Tafsir

Keputusan Allah SWT Pasti Berlaku

قَالَ لَا تَخۡتَصِمُواْ لَدَيَّ وَقَدۡ قَدَّمۡتُ إِلَيۡكُم بِٱلۡوَعِيدِ  ٢٨ مَا يُبَدَّلُ ٱلۡقَوۡلُ لَدَيَّ وَمَآ أَنَا۠ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ  ٢٩

Yang menyertai dia berkata (pula), “Tuhan kami, aku tidak menyesatkan dia, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” Allah berfirman, “Janganlah kalian bertengkar di hadapan-Ku. Padahal sesungguhnya Aku dulu telah memberikan ancaman kepada kalian. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku. (QS Qaf [50]: 28-29).

.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

قَالَ لَا تَخۡتَصِمُواْ لَدَيَّ ٢٨

Allah berfirman, “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku,

 

Ini adalah firman Allah Swt yang disampaikan kepada dua pihak yang saling bertengkar dan saling menyalahkan, yakni qarîn dari golongan jin dan orang kafir itu.1

Kata « لَا » merupakan nâhiyyah (partikel larangan). Perkara yang dilarang adalah melakukan perbuatan « الِاخْتِصَامُ » (percekcokan), berasal dari kata « خصَمَ، يَخصِم، خَصْمًا وخِصامًا وخُصُومةً » (berselisih, berdebat, bertikai). Menurut Ibnu Faris, kata tersebut terbentuk dari huruf al-khâ‘, ash-shadd dan al-mîm. Kata ini pada asalnya mengandung dua makna utama: « الْمُنَازَعَةُ » (persengketaan atau perdebatan) dan « جَانِبُ وِعَاءٍ » (sisi wadah).2

Menurut Raghib al-Asfahani frasa « خَصَمْتُهُ » bermakna: « نازعته خَصْماً » (aku membantah dia dalam pertengkaran). Allah SWT berfirman:

وَهُوَ أَلَدُّ ٱلۡخِصَامِ  ٢٠٤

Padahal dia adalah penentang yang paling keras (QS al-Baqarah [2]: 204).3

 

Adapun makna « اختصمَ » adalah « تجادلوا وتنازعوا وانقطعوا عن التزاور والتحادث » (mereka saling berdebat dan berselisih serta terputus dari saling mengunjungi dan berbicara satu sama lain). Ini sebagaimana firman Allah SWT:

۞هَٰذَانِ خَصۡمَانِ ٱخۡتَصَمُواْ فِي رَبِّهِمۡۖ ١٩

Inilah dua golongan (Mukmin dan kafir) yang bertengkar (QS al-Hajj [22]: 19).4

 

Frasa « اخْتصم الْقَوْم » bermakna: « خَاصم بَعضهم بَعْضًا » (sebagian mereka saling bertengkar dengan sebagian yang lain).5

Demikian pula makna yang terkandung dalam ayat ini. Menurut Wahbah al-Zuhaili, makna firman-Nya « لا تَخْتَصِمُوا لَدَيَّ » adalah « لا تتجادلوا عندي في موقف الحساب » (janganlah kalian berdebat di hadapan-Ku pada saat perhitungan amal), karena perdebatan dan pertengkaran tidak bermanfaat di sini.6

Menurut Az-Zamakhsyari dan Asy-Syaukani, firman Allah SWT ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang diperkirakan: Lalu apa yang Allah SWT katakan?” Allah SWT pun berfirman: “Janganlah kalian bertengkar di hadapan-Ku.” Artinya, Allah SWT melarang mereka bertengkar di tempat hisab.7 Ini sekaligus menunjukkan perdebatan mereka di hadapan Allah SWT itu sama sekali tidak berguna untuk menyelamatkan mereka dari azab.8

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَقَدۡ قَدَّمۡتُ إِلَيۡكُم بِٱلۡوَعِيدِ  ٢٨

Padahal sesungguhnya Aku dulu telah memberikan ancaman kepada kalian.

 

Allah SWT menegaskan bahwa Dia telah menyampaikan al-wa’îd (ancaman kepada mereka) kepada mereka ketika masih di dunia. Ancaman itu berupa azab yang sangat keras dan amat dahsyat kepada orang-orang yang ingkar dan menyelisihi syariah-Nya. Ancaman tersebut banyak termaktub dalam al-Quran.9

Karena itu mereka seharusnya tidak lagi membuat-buat dalih dan mencari-cari alasan untuk memaafkan tindakan mereka. Jelasnya ancaman itu diungkapkan ayat dengan tambahan uruf al-bâ‘pada kata: [ بِالْوَعِيدِ ] (ancaman). Menurut Asy-Syaukani, huruf al-bâ tersebut merupakan [ مَزِيدَةٌ لِلتَّأْكِيد  ] (tambahan untuk menegaskan).10

Menurut Al-Khazin maknanya, “Aku telah memperingatkan kalian melalui lisan para rasul-Ku dan mengancam kalian akan azab-Ku di akhirat bagi orang-orang yang kafir.”11

Az-Zamakhsyari juga berkata bahwa maknanya, “Sungguh Aku telah mengancam kalian dengan azab-Ku atas tindakan melampaui batas dalam Kitab-Ku dan lisan para rasul-ku. Maka dari itu, Aku tidak membiarkan kalian memiliki alasan untuk membantah-Ku.”12

Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, ini merupakan firman Allah SWT kepada kaum musyrik dan qarîn dari bangsa setan yang digambarkan pada ayat-ayat sebelumnya. Allah SWT berfirman: (Janganlah berselisih pendapat di depanku) pada hari ini (karena dulu kalian telah diberitahukan mengenai ancaman-ancaman-Ku) di dunia sebelum perselisihan kalian ini tentang adanya ancaman keras kepada orang-orang yang kafir kepada-Ku, orang-orang yang menentang-Ku, menyelisihi perintah dan larangan-Ku dalam kitab-kitab-Ku dan lisan-lisan para rasul-Ku.”13

Penjelasan senada juga dikemukakan Ibnu Katsir, Abdurrahman as-Sa’di dan lain-lain.14

Begitulah keadaan mereka. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Abbas, mereka berusaha mencari-cari alasan untuk membebaskan diri mereka dari hukuman. Akan tetapi, Allah SWT menolak semua hujjah mereka dan membantah perkataan mereka.15

Kemudian Allah SWT:

قَالَ لَا تَخۡتَصِمُواْ لَدَيَّ وَقَدۡ قَدَّمۡتُ إِلَيۡكُم بِٱلۡوَعِيدِ  ٢٨ مَا يُبَدَّلُ ٱلۡقَوۡلُ لَدَيَّ وَمَآ أَنَا۠ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ  ٢٩

Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah.

 

Ayat ini di awali dengan « مَا » nâfiyyah. Adapun makna « يُبَدَّلُ » merupakan mudhâri’ mabniyy li al-majhûl, yang maknanya « يتغيَّر أو يتحوَّل » (berubah atau berganti). Yang menjadi nâ’ib al-fâ’il adalah « الْقَوْلُ » (perkataan). Kata « لَدَيَّ » merupakan zharf al-makân, yang bermakna « عِنْدِي » (di sisiku). Dengan demikian ayat tersebut bermakna: « فلا تبديل لقولي ولوعيدي » (maka tidak ada perubahan terhadap perkataan-Ku dan ancaman-Ku).16

Dengan demikian, selain menolak dalih dan alasan mereka agar tidak dijatuhi hukuman dan azab ditolak, Allah SWT juga menegaskan kepada mereka bahwa Dia tidak akan mengubah al-qawl (perkataan).

Menurut Al-Baghawi dan Al-Khazin, perkataan tersebut adalah firman Alalh SWT:

لَأَمۡلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ ٱلۡجِنَّةِ وَٱلنَّاسِ أَجۡمَعِينَ  ١١٩

Aku pasti akan memenuhi (Neraka) Jahanam (dengan para pendurhaka) dari kalangan jin dan manusia semuanya (QS Hud [11]: 119).17

 

Ada juga yang berpendapat bahwa itu adalah firman Allah SWT:

مَن جَآءَ بِٱلۡحَسَنَةِ فَلَهُۥ عَشۡرُ أَمۡثَالِهَاۖ وَمَن جَآءَ بِٱلسَّيِّئَةِ فَلَا يُجۡزَىٰٓ إِلَّا مِثۡلَهَا ١٦٠

Siapa saja yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengan keburukannya (QS al-An’am [6]:160).18

 

Pendapat lainnya disampaikan Al-Farra’ dan Al-Kalbi. Menurut mereka, yang dimaksud adalah: “Perkataan tidak bisa didustakan di sisi-Ku, dan tidak bisa diubah dari bentuk aslinya, karena Aku Maha Mengetahui hal-hal gaib.”19

Artinya, Allah SWT telah menyampaikan kepada mereka dengan sangat jelas, bahwa siapa pun yang kafir dan maksiat kepada Diei-Nya akan dimasukkan ke dalam neraka. Ancaman yang telah dikatakan Allah SWT ini tidak akan Dia ubah.

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, Allah SWT memberitahukan tentang firman-Nya yang akan disampaikan kepada kaum musyrik dan qarîn mereka dari bangsa jin pada Hari Kiamat ketika mereka saling berlepas diri (yang artinya), “Keputusan yang telah Aku putuskan di dunia tidak akan berubah.”20

Mujahid berkata, “Artinya: Aku telah memutuskan apa yang Aku kehendaki.”21

Karena tidak akan diubah dan tak akan berubah, maka sebagaimana dikatakan Az-­Zamakhsyari, “Janganlah kalian berharap Aku akan mengubah keputusan-Ku dan ancaman-Ku sehingga memaafkan kalian dari ancaman yang telah Aku sampaikan kepada kalian.”.22

Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Allah SWT tidak mungkin memungkiri apa yang telah Dia firmankan dan Dia beritahukan. Sebabnya, tidak ada perkataan dan pernyataan yang lebih benar daripada perkataan dan pernyataan Allah SWT.”23

Hal yang sama juga dijelaskan oleh banyak mufassir lainnya, seperti Asy-Syaukani, dan lain-lain.24

Dengan demikian, sebagaimana diterangkan Abu Bakar al-Jazairi, keputusan Allah SWT itu akan dilaksanakan untuk semua orang yang ingkar kepada Dia dan bermaksiat kepada para rasul-rasul-Nya. Sebabnya, sudah ada keputusan Allah SWT sebelumnya kepada iblis ketika menjadi penyebab Adam terusir dari surga dengan bisikan dan rayuan-Nya. Dia juga telah menetapkan akan benar-benar memenuhi Jahanam dengan Iblis dan orang-orang yang mengikuti dirinya.25

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَمَآ أَنَا۠ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ  ٢٩

Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku.

 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT menafikan sifat zalim dari Diri-Nya. Maksud zalim di sini adalah dengan menyiksa orang yang tidak berhak menerima siksaan.26

Tiadanya kezaliman Allah SWT, menurut Ibnu Jarir al-Thabari adalah tidak akan menghukum siapa pun dari makhluk-Nya karena kejahatan orang lain dan tidak ada seorang pun dari mereka membawa dosa yang dilakukan oleh orang lain kemudian dihukum karena dosa itu.”27

Ibnu Katsir berkata, “Maknanya: Aku tidak mengazab seseorang karena dosa orang lain, melainkan tidaklah Aku mengazab seseorang kecuali karena dosanya sendiri sesudah tegaknya hujjah terhadap dirinya, yakni sesudah tegaknya alasan Allah SWT terhadap dirinya.”28

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, Allah SWT aku membalas mereka sesuai dengan amalan mereka, yang baik maupun yang buruk. Karena itu kejahatan mereka tidak akan ditambah sedikit pun dan kebaikan mereka juga tidak akan dikurangi sedikit pun.29

Penjelasan senada juga disampaikan Al-Khazin dan lain-lain.30 Intinya, keputusan Allah SWT pasti benar dan adil. Tidak ada yang dizalimi sama sekali.

Demikianlah. Setan, yang ketika di dunia bekerja keras menyesatkan manusia dari jalan yang benar, di akhirat tidak mau bertanggung jawab atas orang-orang yang dia sesatkan. Dia menolak dikatakan telah menyesatkan mereka. Bahkan setan menuding orang-orang kafir itu sendiri yang tersesat. Allah SWT pun menolak alasan mereka. Pasalnya, petunjuk jalan yang benar telah disampaikan Allah SWT melalui para rasul yang Dia utus dan kitab-kitab yang Dia turunkan. Demikian pula ancaman keras kepada orang-orang yang melanggar dan menyimpang. Juga sudah disampaikan semua. Maka dari itu, ketika mereka harus menerima hukuman atas pelanggaran yang telah dilakukan, maka jangan salahkan siapa-siapa. Salahkan dirinya sendiri karena memilih jalan yang salah. Semoga kita tidak termasuk di dalamnya.

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

  1. Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 17
  2. Ibnu Faris, Maqâyîs al-Lughah, 2 (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), 187
  3. Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 284
  4. Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 1, 653
  5. Al-Mu’jam al-Wasîth, 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), 239
  6. Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Muniîr, 26, 300
  7. Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 387; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 91
  8. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 806
  9. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 358; al-Khazin. Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 189
  10. Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 91
  11. Al-Khazin. Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, 4, 189
  12. Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 387-388
  13. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 358
  14. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 806
  15. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 358
  16. Ats-Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur`ân, 24 (Jeddah: Dar al-Tafsir, 2010), 474
  17. Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, 4 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Tursta al-‘Arabiyy, 1420 H), 274; al-Khazin. Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 189
  18. Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 17, 17. Lihat juga al-Tsa’labi, al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 24, 474
  19. Lihat: Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, 4; al-Khazin. Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 189; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 17, 17
  20. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 359
  21. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 403
  22. Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 387-388
  23. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 806
  24. Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 91
  25. Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, 5, 147
  26. Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4, 387-388
  27. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, 22, 359
  28. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 7, 403
  29. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 806
  30. Al-Khazin. Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, 4, 189

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three + 16 =

Back to top button