Siyasah Dakwah

Mimpi Indah Diatas Sampah

Seorang pemulung terlelap di atas tumpukan sampah. Kepalanya bersandar di botol bekas air kemasan. Di dalam lelap, dia bermimpi tentang kasur bersih dan bantal empuk. Aroma rumput segar yang dihirup di dalam mimpi berbeda sama sekali dengan aroma busuk makanan basi tiga hari dalam plastik berlogo mini market di dekat kepalanya di dunia nyata. Tidak hanya kasur bersih dan bantal empuk, dia juga bermimpi tentang anaknya yang bersekolah di sekolah favorit bagi anak para pejabat negara. Kemudian memenangkan lomba sains dan robotik mengalahkan anak selebritis yang wajahnya sering nongol di televisi.

Dia juga bermimpi tentang keadilan hukum bagi tetangganya yang kemarin terpaksa mencuri susu formula di minimarket karena baru dipecat sebulan lalu. Di dalam mimpinya, si tetangga itu dikurung di penjara yang sama dengan koruptor besar yang kemarin pura-pura menabrakkan mobilnya di tiang listrik. Tidak ada perbedaan perlakuan bagi kedua pelanggar hukum itu. Namun, semua itu hanya ada di dalam mimpi. Berkebalikan dengan di dunia nyata.

Tak salah jika si pemulung memimpikan itu semua. Pasalnya, dia hidup di dalam sistem negara yang konon menjanjikan kesetaraan hukum, keadilan sosial ekonomi dan kebebasan berpendapat. Namun, kenyataan memang tidak seindah mimpi yang ditawarkan teori Montesquieu dan para teoritisi demokrasi yang lain.

 

Saat Montesquieu Tekuk Lutut

Siapa yang tidak kenal Montesquieu? Seorang pemikir cerdas dari Prancis yang rumusannya digunakan hampir semua negara demokrasi modern ini. Rumusan yang dimaksud tidak lain adalah Trias Politika. Menurut Montesquieu, agar negara tidak otoriter, kekuasaan negara tidak boleh berpusat pada satu atau sekelompok orang saja. Bayangkan, bagaimana cara untuk memvonis adil seorang raja yang melanggar hukum? Jika hukumnya dibuat sendiri oleh sang raja? Jika hakimnya adalah sang raja itu sendiri? Oleh karena itu, Montesquieu menyarankan agar pembuat undang-undang (Legislatif), pelaksana undang-undang (Eksekutif) dan para penegak hukum (Yudikatif) haruslah orang yang berbeda. Lahirlah teori Trias Politika: Legislatif – Eksekutif – Yudikatif.

Lihatlah, betapa hebat Montesquieu. Hampir semua negara modern saat ini menggunakan sistem itu. Karena itu tak salah jika kemudian pak pemulung tadi bermimpi indah tentang kehidupan yang adil, karena dia hidup di dalam negara yang menggunakan sistem demokrasi model Trias Politika.

Secara logika, untuk membuat Trias Politika tekuk lutut, perlu orang yang lebih cerdas dari Montesquieu. Namun, fakta memaksa Montesquieu menelan ludah kecut, kalau saja dia masih hidup. Tak perlu orang yang sangat cerdas untuk melumpuhkan formula Trias Politika. Hanya butuh seorang nenek tua yang tidak terlalu cerdas untuk memperdaya Trias Politika. Caranya? Dia mengumpulkan tiga kekuasaan di dalam satu tangannya. Pucuk pimpinan eksekutif diserahkan kepada petugas partainya. Pucuk pimpinan legislatif diserahkan kepada anak kesayangan. Sistem yudikatif ada di tangan karib mesranya. Dengan itu, selesai sudah teori keadilan Montesquieu yang dibangun dengan segenap kecerdasan lebihnya.

 

Ras Terkuat

Selain membagi kekuasaan menjadi tiga, demokrasi juga membatasi waktu berkuasa. Seorang pucuk pimpinan eksekutif pada umumnya boleh menduduki kursi kekuasaannya hanya dalam dua periode berturut-turut. Durasi per periode umumnya lima tahun. Seseorang yang berkuasa dalam jangka waktu lama dipercaya akan bisa menancapkan pengaruhnya di pos-pos penting. Akibatnya, kelak dia akan mudah untuk menjadi otoriter. Oleh karena itu, pembatasan waktu kekuasaan dipercaya akan mengatasi masalah hal ini.

Agar lebih adil lagi, orang yang berkuasa dipilih langsung oleh rakyat. Konsep itu akhirnya menjadikan negara demokrasi harus selalu menggelar pesta besar setiap lima tahun sekali. Pesta besar itu tidak lain adalah Pemilu; ritual rakyat dalam memilih eksekutif maupun legislatif. Jadi, setiap lima tahun sekali, negara demokrasi wajib menggelar Pemilu. Jika setiap pos kekuasaan juga dikelola dengan cara yang sama maka pesta besar itu bisa jadi lebih dari sekali dalam setiap lima tahun. Jika Presiden, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati, semua dikelola dengan cara yang sama, maka aka nada empat pesta besar dalam lima tahun.

Jika menggelar pesta pernikahan dengan mengundang tetangga sekampung saja memerlukan biaya tidak sedikit, apalagi menggelar Pemilu yang melibatkan dua ratus lima puluh juta rakyat di wilayah seluas hampir dua juta kilo meter persegi. Siapa yang menanggung biaya itu? Secara teoretis ada dua pihak yang bakal menggelontorkan hartanya. Pertama, negara sebagai penyelenggara. Kedua, para calon yang berkompetisi untuk meraih kursi.

Menurut sejumlah media massa, Indonesia harus menggelontorkan dana sebesar 25 Triliun untuk menggelar pemilu presiden dan pemilu legislatif tahun 2019 yang baru saja berlalu beberapa bulan lalu. Artinya, di dalam lima tahun ini kita perlu merogoh uang rakyat sejumlah 25 Triliun, atau sama dengan 5 Triliun setiap tahun, atau sama dengan 13.7 Miliar setiap hari. Pertanyaannya, apakah dengan dana sebesar itu, rakyat benar-benar mendapatkan pemimpin yang terbaik? Kita akan menjawab pertanyaan ini di paragraf-paragraf setelah ini.

Jumlah dana sebesar itu belum termasuk yang dikeluarkan oleh para kandidat. Baik kandidat capres maupun kandidat calon legislatif. Berapa dana yang harus dikeluarkan para kandidat? Bayangkan kita menjadi salah satu calon legislatif yang turut serta memerebutkan 1 di antara 575 kursi di DPR RI. Mari kita hitung dana untuk mencetak alat kampanye paling primitif, spanduk, di seluruh Indonesia. Andaikan tiap kabupaten memiliki luas 500 km2, dan setiap km2 perlu satu spanduk, maka kita butuh 500 spanduk untuk satu kabupaten. Jika dikali 575 kabupaten/kota maka total kita perlu 287.500 lembar sepanduk. Andai satu spanduk senilai Rp 100.000 saja, maka untuk spanduk kita harus merogoh kocek 28.75 Miliar. Bayangkan angka itu dikalikan jumlah caleg, baik yang sukses melenggang ke gedung dewan ataupun yang gagal. Belum termasuk biaya kampanye lain yang lebih “canggih” dari sekadar sepanduk. Jadi jangan tanya berapa dana kampanye yang harus dikeluarkan dua orang calon presiden dan dua calon wakil presiden.

Dana kampanye setiap kandidat itu sejatinya tidak setara jika dibandingkan dengan gaji dari jabatan yang diperebutkan. Hanya orang poloslah yang berpikir bahwa keuntungan pejabat legislatif maupun eksekuif itu hanya soal gaji. Ada keuntungan kekuasaan yang sangat besar. Kekuasaan itu juga bisa mendatangkan keuntungan nominal yang jumlahnya bisa ribuan kali lipat dibandingkan dengan nilai gaji. Kekuasaan untuk membuat hukum dan regulasi bisnis di atas tanah seluas dua juta kilo meter persegi adalah sebuah keuntungan nominal dengan jumlah yang tak pernah terbayangkan oleh rakyat kecil.

Bagi para pebisnis raksasa, kendali atas regulasi adalah sebuah peluang besar. Bayangkan, sekali saja regulasi impor kebutuhan pokok masyarakat diketok palu, keuntungan super besar menanti di depan mata. Demi peluang itu, para pebisnis raksasa dengan senang hati menggelontorkan dana miliaran hingga triliunan untuk membiayai kampanye para kandidat. Gelontoran dana besar itu tentu saja tidak gratis. Si Pebisnis ingin agar investasinya mendatangkan keuntungan sebesar mungkin. Keuntungan itu diperoleh dari produk hukum dan regulasi yang menguntungkan bisnisnya. Jadi jangan heran jika kita sering mendengar regulasi impor suatu produk yang di luar nalar rakyat. Wajar pula jika akhir-akhir ini kita juga mendengar kabar tentang pelemahan KPK melalui revisi UU KPK.

Dengan mekanisme ini, akhirnya kita tahu bahwa si penguasa sesungguhnya bukanlah seorang nenek yang sukses menaklukkan Trias Politika Montesquieu. Justru para pengusaha yang membiayai nenek dan anak buahnya. Kita menyebut para pengusaha kelas paus itu dengan nama kapitalis. Sesungguhnya ras kapitalis inilah ras terkuat di dalam sistem demokrasi. Dengan uang yang mereka punya, mereka bisa mengendalikan negeri ini melalui para pejabatnya.

 

Sistem Terbaik atau Sistem Terbalik?

Kisah di atas sesungguhnya bukan kisah baru yang mengejutkan. Masyarakat sudah menyaksikan fakta dengan mata kepala mereka sendiri, bahwa negeri ini adalah lahan subur untuk korupsi. Namun, kebanyakan masyarakat masih menilai bahwa semua itu terjadi karena para pejabatnya adalah orang-orang berakhlak buruk. Masyarakat masih banyak yang beranggapan jika para pejabat itu berahlak baik, maka tidak akan turut serta melakukan tindakan keji itu.

Inti persoalan sesungguhnya bukan soal akhlak, malainkan soal regulasi dan hukum yang bisa berubah-ubah di tangan pejabat. Hak untuk membuat undang-undang di dalam sistem demokrasi memang berada di tangan legislatif, termasuk kekuasaan eksekutif untuk menelorkan beragam regulasi dan keputusan hukum.

Mari kita bandingkan dengan sistem hukum dan pemerintahan di dalam Islam. Di dalam Negara Islam, penguasa tidak memiliki hak untuk membuat hukum sendiri. Pasalnya, hukum negara wajib diturunkan dari sumber hukum Islam: Al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Ambil contoh dari hadis tentang pengaturan sumberdaya alam: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Berdasarkan ini, apapun yang terjadi, Khalifah tidak akan pernah menyerahkan konsesi tambang minyak, tambang batubara, sungai, danau, hutan, dan lain-lain kepada para kapitalis. Andai ada Khalifah yang membuat aturan yang membolehkan para kapitalis menguasai sumberdaya alam milik umum itu, maka saat itu juga gugur hak dia sebagai Amirul Mukminin.

Di dalam sistem Islam, hukum yang berlaku lebih terjamin kepastiannya. Semua orang bisa mengakses hukum Islam dari al-Quran dan as-Sunnah untuk dibandingkan dengan regulasi yang diambil penguasa. Begitu regulasi itu tidak sesuai dengan sumber hukum Islam, maka kekuasaan bisa diakhiri saat itu juga. Dari perbandingan itu kita bisa melihat bahwa inti persoalan korupsi bukan pada akhlaq para pejabatnya, melainkan pada system Demokrasi yang memang sudah cacat sejak lahirnya.

Namun demikian, di dalam persepsi masyarakat modern, demokrasi sudah terlanjur diterima sebagai sistem terbaik. Hanya sistem ini yang dianggap paling cocok untuk diterapkan di tengah masyarakat yang heterogen. Bahkan umat Islam sendiri sering gamang untuk menyuarakan penerapan hukum Islam dengan alasan masyarakat kita heterogen. Mereka berpendapat bahwa Negara Islam tidak tepat diterapkan di sini karena alasan kebhinekaan. Kita seolah lupa, bahwa ketika Rasulullah saw. sebagai kepala negara menerapkan syariah Islam, di Madinah tidak hanya dihuni oleh Muslim. Ada warga Yahudi, warga Nasrani, juga kaum musyrik yang hidup di sana. Bahkan keadaannya tetap demikian ketika Kekhilafahan kemudian bertumbuh besar meliputi sepertiga bumi, tentu saja di dalamnya hidup warga yang super bhineka, baik ras, bangsa, maupun agamanya. Faktanya, kehidupan di bawah kekuasaan Khalifah dan hukum Islam sangat adil bahkan kepada warna yang non-Muslim.

Di dalam benak masyarakat, penerapan hukum Islam di level negara akan menghalangi kebebasan beragama bagi warga non-Muslim. Fakta sejarah menunjukkan bahwa umat non-Muslim yang hidup di bawah Kekhilafahan Islam tetap bisa menjalankan agama yang dianutnya. Bahkan ketika Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, para pengikut Kristen Koptik merasa lebih bahagia dibanding hidup di bawah kekuasaan Katolik Roma.

Citra buruk terhadap Islam, penerapan syariah dan Khilafah sesungguhnya hanyalah propaganda dari para kapitalis beserta mafia politiknya. Mereka menebar propaganda itu karena sadar benar, bahwa ketika Syariah dan Khilafah benar-benar diterapkan, mereka tak lagi bisa merampok kekayaan negeri-negeri Muslim. [Jogja, 71019; Doni Riw]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 − 1 =

Back to top button