
Cara Islam Menjamin Ketersediaan Pangan
Indonesia, dengan tanah pertanian yang subur dan luas, seharusnya menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan berasnya sendiri. Namun sayang, potensi tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Pemerintah. Hampir setiap tahun, Indonesia terpaksa mengimpor beras dari negara lain, seperti Thailand dan Vietnam. Situasi ini semakin memburuk pada masa musim kering pada akhir tahun 2023, yang dipicu oleh fenomena El-Nino. Musim kering ini mengakibatkan penurunan dan bahkan mundurnya produksi beras di Indonesia. Ini pada gilirannya menyebabkan kenaikan harga beras secara drastis.
Dari sisi produksi, sektor pertanian pangan khususnya produksi padi menghadapi tantangan yang cukup besar. Ini mengurangi daya tarik petani untuk mengembangkan usahanya. Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi (BPS, 2017) mengungkapkan bahwa komposisi pengeluaran petani padi terbesar adalah biaya tenaga kerja (48,95 persen), diikuti oleh sewa lahan (26,36 persen), pupuk (9,4 persen), pestisida (4,3 persen) dan benih (3,8 persen).1 Menurut survei itu, kendala terbesar yang dihadapi petani adalah kenaikan biaya produksi tersebut yang relatif tinggi.
Survei juga menunjukkan bahwa 50,1 persen petani meminjam uang kepada individu, 29,3 persen ke bank, dan sisanya ke lembaga keuangan lain seperti koperasi.2 Kendala dalam meminjam uang dari bank termasuk tidak memiliki agunan, proses yang rumit dan suku bunga yang tinggi. Sebagai gambaran, suku bunga kredit Bank Perkreditan Rakyat untuk Sektor Pertanian rata-rata mencapai 25,2 persen pada Desember 2023.3 Hal itu membuat banyak petani kesulitan dalam berproduksi sehingga sebagian terjerat oleh pinjaman rentenir yang menawarkan bunga tinggi. Sejumlah petani bahkan terpaksa menjual lahannya dan beralih menjadi buruh tani.
Di sisi konsumen, daya beli masyarakat masih relatif lemah. Menurut perhitungan Bank Dunia, 40 persen penduduk Indonesia masih berada dalam kategori miskin. Angka ini jauh melampaui perhitungan Pemerintah yang hanya mencapai 10 persen dengan standar yang lebih rendah. Dalam kondisi seperti ini, tata niaga pangan juga menjadi tidak sehat. Para tengkulak dan pedagang dengan mudahnya memanipulasi harga dan melakukan penimbunan barang. Sementara itu, solusi yang diambil pemerintah untuk menekan harga adalah dengan menetapkan batas atas harga pangan agar penjual tidak menjual di atas harga tersebut.
Perspektif Islam
Politik ekonomi Negara Islam bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan perumahan bagi seluruh rakyat, sambil memberikan kesempatan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Oleh karena itu, salah satu pendekatan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan memastikan bahwa kebutuhan pokok masyarakat dapat terjangkau, baik melalui mekanisme pasar maupun melalui pemberian bantuan. Agar kebutuhan tersebut dapat tersedia dan terjangkau, terdapat berbagai pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini, termasuk mendorong produksi, mengatur pasar agar beroperasi secara efisien dan tetap syariah, serta memberikan bantuan di luar kerangka pasar.
Dorongan Produksi. Dalam Islam ditekankan pentingnya produksi barang kebutuhan pokok secara efisien guna memastikan ketersediaan yang memadai dan harga yang terjangkau. Pemerintah dapat memberikan insentif dan kebijakan yang mendukung produksi dan distribusi yang efisien. Sebagai contoh, di Negara Islam biaya produksi menjadi lebih efisien karena tidak ada biaya sewa lahan pertanian yang menurut pendapat yang raajih dilarang dalam syariah. Tanah juga dijaga produktivitasnya dengan larangan atas pemiliknya menelantarkan tanah pertanian selama lebih dari tiga tahun. Negara juga bertanggung jawab dalam mendistribusikan tanah kepada mereka yang membutuhkan dan mampu menggarap tanah. Biaya modal untuk berproduksi, seperti benih, pupuk, serta sarana dan prasarana pertanian, dapat diperoleh dari Baitul Mal jika petani mengalami kesulitan. Negara juga memberikan dukungan dan dorongan kepada petani untuk mengadopsi input pertanian terbaik serta teknologi terkini agar hasil pertanian dapat ditingkatkan produktivitasnya secara lebih efisien.
Pada masa Daulah Islam, sektor pertanian diperhatikan dengan serius karena merupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara bagi setiap penduduknya. Di era Umar bin al-Khaththab, misalnya, sebagaimana yang dirangkum oleh al-Haritsy (2003) berbagai kebijakan diterapkan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Salah satu langkahnya adalah membiarkan wilayah-wilayah yang ditaklukkan dikelola oleh penduduk asli tanpa pembagian kepada penakluk. Hal ini dilakukan agar tanah tersebut lebih produktif di tangan penduduk asli yang lebih memahami dan mampu mengembangkan lahan daripada pihak lain.
Selanjutnya, Negara mengawasi kegiatan pertanian di wilayah yang ditaklukkan. Khalifah Umar mengirimkan petugas untuk mengukur luas tanah dan menetapkan kharaj yang harus dibayar. Petugas pajak bertanggung jawab dalam menetapkan dan mengumpulkan kharaj, yang kemudian disetorkan ke kas Negara untuk digunakan pada kepentingan yang sah. Negara juga melakukan berbagai proyek infrastruktur yang melayani sektor pertanian, seperti penggalian sungai dan saluran irigasi, pembangunan jembatan, dan pembangunan bendungan.
Negara juga mengalihkan sebagian tanah milik Negara kepada sektor swasta (individu) dan bernegosiasi dengan mereka mengenai pengelolaannya, sementara Negara mendanai kegiatan tersebut. Negara juga mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah yang tidak produktif dengan memberikan tanah kepada siapa pun yang mampu menghidupkan tanah tersebut.4
Pengawasan Pasar. Negara Islam memiliki struktur pemerintahan yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan melindungi hak publik, yang diwakili oleh lembaga qaadhi muhtasib atau hisbah. Tugas utama lembaga ini adalah mengawasi kegiatan publik, termasuk para pedagang dan pekerja. Tujuannya untuk memastikan bahwa mereka mematuhi hukum-hukum Islam dan mencegah praktik penipuan dalam perdagangan dan pekerjaan mereka. Mereka juga bertugas memberikan sanksi terhadap pelanggaran, seperti penggunaan timbangan atau takaran yang merugikan masyarakat.5
Qaadhi muhtasib berperan penting dalam menjaga keadilan dalam praktik perdagangan dan mencegah kemungkaran, termasuk melarang praktik-praktik yang diharamkan, seperti riba, perjudian dan jual-beli dengan unsur gharar (ketidakpastian), serta mencegah adanya persekongkolan antara penjual dan pembeli untuk menaikkan harga dengan cara yang tidak jujur (najasy).6
Larangan Penimbunan Barang (Ihtikaar). Praktik penimbunan barang kebutuhan pokok dilarang dalam Islam karena dapat menyebabkan kenaikan harga yang tidak wajar. Penimbunan barang dapat mengganggu keseimbangan pasokan dan permintaan. Akibatnya, harga menjadi tidak terjangkau bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, penimbunan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat merupakan bentuk kezaliman yang dilarang dalam Islam. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi saw. yang menyatakan, “Tidak ada yang menimbun kecuali orang yang bersalah.” (HR Muslim).
Penimbun adalah orang yang sengaja membeli barang-barang kebutuhan pokok, seperti makanan, lalu menahan dan menjualnya dengan harga yang tinggi saat masyarakat membutuhkan. Karena itu penguasa berhak untuk memaksa penimbun menjual barang-barangnya dengan harga yang semestinya ketika masyarakat membutuhkan. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki persediaan makanan yang tidak dia butuhkan, sementara masyarakat dalam keadaan kelaparan, maka dia harus dipaksa untuk menjual barangnya kepada masyarakat dengan harga yang wajar.7
Larangan Intervensi Harga (Tas’ir). Islam melarang pemerintah untuk mematok harga barang dan jasa yang diperdagangkan oleh para pedagang. Dengan demikian, harga ditentukan oleh mekanisme pasar yang sehat tanpa intervensi pembatasan harga, baik batas bawah untuk menjaga agar tidak jatuh sehingga merugikan produsen, maupun batas atas untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu mahal.
Larangan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Anas ra.. Dia berkata: Harga melonjak pada masa Rasulullah saw. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menetapkan harga?” Beliau menjawab, “Sungguh Allahlah Yang Maha Menahan dan Memberi rezeki, Yang Maha Pemberi harga. Aku berharap bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun menuntut aku tentang kezaliman dalam darah dan harta’” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Namun, qaadhi hisbah dapat memaksa pedagang untuk melakukan muamalah dengan harga yang semestinya, dan mencegah mereka dari mengambil kelebihan atas nilai yang semestinya. Bahkan hal itu wajib dilakukan.8
Bentuk penetapan harga yang juga dilarang adalah kesepakatan beberapa pihak penjual untuk tidak menjual barang dan jasa untuk menjual pada harga tertentu, atau sebaliknya, pembeli bersepakat untuk tidak membeli kecuali harga yang mereka sepakati.9
Larangan Pemberian Harga yang Tidak Wajar (Ghabn Fahish). Islam melarang praktik pemberian harga yang tidak wajar, baik terlalu tinggi yang dapat merugikan konsumen, maupun terlalu rendah, yang dapat merugikan pedagang lainnya.
Menurut Gazzal (2010), ghaban fahisy adalah kondisi saat kompensasi (baik harga maupun upah) berada di luar estimasi para penilai. Jika para pedagang yang memahami pasar menilai harga suatu barang dagangan dengan 40 dinar, sementara yang lain menilainya 30 dinar, dan yang lain lagi 50 dinar, maka apapun di luar rentang penilaian 30 hingga 50 dinar adalah ghaban fahisy (kerugian besar).
Ghaban adalah memakan harta orang lain dengan cara batil karena ia tidak mendapatkan harta yang diambil dari dirinya dengan cara yang benar. Dalam konteks perdagangan barang-barang komoditas seperti makanan, para pedagang tidak boleh menjual dengan harga yang tidak wajar.10
Larangan Penipuan (Tadlis). Penipuan dapat terjadi di berbagai sektor, termasuk industri makanan seperti industri roti, industri pakaian termasuk penenun dan penjahit, serta industri lainnya. Contoh penipuan dalam perdagangan pangan, sebagaimana yang ditemui oleh Nabi saw., adalah ketika pedagang menyembunyikan cacat dan menipu barang dagangan sehingga barang yang dijual terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. Oleh karena itu penipuan, pengkhianatan dan penyembunyian cacat dalam produksi dan perdagangan harus dicegah.11
Kemudahan Akses Informasi Pasar. Salah satu praktik dalam perdagangan termasuk pangan adalah para pembeli barang menutup akses informasi harga pasar yang sebenarnya kepada para petani atau produsen. Hal tersebut termasuk kemungkaran karena Nabi saw. Telah melarang menjemput barang dagangan sebelum tiba di pasar. Ini karena di dalamnya terdapat unsur menipu penjual. Sebabnya, penjual tidak mengetahui harga pasar. Lalu pembeli membeli barangnya dengan harga di bawah nilai sebenarnya. Oleh karena itu, Nabi saw. memberikan hak khiyar (membatalkan atau meneruskan jual beli) kepada penjual jika barang tersebut telah tiba di pasar.12
Berdasarkan hal itu, dapat pula dipahami bahwa Negara perlu menyediakan informasi yang valid mengenai harga pasar suatu komoditas, jumlah produksi, stok, dan konsumsinya. Hal itu dapat mengurangi praktik kecurangan. Ini juga sekaligus menjadi sarana bagi pemerintah untuk melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat jika, misalnya, terjadi lonjakan harga akibat kurangnya pasokan.
Bantuan Pangan. Pemerintah memiliki peran penting dalam menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok. Salah satunya memberikan subsidi/bantuan bagi masyarakat kurang mampu. Pada masa Kekhalifahan Umar ra. pernah terjadi tahun paceklik (a’m ar-ramadah). Saat itu hujan tidak turun sehingga penghasilan sektor pertanian menyusut dan penduduk kekurangan pangan. Sebagian penduduk pedalaman mengungsi ke Madinah. Khalifah Umar memerintahkan untuk menghitung jumlah penduduk pedalaman yang mengungsi di Madinah serta yang tidak bisa mengungsi dan tetap di perkampungan mereka. Jumlah pengungsi mencapai 10 ribu orang dan yang tidak mengungsi 50 ribu orang. Khalifah Umar kemudian mengeluarkan harta-harta Baitul Mal untuk mengurusi mereka. Mereka kemudian diberi makanan dan lauk secara reguler selama masa paceklik tersebut. Penduduk yang tidak dapat mengungsi dikirimi kebutuhan mereka, seperti tepung, selimut dan unta-unta yang disembelih untuk diambil daging dan lemaknya. Umar ra mengirim kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan secara teratur. Salah seorang Bani Nasr berkata tentang Khalifah Umar: “Dia mengirim kepada kaumku apa yang mereka butuhkan setiap bulan.”13
Peningkatan Pasokan. Peningkatan pasokan oleh pemerintah untuk menjamin ketersediaan barang dan keterjangkauan harga menjadi salah satu cara untuk menjaga agar harga pangan tetap terjangkau. Dalam kondisi produksi dalam negeri tidak mampu mencukupi permintaan dalam negeri yang berdampak pada mahalnya harga, maka pemerintah dapat melakukan pengadaan dari wilayah atau negara lain untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin al-Khathtab ketika terjadi masa paceklik, seperti yang dituturkan oleh Ibnu Atsir (1997):
Khalifah Umar menulis kepada para gubernur (wali) wilayah untuk meminta pertolongan bagi penduduk Madinah dan sekitarnya, dan meminta pasokan makanan. Yang pertama kali datang kepada beliau adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah dengan empat ribu unta bermuatan makanan. Khalifah Umar memerintahkan dia untuk membagikan makanan itu kepada penduduk sekitar Madinah. Setelah membagi semuanya, Abu Ubaidah kembali ke tugasnya. Kemudian orang-orang berdatangan dengan pasokan makanan dan penduduk Hijaz menjadi berkecukupan.
Amru bin al-Ash memperbaiki jalur Laut Qulzum (Laut Merah), dan mengirimkan makanan melalui jalur itu ke Madinah. Harga makanan di Madinah menjadi sama dengan harga di Mesir.14
Khatimah
Demikianlah beberapa aturan Islam dan praktik-praktik yang pernah diterapkan di negara Khilafah Islam untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Tujuannya bukan semata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, namun juga untuk mencapai ridha Allah SWT melalui penerapan Islam dengan benar dan menyeluruh.
WalLaahu a’lam bi ash-shawab. [Muis].
Catatan kaki:
1 Badan Pusat Statistik. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 (tt: BPS, 2017), 42.
2 Badan Pusat Statistik. Hasil Survei, 19.
3 Otoritas Jasa Keuangan. Statistik Perbankan Indonesia – Vol. 22 No.1 Desember 2023
4 Jaryibah ibn Ahmad ibn Sinyan al-Haritsy. Al-Fiqh al-Iqtishady li Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khattab (Jeddah: Dar al-Andalu al-Khadra’, 2003), 99.
5 Hizbut Tahrir. Ajhizah Daulah al-Khilafah (fi al-Hukmi wa al-Idarah) (Beirut: Dar al-Ummah, 2005), 111.
6 Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyyah. Al-Hisbatu fi al-Islam aw Wadhifatu al-Hukumatu al-Islamiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), 19.
7 Ibnu Taimiyyah. Al-Hisbatu fi al-Islam, 21.
8 Ibnu Taimiyyah. Al-Hisbatu fi al-Islam, 22.
9 Ibnu Taimiyyah. Al-Hisbatu fi al-Islam, 24.
10 Ziyad Gassal. Masyru Qanun al-Buyu’fi al-Daulah al-Khilafah (Amman: Dar al-Wadah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 2010), 31.
11 Ibnu Taimiyyah. Al-Hisbatu fi al-Islam, 18.
12 Ibnu Taimiyyah. Al-Hisbatu fi al-Islam, 20.
13 Ibnu Saad. Thabaqat Ibnu Saad, 241/III; al-Baladzury, 315, dalam Jaryibah ibn Ahmad ibn Sinyan al-Haritsy. Al-Fiqh al-Iqtishady li Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khattab, 329.
14 Ibnu Atsir. Kitâb al-Kâmil fî al-Târîkh (editor Tadmury) – Thumma dakhalt sanat thaman ؟ashara (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1997), 375/II.