Siyasah Dakwah

Timeline of Palestine (Sejarah Palestina dari Masa ke Masa) (Bagian 2)

Sepeninggal Rasulullah saw. pada Hari Senin 12 Rabiul Awal 10 Hijrah (632 M), para Sahabat bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. untuk menjadi khaliifatur-rasuul (pemimpin pengganti rasul) dalam memimpin dan mengatur kaum Muslim dalam kuasa pemerintahan Islam yang berpusat di Kota Madinah.

Langkah awal kebijakan pemerintahan Khalifah Abu Bakar ra. adalah memimpin langsung prosesi pemakaman Baginda Nabi Muhammad saw. yang sebelumnya sempat tertunda selama tiga hari dua malam. Kemudian sang Khalifah segera memerintahkan Usamah bin Zayd ra. untuk segera berangkat kembali mengomando ribuan para mujahidin berangkat menuju wilayah Balqa, Syam. Tujuan utamanya adalah futuhat atas Baitul Maqdis, sekaligus membebaskan Masjidil Aqsha dari penguasaan Romawi Byzantium. Kebijakan Khalifah Abu Bakar ini meneruskan apa yang menjadi ketetapan politik luar negeri terakhir Baginda Nabi saw. sebelum beliau wafat. Ini sekaligus merupakan perjuangan Islam untuk mewujudkan visi nubuwwah Muhammad saw. bagi pemusakaan kemuliaan Baitul Maqdis oleh kaum Muslim.

Perjuangan Usamah bin Zayd beserta ribuan para mujahidin berhasil membebaskan Balqa. Mereka berhasil menghancurkan kuasa Romawi Byzantium di kota penghubung antara Syam dan Baitul Maqdis tersebut sekalipun panglima Usamah syahid karenanya. Penguasaan Balqa ini mendorong Khalifah untuk mengirimkan pasukan-pasukan mujahidin berikutnya untuk penguasaan wilayah Syam seluruhnya. Para panglima terbaik, seperti Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Ikrimah bin Abi Jahal, Amru bin Ash, Abu Dujanah, Muawiyah bin Abi Sufyan dan adiknya, Yazid bin Abi Sufyan pun mendapatkan titah mengomando para mujahidin berjihad ke wilayah Syam. Tujuan utamanya adalah pembebasan Baitul Maqdis.

Namun sayang, visi nubuwwah pembebasan Baitul Maqdis dan pemusakaan kemuliaan Masjid al-Aqsha itu belum berhasil terwujud pada masa Khalifah Abu Bakar. Beliau keburu wafat pada 12 Hijrah atau 634 M. Kepemimpinan kekhalifahan Islam pun beralih kepada Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. Khalifah Umar pun segera melanjutkan estafet kepemimpinan Islam dalam mewujudkan visi nubuwwah Rasulullah saw. tersebut., yakni fokus membebaskan Baitul Maqdis, Palestina.

 

Pembebasan Baitul Maqdis

Sejak Khalifah Umar berkuasa menggantikan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra., beliau yang memiliki pengalaman luar biasa di medan perang tentu memahami betul bagaimana disiplin militer dan dinas ketentaraan, terutama soal strategi perang hingga teknik bertempur. Oleh karena itu, pada masa kepemimpinnya, beliau mengorganisir pasukan Islam dengan dinas militer profesional sebagaimana keberadaan musuh-musuh Kekhilafahan Islam saat itu, baik dari kuasa Imperium Romawi Byzantium, maupun kuasa imperium Sasaniyah Persia. Khalifah Umar menentukan kebijakan tidak membagikan ghaniimah kepada para mujahidin. Namun, menghimpunkan ghaniimah itu ke dalam kas negara di Baytul Maal. Beliau pun menentukan anggaran belanja Negara Khilafah bagi para prajurit tempur dalam dinas militer Kekhalifahan. Para mujahidin mendapatkan gaji, tunjangan dan fasilitas sebagaimana para prajurit profesional pada umumnya. Uniform dan alutsista militer sepenuhnya ditanggung oleh Negara.

Sejak itulah, pasukan Islam mewujud menjadi kekuatan militer paling tangguh di middle east region. Terbukti adidaya Timur, Sasaniyah Persia, dihancurkan pada 637. Adapun adidaya Barat, Romawi Byzantium, terusir selamanya dari Syam pada 638 M.

Saat pembebasan Syam, teristimewa saat pembebasan Baitul Maqdis dari kekuasaan Romawi Byzantium, Khalifah Umar ra. mengirimkan pasukan-pasukan profesionalnya yang dikomando oleh para panglima perang terbaiknya, seperti Khalid bin Walid, Amru bin Ash, Qa’qa bin Amru at-Tamimy, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal ra. Selama masa pembebasan Baitul Maqdis tersebut sepanjang bulan November 636 hingga Desember 637 M. Komando utama para mujahidin ada di tangan Panglima Khalid bin Walid ra.

Ada berita yang mengusik ketidaknyamanan Khalifah Umar ra. bahwa para mujahidin menganggap kemenangan demi kemenangan yang mereka raih karena kepemimpinan Panglima Khalid, bukan karena turunnya nashrulLaah. Tidak hanya itu, Khalifah Umar ra. pun mendengar kabar bahwa sepanjang peperangan yang dikomandoi oleh Panglima Khalid, korban jiwa dari pasukan Romawi luar biasa banyak. Tercatat lebih dari 60.000 jiwa binasa.

Mendengar kabar tersebut, Khalifah Umar ra. sungguh prihatin. Beliau mafhum bahwa jihad di dalam Islam bukanlah untuk membinasakan manusia, tetapi justru sebaliknya. Jihad adalah untuk meninggikan kalimah Allah dengan menjaga jiwa manusia. Khalifah Umar ra. khawatir pasukan Islam dianggap sebagai pasukan pembinasa, kaum Muslim dianggap sebagai penebar teror mengerikan, bukan penegak rahmat bagi semesta. Lebih daripada itu, beliau pun merasa khawatir pemahaman di antara pasukan Islam mulai bergeser dari tauhid yang lurus; mereka menang karena panglima Khalid, bukan karena pertolongan Allah SWT.

Oleh karena itulah, Khalifah Umar ra. segera menggantikan kedudukan Panglima Khalid dengan mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai panglima perang baru bagi pasukan Islam di Syam.

Keputusan Khalifah Umar ra. pun sungguh tepat. Melalui kepemimpinan panglima baru, Abu Ubaidah bin Jarrah r.a., pasukan Muslim begitu disiplin dengan kesabaran penuh mengepung rapat Baitul Maqdis sejak akhir tahun 637 hingga April 638 M. Mereka tidak langsung menggempur Baitul Maqdis, Yerusalem dengan serangan kilat dan skala massif. Namun, mereka menunggu gerbang Kota Yerusalem dibuka sendiri oleh pemimpin Aelia Capitolina, Patriakh Monofisit Shopronius.

Akhirnya, berkah kesabaran melalui proses yang terus diperjuangkan, visi nubuwwah pembebasan Baitul Maqdis dan pemusakaan kemuliaan Masjid al-Aqsha pun terwujud nyata pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab dan komando jihad Panglima Abu Ubaidah bin Jarrah. Bahkan peralihan kuasa di Yerusalem pada akhir April 638 M itu diserahterimakan secara langsung dari Patriakh Monofisit Sophronius kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang datang langsung dari Kota Madinah ke Yerusalem, Palestina.

Sebelumnya, Sophronius, pemuka Nasrani Bani Israil di Aelia Capitolina itu, hanya akan menyerahkan kota kepada Amirul Mukminin Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., bukan kepada panglima perangnya. Monofisit Sophronius beralasan bahwa Aelia Capitolina (Baitul Maqdis) hanya boleh dipusakai kemuliaannya oleh para anbiyaa’ atau pewaris yang menggantikan mereka. Nabi terakhir, Muhammad saw. telah wafat. Pewaris kepemimpinannya, sebagai penggantinya memimpin kaum Muslim saat itu, adalah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.

Dalam pertemuan di Yerusalem itu, tercapai pula kesepakatan di antara kedua belah pihak bahwa: Baitul Maqdis dengan kemuliaan Masjid al-Aqsha beserta keseluruhan wilayah Palestina, sepenuhnya ada dalam perlindungan dan tanggung jawab Kekhalifahan Islam; kaum Nasrani dipersilakan untuk tetap menjalankan ritual keagaman mereka di Holy of Sepulchure ataupun gereja-gereja lainnya di seluruh wilayah Palestina; keberadaan kaum Yahudi, sebagaimana permohonan Sophronius kepada Khalifah Umar bin al-Khaththab r.a., tidak diperkenankan untuk bermukim barang satu malam pun di Baitul Maqdis karena mereka dinilai sering membuat kerusakan di dalamnya.

Khalifah Umar pun menetapkan kebijakan bahwa kaum Yahudi boleh berziarah dan beribadah di Baitul Maqdis. Namun, mereka tidak akan pernah diizinkan bermalam di kota suci tersebut, apalagi berani bermukim di Baitul Maqdis. Kesepakatan ini ditanda tangani oleh kedua belah pihak dan dinamakan sebagai ‘Ahda Umariyah.

Setelah ‘Ahda Umariyah disepakati dan ditandatangani, Khalifah Umar menunaikan shalat di satu tanah lapang dekat dengan Gereja Makam Suci (The Holy Sepulchure). Kelak di tempat itu dibangun Masjid Jami’ al-Aqsha atau kini disebut sebagai Masjid Qibli. Masjid ini paling dekat dengan arah kiblat shalat kaum Muslim.

Berikutnya, Khalifah Umar dan Panglima Abu Ubaidah beserta pasukan kaum Muslim membersihkan area tengah komplek. Komplek ini  diyakini sebagai tempat berpijak Baginda Nabi saw. sebelum mengangkasa dalam peristiwa Mi’raj ke Sidratul Muntaha sekira bulan Rajab tahun ke-10 kenabian atau 620 M.

 

Baitul Maqdis dalam Naungan Khilafah Islam

Sejak masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., Baitul Maqdis, bahkan termasuk seluruh wilayah Syam, berhasil dibebaskan dari kekuasaan imperium Romawi Byzantium. Sejak itu pula Kekhalifahan Islam menaungi Baitul Maqdis dengan segala kemuliaannya. Visi Nubuwwah Muhammad saw. untuk mempusakai Baitul Maqdis dengan menjaga kemuliaan Masjid al-Aqsha, sebagaimana amanah di antara para ‘anbiyaa, benar-benar dijalankan oleh para khalifah. Mereka adalah para pemimpin Islam yang mewarisi kepemimpinan Baginda Nabi di tengah-tengah umatnya.

Pada saat berakhirnya kepemimpinan era Khulafaur Rasyidin, para khalifah Bani Umawiyah (662-750) pun memenuhi amanah, tanggung jawab dan kewajibannya mempusakai Baitul Maqdis dengan menjaga kemuliaan Masjid al-Aqsha. Di antaranya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan bin Hakam al-Umawi. Pada 691-692 beliau membangun Masjid Kubah ash-Sakhrah di atas bebatuan yang diyakini sebagai tempat Mikraj Nabi Muhammad saw. Pembangunan berikutnya disempurnakan oleh putranya, Khalifah Walid bin Abdul Malik. Beliau membangun Masjid Qibli dan Mushala Marwani pada 694.

Para khalifah Bani Umawiyah pun tak hanya memperkokoh dan memperindah Komplek Masjidil Aqsha. Mereka pun membangun sarana dan prasarana penunjang bagi kepentingan para peziarah ke Baytul Maqdis. Mereka juga membangun berbagai istana dan fasilitas umum di sekeliling Baitul Maqdis dan Palestina saat dampak wabah Amwas kembali mengemuka pada 724-743.

Pada saat Khilafah Abbasiyah berkuasa sepanjang kurun 750-1258 di Baghdad, para khalifah mereka pun tetap bertanggung jawab penuh terkait pemusakaan atas Baitul Maqdis tersebut melalui para emir, atabegh, malik dan sultanat yang ada dalam kekuasaan Kekhalifahan. Para penguasa bawahan Khalifah Abbasiyah mendapat delegasi dari Khalifah untuk menjaga dan melindungi keamanan Baitul Maqdis, sekaligus kenyamanan para peziarah di tanah suci, baik saat era Buwaihi maupun era Salajiqah.

Saat Daulah Salajiqah dipimpin oleh Sultan Alp Arselan, melalui Nizhamul Muluk, Abul Ali Hasan bin Ali ath-Thusi, Kekhalifahan Islam membangun madrasah ilmu di beberapa kota besar di dunia Islam, yakni Madrasah Nizhamiyah. Satu di antaranya adalah di Baitul Maqdis, Yerusalem. Madrasah Nizhamiyah di Baitul Maqdis inilah yang melahirkan sosok Hujjatul Islam terkemuka hingga kini, yakni Imam Muhammad Abu Hamid al-Ghazali. Bahkan menariknya, beliau mengkhatamkan penyusunan kitab masterpiece-nya, Ihyaa’ ‘Uluum ad-Diin di salah satu bilik Masjid al-Aqsha. Masya Allah.

Pendelegasian sebagian kewenangan Khalifah kepada para gubernur wilayah yang memiliki otoritas penuh mengendalikan wilayahnya masing-masing pada akhirnya membuat kontrol dan kuasa Khalifah melemah. Apalagi kelemahan internal itu diperparah dengan adanya disintegrasi di antara para gubernur wilayah, bahkan memicu terjadinya konflik internal! Disintegrasi tersebut meluas di Timur dan Barat Dunia Islam, dari Hindia hingga Andalusia. Para mu’aarikh menuliskan hal itu sebagai Muluuk ath-Thawaa’if atau masa para penguasa wilayah berdasarkan thaa’ifah (kabilah). Sejarahwan Barat menuliskan hal itu sebagai Reyes The Thaifa.

Dunia Islam dalam keadaan terbelah. Wilayah Khilafah terpecah. Akhirnya, Batul Maqdis pun diambil-alih secara paksa oleh Imamah Syiah Fathimiyah dari pengawasan Daulah Salajiqah.

Penguasaan Fathimiyah atas Baitul Maqdis pun tak berlangsung lama. Mereka hanya menempatkan sekira 10.000 pasukan penjaga di teritorial Palestina. Mereka tak kuasa melindungi Baitul Maqdis saat gelombang Pasukan Salib berdatangan ke wilayah Palestina untuk merebut Yerusalem dari kekuasaan kaum Muslim pada 15 Juli 1099.

Sejak merampas Palestina, Pasukan Salib melakukan pembantaian terhadap penduduk Muslim. Tercatat lebih dari 70.000 jiwa dieksekusi di Yerusalem saja. Berikutnya, Pasukan Salib membentuk kerajaan-kerajaan latin (Christendom) di Palestina dan sekitarnya, yaitu Jerusalem Kingdom, County of Tripoli, County of Edessa dan Principality of Antioch.

 

Kuasa Zanki dan Ayyubi Membebaskan Palestina

Pasca kejatuhan Baitul Maqdis, Yerusalem, ke tangan Pasukan Salib, visi nubuwwah terkait pemusakaan Baitul Maqdis dengan kemuliaan Masjid al-Aqsha pun terjeda, bahkan nyaris hilang saat kaum Yahudi yang menyaru sebagai Pasukan Salib. Ini seperti The Knight of Templar (para ksatria biara) dalam Ordo Sion (baca: biara zion) berwacana mendirikan (kembali) The Third Temples of Solomon di Bukit Batu (Bukit Zion) Yerusalem.

Para ulama mu’tabar, seperti Imam al-Ghazali, Imam Abdul Qadir al-Jilani dan Imam Ja’far al-Barzanji menyuarakan keutamaan jihad membebaskan Yerusalem, Palestina. Mereka menunjukkan pembelaannya terhadap Baitul Maqdis melalui lisan dan tulisan mereka; dari satu mimbar ke mimbar lainnya; dari satu majelis ke majelis berikutnya; dari kota satu ke kota lainnya. Seruan para ulama mu’tabar ini pun disambut antusias oleh para ksatria Islam yang kekuasaan mereka paling dekat dengan kerajaan-kerajaan latin yang dibangun Pasukan Salib di sekitar Palestina.

Para ksatria Islam itu adalah Sultan Imaduddin Zanki dan putranya, Nuruddin Mahmud Zanki. Mereka berdua adalah para atabegh Daulah Zankiyah di bawah naungan The Great Seljuk Empire (Kesultanan Seljuk Raya), penopang kuasa Kekhalifahan Abbasiyah saat itu.

Selain itu, ada Assaduddin Syirqatu yang menjadi panglima perang Daulah Zankiyah dan adik sepupunya, Emir Najmuddin Ayyub, penguasa Moshul dari kabilah Kurdistan. Mereka berjuang untuk mengusir Pasukan Salib dari wilayah Syam, sekaligus merebut kembali Palestina, membebaskan Baitul Maqdis dan memuliakan kembali Masjid al-Aqsha dari najis kekuasaan Salibis Eropa.

Langkah perjuangan para ksatria Zankiyah itu diawali dengan merebut Edessa dari Pasukan Salib pada tahun 1144. Pasukan Imaduddin Zanki berhasil merebut benteng-benteng pertahanan Pasukan Salib di County of Edessa tersebut, membinasakan pasukan Frank dan mengusir para penghuninya keluar Edessa.

Penerus Imaduddin Zanki, yakni Sultan Nuruddin Mahmud Zanki pun mengikuti jejak juang ayahandanya dalam upaya pembebasan Baytul Maqdis dengan merebut kota-kota sepanjang Edessa hingga Aleppo, termasuk Damsyiq, Syria pada 1154. Bahkan di bawah komandonya pula Assadudin Syirqatu dan keponakannya, Shalahuddin Yusuf Ayyub bin Najmuddin Ayyub, merencanakan sublimasi al-Qahirah, Mesir, dari kekuasaan Imamah Syi’ah Fathimiyah. Dengan itu kaum Muslim dapat dipersatukan seluruhnya dalam kesatuan komando jihad dari Damsyiq, Suriah, hingga al-Qahirah, Mesir bagi keberhasilan perjuangan pembebasan Baytul Maqdis.

Rencana strategis politis Zankiyah Ayyubiyah tersebut didukung sepenuhnya oleh Khalifah al-Muqtadi Biamrillah di Baghdad. Akhirnya, Pasukan Assaduddin Syirqatu dan Shalahuddin Yusuf Ayyub pun dapat menguasai al-Qahirah pada 1164. Bahkan pada 1169, Shalahuddin diangkat menjadi wazir (perdana menteri) dan pada 1171 menjadi sultan al-Mishr, penguasa seutuhnya di al-Qahirah, Mesir, dengan meruntuhkan kekuasaan Syi’ah Fathimiyah. Sultan Shalahuddin pun akhirnya mempersatukan Damsyiq hingga al-Qahirah di bawah kekuasaannya pada 1174 dalam wujud Kesultanan Ayyubiyah pasca wafatnya Sultan Nuruddin Mahmud Zanki. Kekuasaan Daulah Abbasiyah pun semakin kokoh dengan sublimasi pantai utara Afrika kedalam kekuasaan Sultan Shalahuddin pada 1183.

Kekuasaan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan kekuatan angkatan bersenjata Daulah Ayyubiyah inilah yang pada akhirnya berhasil menumbangkan satu demi satu kerajaan latin di Timur Tengah. Bahkan Jerusalem Kingdom pun dipaksa untuk menyerah dalam perang penentuan di Lembah Hattin, Palestina pada 4 Juli 1187. Berikutnya, Pasukan Shalahuddin mengepung rapat Yerussalem hingga ksatria Pasukan Salib terakhir, Balian de Ibelin, terpaksa mengibarkan bendera putih pada 2 Oktober 1187. Sejak itulah Sultan Shalahuddin Yusuf Ayyub mendapatkan gelar kehormatan sebagai Malik an-Nashir (Sang Penguasa Penolong), pembebas Baytul Maqdis.  [Salman Iskandar]

WalLaahu a’lam. [Bersambung]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + three =

Back to top button