Saat Nyawa Dicabut
QS al-Qiyamah [75]: 26-35
كَلَّآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلتَّرَاقِيَ ٢٦ وَقِيلَ مَنۡۜ رَاقٖ ٢٧ وَظَنَّ أَنَّهُ ٱلۡفِرَاقُ ٢٨ وَٱلۡتَفَّتِ ٱلسَّاقُ بِٱلسَّاقِ ٢٩ إِلَىٰ رَبِّكَ يَوۡمَئِذٍ ٱلۡمَسَاقُ ٣٠ فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّىٰ ٣١ وَلَٰكِن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ٣٢ ثُمَّ ذَهَبَ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦ يَتَمَطَّىٰٓ ٣٣ أَوۡلَىٰ لَكَ فَأَوۡلَىٰ ٣٤ ثُمَّ أَوۡلَىٰ لَكَ فَأَوۡلَىٰٓ ٣٥
Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan dan dikatakan (kepada dia), “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Dia yakin bahwa sungguh itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. Dia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat. Akan tetapi, ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran). Kemudian dia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). Kecelakaanlah bagi kamu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagi kamu. Kemudian kecelakaanlah bagi kamu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagi kamu (QS al-Qiyamah [75]: 26-35).
Dalam ayat sebelumnya mengabarkan nasib manusia di akhirat. Ada orang-orang wajah berseri-seri dan ceria. Mereka juga diberikan kenikmatan untuk melihat wajah-Nya. Ada pula yang berwajah sebaliknya. Muram dan masam. Mereka adalah orang-orang kafir yang yakin akan mendapatkan siksa yang sangat dahsyat.
Dalam ayat-ayat ini Allah SWT mengingatkan kedatangan kematian kepada manusia. Juga kesengsaraan dan penderitaan besar yang dialami orang-orang kafir pada saat meregang nyawa serta balasan yang akan mereka terima di akhirat.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ idzâ balaghat at-tarâqî (Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah [mendesak] sampai ke kerongkongan). Ayat ini dahului kata kallâ. Kata tersebut mengandung dua kemungkinan makna. Pertama, bermakna ridâ’ah (bantahan). Artinya: “Hai anak Adam, pada saat itu kamu tidak dapat mendustakan apa yang telah diberitakan kepada kamu. Bahkan hal itu dapat engkau saksikan dengan mata kepalamu sendiri.”1
Menurut al-Ajjaj, kata kallâ bermakna larangan mementingkan dunia atas akhirat. Seolah dikatakan: “Tatkala kamu sudah mengetahui sifat kegembiraan orang-orang yang bahagia dan kesengsaraan orang-orang yang celaka di akhirat, juga mengetahui bahwa semua itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dunia, maka tinggalkanlah sikap mementingkan dunia atas akhirat. Ingatlah, kematian yang ada di depan kalian yang akan membuat kamu terputus segera dan memindahkan kamu ke akhirat yang kamu kekal di dalamnya.”2
Kedua, bermakna haqq[an] (benar sekali). Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Khazin dan al-Samarqandi.3 Jika dipahami demikian, maknanya adalah benar sekali, ketika ruh telah sampai di kerongkongan. Artinya, ruhmu benar-benar dicabut dari jasadmu dan sampai di kerongkongan.4
Kemudian dilanjutkan: idzâ balaghat at-tarâqiyy. Yang menjadi dhamîr pada kata balaghat (telah sampai) kembali pada an-nafs (nyawa, ruh) yang ditunjukkan oleh konteks kalimatnya.5 Dengan demikian makna ayat tersebut adalah: ketika nyawa atau ruh itu sudah sampai (kerongkongan).6
Kata at-tarâqiyy merupakan bentuk jamak dari kata tarquwah yang berarti tulang rawan antara pangkal leher dan bahu.7 Fakhruddin ar-Razi menyebutnya tulang yang memanjang dari tenggorokan hingga pundak atau tengkuk, dari dua sisi (kanan dan kiri).8
Menurut Wahbah az-Zuhaili, ayat ini merupakan kinâyah dari keadaan sekarat, kegentingan dan kematian.9 Dengan demikian, ayat ini mengingatkan satu kejadian yang pasti terjadi, yakni kematian. Jika kalian mengingkari Hari Kiamat dan akhirat yang belum kalian saksikan, faktanya kalian semua melihat sebuah peristiwa yang mengakhiri kehidupan manusia tanpa kecuali, yakni ketika saat nyawa manusia dicabut dicabut dari jasadnya.
Kemudian dilanjutkan: Wa qîla man râq (dan dikatakan (kepada dia): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”). Kata râq[in] dalam ayat ini berasal dari kata ar-ruqyah (jampi-jampi, pengobatan).10 Ar-Ruqyah adalah kata-kata yang telah disiapkan (mantera) yang digunakan untuk mengobati orang yang sakit.11
Dalam konteks ayat ini, yang dimaksudkan adalah tabib atau dokter secara umum yang diminta untuk mengobati, baik dengan ucapan maupun perbuatan.12 Dengan demikian kalimat istifhâm di sini bermakna ath-thalab (permintaan), seolah-olah mereka meminta tabib yang dapat menyembuhkannya.13
Menurut Ibnu Zaid, keluarganya berkata, “Siapa yang mampu mengobati agar dia bisa menyembuhkan dari penyakit yang dia derita?” Mereka meminta bantuan para dokter. Namun, mereka tidak mampu sedikit pun melawan kehendak Allah SWT.14
Bisa juga kalimat istifhâm itu merupakan istifhâm ib’âd wa al-inkârî (menunjukkan ketidakmungkinan dan pengingkaran). Maknanya, telah sampai keadaan tidak ada seorang yang dapat mengobatinya. Sebagaimana perkataan orang yang sedang berputus asa, “Siapa yang mampu mengobati orang itu dari kematian?”15
Kata râq[in] juga bisa berasal dari kata ar-ruqiyy yang bermakna ash-sha’ûd (naik, mendaki).16 Dengan pengertian seperti ini, yang berkata adalah malaikat. Ibnu Abbas dalam riwayat lain mengatakan bahwa para malaikat tidak suka dekat dengan orang kafir. Lalu Malaikat Maut berkata, “Siapakah yang akan membawa orang kafir ini?”17
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa zhanna annahu al-firâq (dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan [dengan dunia]). Ayat ini menggambarkan situasi kejiwaan orang yang ruhnya sudah sampai di tenggorokan. Kata zhanna (menyangka, mengira, menduga) dalam ayat ini bermakna ayqana (meyakini). Artinya, orang yang nyawanya telah sampai tenggorokan itu yakin saat itulah tiba waktunya al-firâq (perpisahan). Perpisahan dengan dunia, keluarga dan anak-anak. Itu terjadi ketika dia melihat malaikat.18
Menarik dicermati, al-yaqîn atau keyakinan di sini diungkapkan dengan menggunakan kata zhann (dugaan). Hal itu disebabkan karena manusia, selama ruhnya masih berada dalam badan si empunya, masih sangat berharap bisa hidup di dunia karena kecintaannya yang amat dalam terhadap dunia, sebagaimana dalam ayat sebelumnya (ayat 20).
Harapannya itu tidak terputus dari dirinya sehingga tidak menghasilkan keyakinan akan kematian. Yang ada hanyalah azh-zhann al-ghâlib (persangkaan yang kuat) dengan masih disertai harapan hidup. Bisa pula disebut dengan azh-zhann (persangkaan, dugaan) sebagai at-tahakkum (ejekan, olok-olok).19
Lalu Allah berfirman: Wa altaffati al-sâq bi al-sâq (Bertaut betis [kiri] dan betis [kanan]). Kata al-iltifât bermakna al-ijtimâ’ (pertemuan, pengumpulan), seperti dalam QS al-Isra’ [17]: 104.20 Adapun kata as-sâq secara bahasa bermakna organ tubuh antara lutut dan telapak kaki atau betis.21 Sebagian para ahli tafsir memaknai as-sâq (betis) dalam ayat ini secara bahasa. Maknanya: ketika dua betisnya dikumpulkan, dipertemukan atau ditautkan. Peristiwa ini terjadi pada saat kematian.
Di antara yang menafsirkan demikian adalah Hasan al-Bashri. Menurut beliau, makna ayat ini adalah kedua betisnya ketika itu ditautkan satu sama lain. Dalam riwayat lain, al-Hasan juga mengatakan bahwa kedua kakinya itu telah mati dan tidak mampu lagi membawa dia. Padahal sebelumnya dia banyak berjalan dengan keduanya. Hal yang sama dikatakan oleh As-Saddi dari Abu Malik.22 Menurut riwayat lainnya juga dari al-Hasan, “Kedua betisnya ditautkan dalam kain kafan.”23
Kata as-sâq juga dipahami dengan makna kinâyah yang berarti syiddat al-amr (urusan yang sangat berat), seperti dalam QS al-Qalam [68]: 42).24 Makna ini juga disampaikan banyak mufassir dalam memahami ayat ini. Menurut Ikrimah, al-amr al-‘azhîm (perkara yang besar) telah berkumpul dengan al-amr al-‘azhîm (perkara yang besar lainnya). Mujahid juga menafsirkannya dengan: balâ` (bencana) berkumpul dengan balâ` (bencana lainnya).25
Menurut Ibnu Abbas, al-Hasan dan lainnya makna ayat ini adalah: “Bertautlah perkara berat dengan perkara berat lainnya. Beratnya pada akhir dunia bertaut dengan beratnya awal akhirat.”26
Wahbah al-Zuhaili berkata, “Maksudnya, dahsyatnya perpisahan dengan dunia dan meninggalkan keluarga, anak, kedudukan, cacian musuh, kesedihan para kekasih, dan sebagainya bertaut dengan dahsyatnya menghadapi keadaan-keadaan akhirat dan kegentingan-kegentingannya.”27
Makna ini juga dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari.28
Dengan demikian, secara kinayah kedahsyatan kematian, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya): Ingatlah pada hari ketika betis disingkapkan. Yang dimaksud adalah kedahsyatan perpisahan dunia meninggalkan keluarga, anak, kedudukan, cacian musuh, kesedihan para kekasih dan sebagainya bersambung dengan kedahsyatan dalam menghadapi keadaan-keadaan akhirat dan kegentingan-kegentingannya.
Kemudian Allah SWT berfirman: Ilâ Rabbika yawmaidz[in] (Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau). Menurut al-Khazin maknanya, “Marji’al-‘ibâd (tempat kembali hamba) kepada Allah SWT. Mereka dihalau kepada Allah pada Hari Kiamat untuk diputuskan perkara di antara mereka.”29
Allah SWT berfirman: Falâ shaddaqa wa shallâ (Dia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat). Ayat ini lantas menceritakan perilaku orang-orang yang meninggal itu semasa masih hidup di dunia. Menurut Abdurrahman as-Sa’di, falâ shaddaqa (tidak membenarkan) bermakna tidak mengimani Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat dan takdir baik dan buruknya.30
Dua perkara yang disebutkan itu merupakan sesuatu yang diperintahkan. Dalam perkara akidah, mereka diperintahkan untuk membenarkan semua perkara yang diwajibkan untuk dibenarkan dan diyakini. Dalam perkara syariah, seperti menegakkan shalat, mereka diperintahkan untuk ditaati dan dikerjakan. Semua perintah dalam perkara akidah dan syariah itu mereka tolak. Mereka tidak mau membenarkan akidahnya dan tidak mau mengerjakan syariahnya.
Lalu ditegaskan dalam firman-Nya: Walâkin kadzdzaba wa tawallâ (Akan tetapi, ia mendustakan [Rasul] dam berpaling [dari kebenaran]). Tindakan ini merupakan kebalikan dari apa yang diperintahkan. Mereka mendustakan Rasul saw. beserta semua yang beliau bawa dari berpaling dari ketaatan dan keimanan.31
Allah SWT berfirman: Tsumma dzahaba ilâ ahili yatamaththâ (Kemudian dia pergi kepada ahlinya dengan berlagak [sombong]). Tak hanya itu. Orang kafir itu pun bersikap sombong dan congkak. Menurut Wahbah al-Zuhaili, dia pergi kepada keluarganya dengan riang, sombong, angkuh, congkak dan besar kepala dalam perjalanannya karena menyombongkan tindakannya, merasa malas, dan tidak ada keinginan untuk melaksanakan amal. Ini semakna dengan QS al-Muthaffifin [83]: 31.32
Kemudian Allah swt mengancam mereka dengan firman-Nya: Awlâ laka fa awlâ (Kecelakaanlah bagi kamu [hai orang kafir] dan kecelakaanlah bagi kamu). Ini merupakan ancaman yang keras dari Allah SWT, yang ditujukan kepada orang yang kafir kepada-Nya lagi angkuh dalam berjalan. Dengan kata lain: sudah sepantasnya kamu berjalan demikian, karena kamu kafir kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu. Ungkapan seperti ini mengandung nada cemoohan dan ancaman.33
Juga firman-Nya: Tsumma awlâ laka fa awlâ (Kemudian kecelakaanlah bagi kamu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagi kamu). Ini merupakan tahdîd ba’da tahdîd (ancaman setelah ancaman), wa’îd ba’da wa’îd (peringatan keras setelah peringatan keras).34 Pengulangan tersebut berfaidah sebagai mubâlaghah (menunjukkan sangat) dalam ancaman dan intimidasi.35
Menurut Ibnu Katsir, ini merupakan tahdîd wa wa’îd (ancaman dan peringatan keras) yang sangat ditekankan oleh Alah SWT kepada orang kafir yang sombong dalam perjalanannya..36
Beberapa Pelajaran Penting
Dalam ayat-ayat ini terdapat banyak pelajaran penting. Di antaranya adalah: Pertama, kesadaran akan kepastian datangnya kematian dan pengaruhnya dalam perilaku manusia. Kematian makhluk hidup, termasuk manusia, merupakan sunnatullah. Tidak ada seorang pun yang dapat mengingkarinya. Meskipun demikian, tidak sedikit manusia melalaikannya. Mereka sangat mencintai dunia dan mengejarnya habis-habisan seolah hidup selama-lamanya. Sebaliknya, mereka justru meremehkan akhirat sehingga mereka sama sekali tidak beramal untuk menyongsong kehidupan yang abadi itu.
Ayat ini pun menegur dan mengingatkan orang-orang yang bersikap demikian, bahwa mereka pasti akan mati. Realitas ini semestinya menggugah kesadaran manusia sehingga tidak mencintai kehidupan dunia secara berlebihan dan mengalahkan akhirat. Apalagi menjual kehidupan akhiratnya untuk kehidupan dunia yang sangat singkat dan pasti berakhir itu.
Kedua, beratnya kematian bagi orang-orang kafir. Ayat ini menggambarkan beratnya kesengsaraan dan penderitaan orang yang dialami orang kafir ketika mati. Hal itu disebabkan berkumpulnya dua penderitaan sekaligus, yakni penderitaan karena dia harus berpisah dengan dunia beserta semua kenikmatannya yang sangat mereka cintai, dengan penderitaan karena siksa akhirat yang sudah diperlihatkan kepada mereka dengan nyata.
Ketiga, hanya kepada Allah SWT manusia dikembalikan setelah kematian. Hal ini ditegaskan dalam ayat lainnya, seperti dalam QS al-Jumu’ah [62]: 8).
Keempat, kecelakaan dan kesengsaraan yang dialami orang yang tidak beriman dan beramal shalih. Dalam ayat-ayat ini ditegaskan mereka pasti akan mengalami kecelakaan, kesengsaraan dan penderitaan. Tak main-main. Ayat ini menyebutkan kecelakaan bagi mereka itu sebanyak empat kali. Itu menunjukkan betapa besar kecelakaan dan kesengsaraan yang akan mereka alami.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 281
2 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 735
3 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 374; al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah , 1993), 523
4 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281. Lihat juga, al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 272
5 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 351. Lihat juga al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 162; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 111; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 267; Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 406
6 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734
7 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 281; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 374
8 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734. Lihat jug aal-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 270, 273
9 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 270. Lihat juga Ibnu ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 406
10 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 162
11 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 342; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 162
12 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 162
13 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734
14 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 75
15 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 351. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734
16 Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 523
17 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 734
18 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 112. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 735; al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 76; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1993), 479
19 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 735
20 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 735
21 Ahmad Mukthar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah, vol. 2 (Kairo: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1138
22 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282
23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282
24 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 273
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282
26 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 112. Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282
27 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 273
28 al-Thabari, al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 80
29 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl wa fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 374
30 Al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 900
31 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 274
32 al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 274. Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282
33 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 283
34 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 114
35 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 353
36 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 282