Iqtishadiyah

Ancaman Gagal Bayar Indonesia

Utang Indonesia bukannya turun, justru semakin meningkat setiap tahunnya.  Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan II 2019 tercatat sebesar USD 391,8 miliar atau Rp 5.601 triliun (Rp 14.296 per Dolar AS). Terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 195,5 miliar serta utang swasta (termasuk BUMN) sebesar USD 196,3 miliar 1. Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini sekitar 267 juta 2, maka tiap rakyat Indonesia menanggung utang sebanyak Rp 20,98 juta  perorang.   Pada kwartal III tahun 2015, utang Indonesia mencapai Rp 3.091,05 triliun[2]. Ini berarti sejak tahun 2015 sampai tahun 2019 ini ada peningkatan utang sebesar sekitar 81,2 persen.

Meskipun terjadi peningkatan jumlah utang yang signifikan, Pemerintah menyatakan kondisinya masih aman.  Pemerintah beralasan utang negara yang tembus Rp 5.000 triliun gara-gara menguatnya mata uang dolar masih berada di rasio yang aman. Rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sendiri berada di sekitar angka 30 persen. Batas maksimal rasio yang ditetapkan sebesar 60 persen 4.

Namun sebaliknya, banyak pihak, termasuk beberapa pakar ekonomi dan pejabat Negara, sudah  memperingatkan jumlah utang Indonesia sebanyak itu sudah pada kondisi  membahayakan.[5][6][3] Di antara mereka bahkan memperingatkan akan ancaman gagal bayar utang.[7] Meskipun yang diperingatkan adalah utang korporasi, tidak menutup kemungkinan jika tidak segera diwaspadai dan diantisipasi, situasi dan kondisi keuangan negara akan terseret juga.

 

Kerancuan Utang Luar Negeri 

Beban pembayaran bunga utang Pemerintah terus mengalami kenaikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Peningkatan beban bunga utang ini tidak sejalan dengan kemampuan Pemerintah dalam membayar utangnya.  Pembayaran bunga utang secara nominal selama periode 2014-2019 rata-rata mengalami kenaikan sebesar 15,7%. Namun, kenaikan ini tidak seimbang dengan kenaikan produk domestik bruto (PDB), yakni dari 1,26% pada 2014 menjadi 1,7% pada 2019. Rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara mengalami peningkatan. Pada 2014, rasio pembayaran bunga utang terhadap pendapatan Pemerintah masih sebesar 8,6% dan meningkat menjadi 12,7% pada 2019. Peningkatan nisbah pembayaran bunga utang terhadap pendapatan negara mengindikasikan alokasi untuk belanja menurun kualitasnya. Pada 2014, porsi belanja bunga utang negara mencapai 7,5% dari total belanja. Pada 2018, bunga utang negara sudah menyedot 17,7%.

Ada beberapa kerancuan terkait utang luar negeri 8. Pertama: Penggunaan Product Domestic Bruto (PDB) sebagai rujukan dalam mengukur kemampuan bayar utang Pemerintah tampak  rancu. PDB dihitung dari output aktivitas sektor privat (konsumsi dan investasi), sektor publik, dan sektor luar negeri (ekspor dan impor). Oleh karena itu, rasio utang terhadap PDB memberi kesan sektor privat ikut menanggung beban utang sektor publik.

Alternatif penerimaan dan belanja negara sebagai rujukan dalam mengukur kemampuan bayar utang Pemerintah menawarkan kajian yang lebih adil. Pembayaran bunga utang dialokasikan dari pendapatan negara.

Kedua: Alokasi Utang Indonesia 5. Tahun 2019, pagu pembayaran bunga utang Pemerintah dalam APBN adalah Rp 275,8 triliun dan pembayaran pokok utang Pemerintah Rp 409 triliun. Total Rp 685 triliun.

Target penerimaan perpajakan, termasuk cukai, dalam APBN 2019 sebesar Rp 1786,4 triliun. Pendapatan negara ditargetkan Rp 2165,1 triliun. Artinya, pembayaran pokok dan bunga utang Pemerintah memakan 38,3 persen dari penerimaan perpajakan atau 31,6 persen dari pendapatan negara.

Pembayaran pokok dan bunga utang di atas jauh lebih besar dari anggaran pendidikan Rp 492,5 triliun, anggaran infrastruktur Rp 415 triliun dan anggaran kesehatan Rp 123,1 triliun. Bahkan jika anggaran pendidikan dan kesehatan digabung, jumlahnya hanya Rp 615,6 triliun. Besarannya kalah Rp 69 triliun dari pembayaran pokok dan bunga utang. Jadi terlihat jelas betapa besar utang memakan jatah yang semestinya bisa dipakai untuk program lain. Misalnya untuk melunasi semua utang BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Dradjad menamai itu sebagai biaya oportunitas (opportunity cost) dari pembayaran utang, pokok dan bunganya sudah terlalu besar. Bahkan Pemerintah terpaksa berutang lagi untuk membiayai APBN.

Dalam perspektif ekonomi syariah 9, semestinya negara tidak perlu berutang kecuali untuk perkara-perkara yang mendesak dan jika ditangguhkan dikhawatirkan terjadi kerusakan atau kebinasaan dan negara dalam keadaan defisit, maka ketika itu negara dapat berutang. Pembayarannya dapat dilakukan dengan menarik pajak orang-orang kaya dan dari pendapatan negara yang lain.

Proyek infrastruktur tidak termasuk perkara yang menjadi tanggung jawab rakyat, namun termasuk tanggung jawab negara. Oleh karena itu negara tidak boleh berutang untuk kepentingan pembangunan proyek baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

 

Bahaya Gagal Bayar Utang 

Ada beberapa negara yang pernah mengalami gagal bayar utang 10. Empat di antaranya gagal bayar utang kepada Cina. Di antaranya adalah: Zimbwe, Nigeria dan Pakistan. Ada juga negarayang gagal bayar karena krisis moneter, di antaranya: Venezuela (1998), Rusia (1998), Ukraina (1998-2000), Ekuador (1998-2008), Peru (2000). Zimbabwe memiliki utang US$ 40 juta kepada Cina. Akibatnya negara itu harus mengikuti keinginan Cina mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Mata uang Yuan di Zimbabwe mulai berlaku pada 1 Januari 2016. Ini setelah pemerintahan Zimbabwe mendeklarasikan tidak mampu membayar utang yang jatuh tempo pada akhir Desember 2015. Demikian pula yang terjadi Negara Angola.

Nigeria menerima pembiayaan dari Cina melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal Cina untuk pembangunan infrastuktur di Nigeria. Selain itu Sri Lanka setelah tidak mampu membayar utang. Akhirnya, Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Pakistan membangun pelabuhan Gwadar bersama Cina dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus direlakan 10.

Jika suatu negara mengalami gagal bayar utang, negara tersebut akan kehilangan kepercayaan dari investor. Akibatnya, pasar saham akan mengalami kekacauan dan lambat laun hancur. Semua lembaga keuangan akan mengalami kegagalan untuk melakukan antisipasi apapun terhadap kondisi default yang bergerak seperti efek domino. Tak lama kemudian, dampaknya akan terasa di masyarakat.

Banyak program pendanaan dari Pemerintah ke masyarakat yang didanai dari utang seperti pendidikan. Dukungan fasilitas publik lainnya akan mengalami kemacetan sehingga tidak ada lagi jaminan untuk masyarakat. Dari sini, masyarakat akan merasa resah dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Pelaku bisnis semakin kesulitan menjalankan usahanya. Ketika usaha susah berjalan maka penghasilan menurun drastis sehingga pelaku bisnis susah membayar karyawannya. Akibatnya, pengangguran meningkat.

Ketika pelaku bisnis banyak yang tidak beroperasi, ekspor barang banyak yang terhenti. Kebutuhan di dalam negeri lalu diantisipasi dengan mengimpor barang dari luar negeri. Karena lebih banyak impor daripada ekspor, mata uang semakin lemah. Selanjutnya kriminalitas bisa jadi meningkat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Beberapa pihak akan menjadi oportunis memanfaatkan keadaaan. Korupsi terjadi. Utang luar negeri semakin menumpuk karena bunga yang terus berjalan.

Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang mengalami gagal bayar utang tersebut, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada 5 bahaya utang luar negeri.  Pertama: Sebagai jalan untuk menjajah suatu negara.

Kedua: Sebagai sarana untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi.

Ketiga: Negara peminjam tetap miskin, tergantung dan terjerat utang yang makin bertumpuk-tumpuk.

Keempat: Utang luar negeri yang diberikan pada dasarnya merupakan senjata politik (as silah as siyasi) negara-negara kapitalis kepada negara-negara lain untuk memaksakan kebijakan politik, ekonomi. Tujuan mereka sebenarnya memberi utang bukanlah untuk membantu negara lain, melainkan untuk kemaslahatan, keuntungan dan eksistensi mereka sendiri.

Kelima: Melemahkan dan membahayakan sektor keuangan (moneter) negara pengutang. Utang jangka pendek, berbahaya karena akan dapat memukul mata uang domestik dan akhirnya akan dapat memicu kekacauan ekonomi dan keresahan sosial. Sebab bila utang jangka pendek ini jatuh tempo, pembayarannya menggunakan mata uang Dolar atau Yuan yang merupakan hard currency. Maka dari itu, negara pengutang akan kesulitan untuk melunasi utangnya dengan dolar AS atau Yuan karena mengharuskan penyediaaan mata uang tersebut sehingga melemahkan mata uang negara peminjam. Utang jangka panjang juga berbahaya karena makin lama jumlahnya semakin mencengkeram. Ini akan dapat melemahkan anggaran belanja negara dan membuatnya makin kesulitan dan terpuruk atas utang-utangnya. Di situlah negara-negara donor makin memaksakan kehendak dan kebijakannya yang sangat merugikan negara 11.

 

Utang LN dalam Timbangan Syariah

Berutang dari negara-negara asing dan institusi-institusi keuangan internasional haram menurut hukum syariah karena dua sebab: ada bunga ribawi dan di dalamnya ada syarat-syarat.

Allah SWT berfirman:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah 2: 275).

 

Rasulullah saw. bersabda:

اَلرِّبَا ثَلَثَةٌ وَسَبْعُوْنُ بَابًا وَ أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ

Riba itu mempunyai 73 macam dosa. Dosa yang paling ringan adalah seperti seseorang yang menikahi (menzinai) ibu kandungnya sendiri (HR Ibnu Majah dan al-Hakim).

 

Bantuan luar negeri, dengan perjanjiannya, juga telah membuat negara-negara kapitalis dapat mendominasi, mengeksploitasi dan menguasai Indonesia. Ini haram berdasarkan firman Allah SWT:

وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا

Sekali-kali Allah tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa‘ 4: 141).

 

Alhasil, sesuai kaidah-kaidah utang internasional saat ini maka berutang itu tidak akan kosong dari pelanggaran-pelanggaran syariah, riba dan syarat-syarat yang menyalahi syariah. Atas dasar itu haram berutang dari negara asing, baik apakah negara asing itu negara yang sedang memerangi kita (dawlah muhâribah) atau negara yang terikat perjanjian (dawlah mu’âhadah) menurut perjanjian-perjanjian internasional saat ini 12.

 

Sejahtera dan Bermartabat Tanpa Utang Luar Negeri

Dalam perspektif ekonomi Islam, ada beberapa upaya riil untuk menghentikan utang luar negeri yang eksploitatif itu 9. Pertama: Kesadaran akan bahaya utang luar negeri, bahwa utang yang dikucurkan negara-negara kapitalis akan berujung pada kesengsaraan. Selama para pejabat negara dan ekonom masih tidak memahami ini, akan susah menghentikan utang luar negeri.

Kedua: Keinginan dan tekad kuat untuk mandiri harus ditancapkan sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang dapat menyelesaikan berbagai problem kehidupan, termasuk problem ekonomi. Sebaliknya, mentalitas ketergantungan pada luar negeri harus dikikis habis.

Ketiga: Menekan segala bentuk pemborosan negara, baik oleh korupsi maupun anggaran yang memperkaya pribadi pejabat, yang bisa menyebabkan defisit anggaran. Proyek-proyek pembangunan ekonomi yang tidak strategis dalam jangka panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia, dan semakin menimbulkan kesenjangan sosial harus dihentikan.

Keempat: Melakukan pengembangan dan pembangunan kemandirian dan ketahanan pangan. Dengan membangun sektor pertanian khususnya produk-produk pertanian seperti beras, kacang, kedelai, tebu, kelapa sawit, peternakan dan perikanan yang masuk sembako. Memberdayakan lahan maupun barang milik negara dan umum (kaum Muslim) seperti laut, gunung, hutan, pantai, sungai, danau, pertambangan, emas, minyak, timah, tembaga, nikel, gas alam, batu bara dll.

Kelima: Mengatur ekspor dan impor yang akan memperkuat ekonomi dalam negeri. Caranya dengan memutuskan impor atas barang-barang luar negeri yang diproduksi di dalam negeri, juga  membatasi impor dalam bentuk bahan mentah atau bahan baku yang diperlukan untuk industri dasar dan industri berat yang sarat dengan teknologi tinggi. Kemudian memperbesar ekspor untuk barang-barang yang bernilai ekonomi tinggi, dengan catatan tidak mengganggu kebutuhan dalam negeri dan tidak memperkuat ekonomi dan eksistensi negara-negara Barat Imperialis.

Semua upaya agar kita sejahtera dan bermartabat tanpa hutang tersebut tidak akan berhasil dengan gemilang dan tidak akan mengantarkan umat menuju puncak keridhaan Allah SWT yang abadi, selain dengan menegakkan risalah Islam secara total dengan jalan menegakkan Khilafah Islamiyah ‘ala minhajin nubuwwah yang bertanggung jawab menegakkan risalah Islam dan menyebarluaskan Islam ke seluruh pelosok dunia.

WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Addin Al-Fatih]

 

Referensi:

1        I. I. Praditya, “Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 5.601 Triliun hingga Juni 2019,” Liputan 6, 2019. Online. Available: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4038341/utang-luar-negeri-indonesia-capai-rp-5601-triliun-hingga-juni-2019. Accessed: 08-Oct-2019.

2        Bappenas, “Jumlah Penduduk Indonesia 2019 Mencapai 267 Juta Jiwa,” Bappenas, 2018. Online. Available: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/04/jumlah-penduduk-indonesia-2019-mencapai-267-juta-jiwa. Accessed: 08-Oct-2019.

3        G. Gumelar, “Saat Peluit Utang Era Jokowi Ditiup Nyaring,” Cnnindonesia.com, 2018. Online. Available: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181019012652-532-339679/saat-peluit-utang-era-jokowi-ditiup-nyaring. Accessed: 08-Oct-2019.

4        Boby, “Miliki Utang Segunung, 9 Negara Ini Bangkrut Karena Gak Bisa Bayar Cicilan,” moneysmart.com, 2018. Online. Available: https://www.moneysmart.id/miliki-utang-segunung-9-negara-ini-bangkrut-karena-gak-bisa-bayar-cicilan/. Accessed: 08-Oct-2019.

5        A. Rahapit, “Ekonom Indef: Pokok Dan Bunga Terlalu Besar, Pemerintah Diminta Ngerem Utang,” rmol, 2019. Online. Available: http://www.rmolbanten.com/read/2019/06/19/9186/Ekonom-Indef:-Pokok-Dan-Bunga-Terlalu-Besar,-Pemerintah-Diminta-Ngerem-Utang. Accessed: 08-Oct-2019.

6        D. R. Cahyani, “Indef Ingatkan Pemerintah: Proyek Infrastruktur Bisa Jadi Bencana,” tempo.co, 2019. Online. Available: https://bisnis.tempo.co/read/1253282/indef-ingatkan-pemerintah-proyek-infrastruktur-bisa-jadi-bencana/full&view=ok. Accessed: 08-Oct-2019.

7        R. K. Dewi, “Sri Mulyani ‘Warning’ soal Potensi Gagal Bayar, Apa Maksudnya?,” kompas.com, 2019. Online. Available: https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/03/055000865/sri-mulyani-warning-soal-potensi-gagal-bayar-apa-maksudnya-?page=all. Accessed: 08-Oct-2019.

8        H. Kuncoro, “Menakar Kemampuan Bayar Utang Negara,” Media Indonesia, Jakarta, Indonesia, 2019.

9        A. Adiningrat, “Utang Luar Negei: Fakta, Bahaya, dan Hukum Syara,” HTI Press, 2017. Online. Available: https://jendela-infokom.blogspot.com/2017/01/utang-luar-negeri-fakta-bahaya-dan.html. Accessed: 08-Oct-2019.

10      D. R. Cahyani, “4 Negara Gagal Bayar Utang ke China, Indef Ingatkan Akibatnya,” tempo.co, 2018. Online. Available: https://bisnis.tempo.co/read/1071926/4-negara-gagal-bayar-utang-ke-china-indef-ingatkan-akibatnya. Accessed: 08-Oct-2019.

11      Abdurrahman Al-Maliki, “Akhthar al-Qurudh al-Ajnabiyah,” in As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, Egypt: Mustafa Babil Halabi, 1963.

12      Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, “SJ: Bolehkah Berutang dari Negara Asing?,” Tsaqafah.id, 2014. Online. Available: https://tsaqofah.id/sj-bolehkah-berutang-dari-negara-asing/. Accessed: 08-Oct-2019.

13      R. H. Strahm, Kemiskinan dunia ketiga: menelaah kegagalan pembangunan di negara berkembang (Terj). Jakarta, Indonesia: Pustaka Cidesindo, 1999.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + 7 =

Back to top button