selain itu propaganda media juga memiliki peran besar dalam memperuncing konflik sektarian ini. Semua itu tiada lain untuk melayani kepentingan AS di wilayah tersebut.

Keberadaan Reaktor nuklir Iran tiada lain untuk menguras keuangan Teluk. Negeri kaum Muslim yang telah dibagi menjadi bagian-bagian kecil seperti Kuwait, Bahrain, Qatar, Oman UEA, Yordania, Mesir, dan Irak dibiarkan membangun pangkalan militer sendiri-sendiri. Ini merupakan kolonialisme baru untuk menghilangkan pengaruh negara-negara Eropa pada umumnya dan Inggris pada khususnya. Inilah yang terjadi hingga hari ini.

Adapun di Suriah, kini sudah demikian terang, bahwa AS menggunakan Iran dan partainya di Libanon untuk mendukung rezim Assad.

Ketika berakhirnya peran Iran kian mendekat, konstelasi politik AS-Iran menunjukkan arah perubahan. Sesungguhnya perubahan itu terjadi  sejak Presiden Trump menjabat, tetapi tampak lebih jelas saat keluarnya AS dari perjanjian nuklir Iran. Saat itu sanksi keras dijatuhkan atas Iran, bahkan akan diikuti oleh sanksi yang lebih menyakitkan lagi. Dalam situasi seperti ini AS hendak  mendorong rakyat Iran untuk memberontak terhadap rezim. Bahkan AS berharap hal terjadi dalam waktu dekat.

Sementara itu, sanksi tersebut telah menyebabkan pelarian modal ke luar negeri yang pada gilirannya menyebabkan penurunan nilai mata uang Iran. Sudah barang tentu, penurunan besar-besaran nilai  tukar Toman terhadap dolar dalam periode terakhir ini menjadi tekanan besar bagi Iran. Padahal pemerintahannya telah berupaya untuk menanggulanginya dengan menetapkan secara resmi nilai tukar Toman terhadap dolar pada 4.200 Toman perdolar. Namun, harganya di pasar gelap sekarang ini telah mencapai lebih dari 7000 Toman perdolar. Penurunan telah menyebabkan larinya lebih  dari dua ratus miliar dolar dengan sepengetahuan Pengawal Revolusi.

Pemerintah berusaha mencukupkan diri dengan penggunaan mata uangnya, namun tidak berhasil. Begitupun ketika Iran beralih menggunakan Euro. Belum lagi kerusakan moral buah dari kekuasaan wilayatul faqih selama periode itu, yang telah membantu memperburuk situasi.

Hitung mundur kejatuhan rezim Wilayat al-Faqih sesungguhnya sudah demikian terang bagi semua orang. Hanya saja, sulit memprediksi kapan itu terjadi? Apakah akan diawali pemberontakan dan kekerasan? Melalui Revolusi Beludru? Atau melalui revolusi seperti Arab Spring.

Namun yang jelas, AS tengah berupaya membagi wilayah Timur Tengah dan tak menginginkan ada negara besar di kawasan tersebut sebagaimana kebijkan politiknya pada masa lalu.

Dalam konteks ini, telah diajukan beberapa proyek. Di antaranya adalah Proyek Bernard Lewis tentang pembagian negara-negara Timur Tengah Raya, yang ia tulis sesaat setelah pernyataan yang disampaikan oleh Penasihat Keamanan Nasional AS Brzezinski. Di antara pernyataanya:  “Persoalan yang akan dihadapi AS adalah bagaimana Perang Teluk Kedua dapat dihidupkan kembali agar AS bisa memperbaiki  batas-batas  Sykes-Picot”.

Strategi ini  telah diadopsi AS sejak 1983. Setelah proyek Lewis, diajukan pula proyek Ralph Peters untuk mendukung pemisahan  berdasarkan batas darah, sebagaimana diterbitkan dalam Jurnal Angkatan Bersenjata tahun 2006.

Selain dua proyek tersebut ada pula proyek lain yang meneguhkan niat AS untuk memecah-belah kawasan Timur Tengah, berdasarkan etnis dan sektarianisme yang dijalankan untuk mengamankan kepentingan dan memuluskan ambisi AS.

Terlepas dari  kemungkinan realisasi proyek-proyek tersebut dan rencana kuat AS untuk memecah-belah wilayah ini, tetap saja tingkat keberhasilan atau kegagalannya bergantung  pada apakah kaum Muslim memiliki rencana strategis dan  komprehensif yang mampu melawan seluruh agenda jahat tersebut atau tidak. Selama umat Islam belum memiliki cara pandang ideologis untuk membangun sebuah kekuatan politik yang mampu menghimpun mereka, tentu akan sulit menghadapi berbagai proyek di atas. Bahkan setiap upaya ke arah sana akan kembali jatuh dalam perangkap dan jebaka mereka.

Ibarat raksasa tertidur, Dunia Islam kini mulai beranjak bangun. Bila Allah menghendaki, niscaya umat ini segera sadar bahwa diri mereka adalah sumber kekuatan. Aadapun penguasa mereka tak lebih hanyalah boneka di tangan musuh-musuh Islam. Oleh sebab itu, setiap Mukmin yang percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah semestinya berjuang keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dalam melawan setiap makar Barat. Caranya dengan menjalankan agenda besar untuk melanjutkan kehidupan Islam melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah sebagaimana  diperjuangkan Hizbut Tahrir sejak 65 tahun yang lalu.

Hizbut Tahrir terjun dalam setiap perubahan konstelasi politik, baik dalam level internasional maupun nasional, di seluruh negeri-negeri kaum muslim. Melalui kiprahnya tersebut,  dengan izin Allah SWT, Hizbut Tahrir mampu memimpin umat untuk mengembalikan kemuliaan dan kejayaannya.

Bagi rakyat Iran khususnya, solusi atas persoalan mareka tidaklah mungkin datang dari para penguasa pengkianat agen Barat. Bukan pula resolusi dari kekuatan besar yang menamakan dirinya sebagai masyarakat atau komunitas internasional. Solusinya tidak lain lahir dari  keyakinan mereka sendiri, yaitu dengan sepenuhnya berhukum dengan hukum dan undang-undang Allah SWT, melalui tegaknya Daulah Khalifah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah yang telah dijanjikan Rasulullah saw.

Wahai para tentara kaum Muslim,  berjuanglah untuk menolong agama Allah dan darah umat kalian. Bersegeralah untuk meraih kemulian di dunia  dan akhirat. Janganlah kalian rela menjadi alat orang zalim dan pengkhianat yang menyebabkan kalian mendapat murka Allah SWT. Allah SWT telah berfirman:

وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ  ٤٠

Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa (QS al-Hajj  [22]: 40).

 

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + thirteen =

Check Also
Close
Back to top button