Soal Jawab

Bolehkah Ormas Mengelola Tambang?

Soal:

Bagaimana hukum pengelolaan tambang yang dilakukan bukan oleh Negara, seperti organisasi kemasyarakat, atau yang lain?

 

Jawab:

Tambang (ma’din) adalah sumberdaya alam (SDA) yang terdapat di dalam perut bumi. Di Indonesia, buminya mempunyai banyak SDA, seperti:

  • Minyak Bumi: Terdapat di berbagai daerah seperti Aceh, Riau, Muara Enim, Tarakan, Amuntai, Surabaya, Rembang dan Majalengka.
  • Batubara: Ditemukan di Bukitasam (Tanjungenim), Kotabaru (Kalimantan Selatan), Sungai Berau (Samarinda) dan Umbilin (Sumatra Barat).
  • Emas: Banyak ditemukan di Papua, Kalimantan, dan Sumatra.
  • Timah: Terdapat di Bangka Belitung dan Kepulauan Riau.
  • Nikel: Banyak ditemukan di Sulawesi dan Maluku.

 

Semuanya ini merupakan kekayaan alam yang terdapat di dalam perut bumi. Para ulama pada masa lalu sebenarnya sudah membahas masalah tambang ini. Al-Bahuti menyatakan, bahwa tambang (ma’din) adalah apa saja yang keluar dari perut bumi, bukan dari jenisnya (bumi), bukan pula tanaman.1

Mazhab Hanafi membagi tambang (ma’din) ini menjadi tiga jenis:

  • Bisa dicetak (munthabi’): Seperti emas, perak, besi, tembaga, dan lain-lain. Tambang ini bisa dijadikan lempengan, atau dicetak menjadi berbagai bentuk.
  • Cair (ma’i’): Seperti minyak, dan sejenisnya.
  • Tidak bisa dicetak dan tidak cair: Seperti intan, permata, mutiara dan lain-lain.2

 

Adapun mazhab Syafii dan Hanbali membagi tambang, dari segi eksplorasinya, menjadi dua:

  • Tambang yang tampak (zhaahir): Tambang yang bisa dikeluarkan tanpa membutuhkan obat (‘ilaaj). Seperti minyak.
  • Tambang yang tersembunyi (bathin): Tambang yang tidak bisa dikeluarkan, kecuali dengan treatment(‘ilaaj). Seperti emas, perak, besi dan tembaga.3

 

Mengenai status kepemilikan tambang ini, mazhab Maliki menyatakan, bahwa pengelolaan tambang ini diserahkan kepada Imam (Khalifah). Khalifah berhak menjadi pengelolanya sesuai dengan kemaslahatan umum. Tidak mengikuti status tanahnya, apakah Kharajiyah, ‘Usyriyah, atau yang lain.4

Adapun mazhab Syafii menyatakan bahwa tambang yang zhahiri tidak bisa dimiliki dengan Ihyaa’ al-Mawaat (menghidupkan tanah mati) atau Iqthaa’ (pemberian negara). Sebabnya, ini merupakan milik bersama kaum Muslim, sebagaimana air dan hutan. Alasannya, karena Nabi saw. pernah diminta oleh al-Abyadh bin Hammal sebidang tanah, yang mengandung sumber air yang berlimpah, kemudian ditarik kembali. Dalam Kitab Sunan Abi Dawud diriwayatkan:

عَنْ أَبْيَضَ بِنْ حَمَّال، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ اِبْنُ المتَوَكِّل: الَّذِيْ بِمَأَرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ – فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِس: أَتَدْرِيْ مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَه الْمَاء الْعِدِّ، قَال: فَانْتَزَعَ مِنْهُ

Dari Abyadh bin Hammal, bahwa ia pernah datang menemui Rasulullah saw. Lalu ia meminta sebidang tanah (yang berupa tambang garam). Berkata Ibn al-Mutawakkil, yang ada di Ma’arib (Yaman): Beliau kemudian memberikan tanah itu kepada dia (Abyadh). Ketika dia telah meninggalkan majelis, seorang lelaki di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu, apa yang telah Anda berikan kepada dia?” Sungguh Anda telah memberikan dia (sebidang tanah) yang mengandung sumber air yang tak terbatas.” Berkata (perawi): Beliau akhirnya menarik kembali pemberiannya itu dari dia (Abyadh) (HR Abu Dawud, hadis no. 3064).

 

Lebih tegas, Al-‘Allamah al-Qadhi, Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, menjelaskan, bahwa status tambang dan barang tambang adalah bagian dari kepemilikan umum. Dalilnya adalah Hadis Nabi saw.:

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركاءٌ في ثَلاَثٍ : فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ

Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: hutan, air dan api (HR Abu Dawud, hadis no. 3477; Ahmad, hadis no. 23132).

 

Kepemilikan umum itu mempunyai tiga kriteria: Pertama, menguasai hajat hidup orang banyak (maraafiq al-jamaa’ah). Kedua, tabiatnya yang tidak memungkinkan dikuasai oleh individu, seperti jalan, sungai, udara, dan lain-lain. Ketiga, tambang yang tidak terbatas depositnya.5

Hanya saja, beliau membedakan tambang ini menjadi dua:

  • Depositnya terbatas (Mahduud al-Miqdar): tambang yang depositnya tidak banyak.
  • Depositnya tidak terbatas (Ghayru Mahduud al-Miqdar): tambang yang depositnya tidak terbatas.

 

Kategori tambang yang pertama, depositnya terbatas (Mahduud al-Miqdar), tidak termasuk dalam kepemilikan umum. Adapun kategori tambang yang kedua, depositnya tidak terbatas (Ghayru Mahduud al-Miqdar) ini merupakan kepemilikan umum, sebagaimana yang diyatakan di dalam hadis dan kriteria di atas.6

Dari penjelasan para fuqaha’ di atas jelas bahwa tambang dan barang tambang terkategori kepemilikan umum. Ia tidak boleh dimiliki oleh individu, baik asing maupun domestik. Termasuk dikuasai oleh organisasi massa tertentu. Sebabnya, pengelolaan tambang sebagai kepemilikan umum adalah hak Negara. Negara harus menjadi pengelolanya untuk kemaslahatan umum. Ini sebagaimana yang dikemukakan oleh mazhab Maliki dan Syafii di atas.

Dalam hal ini, baik alasan yang dikemukakan oleh mazhab Syafii maupun al-Qadhi an-Nabhani, sama-sama hadis Abyadh bin Hammal di atas. Dengan kata lain, tidak ada larangan memiliki tanah, berikut kandungannya. Sebabnya, Nabi telah memberikan tanah itu kepada Abyadh bin Hammal. Dengan kata lain, jika depositnya sedikit, dan terbatas, maka boleh dimiliki oleh individu. Namun, ketika Nabi saw. mengetahui, ternyata deposit yang terdapat di dalam perut bumi tersebut tidak terbatas, maka kemudian beliau tarik kembali. Artinya, yang asalnya boleh menjadi tidak boleh, karena ada deposit yang tidak terbatas. Jadi, “adanya deposit yang tidak terbatas” itu yang menjadi ‘illat (alasan) hukum syariah mengenai boleh dan tidak tidaknya memiliki kepemilikan umum tersebut.

WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Kasyafu al-Qana’, Juz I/222; Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz III/23; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXVIII/192.

2        Al-Fatawa al-Hindiyyah, Juz I/184-185; Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibn ‘Abidin, Juz I/44; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXVIII/193.

3        Hasyiyah as-Syarqawi ‘ala at-Tahrir, Juz I/181-182; Abu Ya’la al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 235-236; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXVIII/194.

4        Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXVIII/194-195;

5        Al-‘Allamah al-Qadhi, Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nidzam al-Iqtishdadi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, Cet. VI, 1425 H/2004 M, hal. 218.

6        An-Nabhani, An-Nidzam al-Iqtishdadi, hal. 219.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 1 =

Back to top button