Siyasah Dakwah

Sejarah Merah Komunisme Di Imdonesia (Ragam Kejahatan PKI Terhadap Islam & Kaum Muslim di Negeri Ini)

Menyoal keberadaan Komunisme dan PKI di negeri ini, yang terbayang dalam ingatan mayoritas di antara kita adalah kengerian, kebiadaban dan pembantaian! Tidak salah memang. Fakta sejarah di negeri ini telah membuktikan bahwa Komunisme dan PKI identik dengan penculikan, pemberontakan dan revolusi berdarah! Bahkan identitas dan karakteristik Komunisme dimana pun sama saja.

Semuanya bermula dari celoteh ‘Nabi’ Komunis sendiri, Karl Heinrich Marx, dalam Das Manifest der Kommunistischen Partei (1848). Dia menulis, “Pertarungan kapitalis dengan proletar merupakan pertentangan kelas terakhir yang akan mengakhiri proses dialektis; yaitu terbentuknya masyarakat komunis yang tidak mengenal adanya kelas (classes society); masyarakat dibebaskan dari keterikatannya dengan milik pribadi, tidak ada eksploitasi, penindasan & paksaan. Anehnya, masyarakat komunis itu harus dicapai dengan kekerasan & paksaan. Force is the midwife of every old society pregnant with a new one … Kekerasan adalah bidan untuk setiap masyarakat lama yang hamil tua dengan masyarakat baru.”

Teori revolusi sosial ala Marx ini pernah dijalankan oleh kaum revolusioner Marxist pada era Kekhalifahan Utsmani, saat Sultan Abdul Hamid II (1876-1909) berkuasa. Partai Dashnak dan Huncak yang berideologi ekstrem kiri itu hendak memisahkan Armenia dari kuasa pemerintahan Islam dengan serangkaian pemberontakan dan pembunuhan terhadap diri Sultan dan keluarganya melalui teror bom di Istanbul. Namun, usaha orang-orang komunis tersebut gagal total. Bahkan mereka ditumpas habis oleh Khalifah.

Saat itu Sultan Abdul Hamid II menyatakan bahwa ideologi Komunisme tidak hanya membahayakan  umat Islam, tetapi juga membahayakan kemanusiaan. Sultan pun memberikan peringatan keras bahwa ideologi tersebut akan sangat destruktif jika berhasil menumbangkan kekuasaan.

Peringatan Khalifah Utsmani tersebut terbukti saat Partai Bolshevijk berhasil menumbangkan Kekaisaran Rusia dalam revolusi berdarah 1917. Tidak hanya keluarga Tzar Nicholas Romanov II yang dibinasakan. Rakyat tak bersalah pun menjadi korban pembantaian. Tercatat lebih dari 20 juta jiwa binasa imbas dari Revolusi Bolshevijk ini. Fakta mengerikan ada di Kota Tashkent. Terdapat sekira dua juta kuburan, korban massif dan struktural ketika Bolshevijm menjarah Turkestan Timur, Uzbekistan kini!

Nah, bagaimana dengan Komunisme di negeri ini? Sami mawonGada bedanya. Kiprah PKI sejak awal kemunculannya di Indonesia selalu memosisikan diri berhadap-hadapan: vis a vis dengan Islam dan umatnya.

 

Sejarah Kelahiran PKI

Saat bergulir kebijakan Ethische Politiek Gubernur Jenderal Willem Idenburg pada era kepemimpinan Queen Wilhelmina van Oranje, di negeri ini telah lahir banyak kaum terpelajar hasil didikan kolonial dalam bidang edukasi yang difasilitasi Kementerian Pendidikan, Keagamaan & Kesenian, Mr. Josephus Hendricus Abendanon. Mereka yang terdidik dengan ide-ide liberal dan modernis netral agama itu mulai bersikap kritis terhadap kezaliman kuasa colonial. Di antara sikap kritisnya itu mereka membentuk organisasi pergerakan di banyak tempat mereka bernaung, termasuk juga di instansi tempat mereka bekerja. Di antaranya, pada 1905 kaum pekerja yang terdidik dan kritis itu membentuk Staat Spoor-Bond, serikat buruh kereta api di Semarang. Berikutnya, pada 1908 mereka pun membentuk Perkumpulan Pegawai Spoor dan Trem (Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel-VSTP), serikat buruh kereta api yang jauh lebih militan daripada SS-Bond. Mereka memperjuangkan hak-hak buruh KA yang kerap tertindas oleh kesewenang-wenangan penguasa kolonial dalam menentukan upah, tarif dan penghargaan kepada para pekerja.

Pada saat yang sama, kesadaran politik dan sikap perlawanan kaum Muslim di negeri ini mulai mengemuka sejak berdiri organisasi pergerakan Islam, seperti Djami’atoel Chair, al-Irsyad, Persjarikatan Moehammadijah, dan terutama Sjarikat Islam (SI) yang embrionya bermula sejak 1905 saat berdirinya Rekso Roemekso di Surakarta. Pergerakan SI yang bersimpati kepada Kekhalifahan Utsmani, bahkan secara terang-terangan mengambil ideologi Pan-Islamisme saat Natico SI di Kota Bandung pada 1916 jelas sangat membahayakan bagi kuasa pemerintahan kolonial Hindia Belanda saat itu.

Oleh karena itu, pihak kolonial sedapat mungkin berusaha untuk meredam bahkan menghancurkan potensi ancaman tersebut dengan melumpuhkan keberadaan Sjarikat Islam dalam pergerakannya. Di antara usahanya itu, pemerintah kolonial mengundang sosok Henk Sneevliet untuk datang ke Indonesia. Sosok aktivis kiri yang pernah bergabung dalam Sociaal Democratische Arbeid Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat) dan memimpin pemogokan kaum buruh Belanda lewat federasi serikat buruh ini tiba di Batavia pada akhir 1913.

Tidak sampai setahun, pada Mei 1914, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) atau Pergerakan Sosial Demokrat di Hindia. Kemudian pada 1916, dia bergabung dengan VSTP di Semarang. Sneevliet berkawan akrab dengan para aktivis VSTP, seperti Semaun, Darsono, Alimin Prawirodirdjo dan Tan Malaka yang juga menjadi anggota Sjarikat Islam di Semarang sejak 1915. Henk Sneevliet  mengajak Semaun cs untuk juga aktif dalam ISDV. Dia menawarkan jalan baru perjuangan melawan kezaliman kolonial Belanda dengan ide-ide revolusioner Marxist yang dia propagandakan lebih rasional dan radikal dibandingkan dengan jalan perjuangan Sjarikat Islam.

Henk Sneevliet membina dan mengkader Semaun cs agar bisa menginfiltrasi dan melumpuhkan Sjarikat Islam dari dalam sebagaimana rencana pihak kolonial. Terbukti, Semaun cs kerap berpolemik dengan para aktivis SI. Dia bahkan berani mengkritisi dan menentang keputusan H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua CSI (Centraal Sjarikat Islam). Di antaranya saat SI mendesak pembentukan Indie Werbaar (Pertahanan Hindia) kepada pihak kolonial untuk mengantisipasi kecamuk Perang Dunia I (1914-1918).

Sneevliet dan pihak kolonial juga menentang keras pidato politik Tjokroaminoto terkait Zelfbestuur (self government) atau kehendak berpemerintahan sendiri (baca: merdeka berdasarkan Islam) pada 17 Juni 1916. Sneevliet mengalihkan semangat perjuangan kemerdekaan itu dengan upaya pemberontakan melalui pemogokaan massal di Kota Surabaya yang jadi kediaman Tjokroaminoto. Sebelumnya, Sneevliet pun telah menyusupkan kader ISDV, yakni Mr. J.A. Brandsteder ke dalam Angkatan Laut Belanda di Pelabuhan Surabaya, Ir. Adolf Baars dan Van Burink ke kalangan PNS berkebangsaan Belanda.

Rencana Sneevliet tersebut menemukan momentumnya saat terjadi Revolusi Bolshevijk 1917 di Rusia. Dia meyakini bahwa revolusi kaum komunis sepanjang September-Oktober 1917 tersebut bisa diikuti di Indonesia. Karena itu bersama Semaun cs, dia membentuk ‘Pengawal Merah’ sebanyak 3.000 orang. Kemudian, pada akhir 1917, ISDV memberontak di Surabaya & membentuk Dewan Soviet. Pemberontakan dan pemogokan yang diam-diam diskenariokan gagal oleh Sneevliet dan pihak kolonial ini berimbas kepada para demonstran, pemogok dan aktivis pergerakan di Surabaya yang langsung digebuk penguasa. Bahkan bukan hanya aktivis ISDV yang digebu, para aktivis Sjarikat Islam dan pergerakan Islam lainnya pun digaruk pihak kolonial. Melalui aksi Sneevliet, pemerintah kolonial Belanda berhasil membelah dan melumpuhkan Sjarikat Islam dari dalam! Mereka punya alasan logis untuk membekuk SI atas keterlibatan kader-kadernya dalam pemberontakan gagal tersebut.

Pasca pemberontakan pada akhir 1917 itu, Sneevliet pergi meninggalkan Indonesia, balik kembali ke negeri Belanda pada awal 1918. Hidden agenda-nya sukses memecah Sjarikat Islam sekaligus melumpuhkan jalan perjuangannya. Semaun cs pun terkena delik aturan disiplin partai yang diusulkan KH Agus Salim dan H. Abdoel Moeis kepada H.O.S. Tjokroaminoto. Mereka dikeluarkan dari SI dan memilih aktif dalam ISDV dengan nama Sjarekat Rakjat. Kemudian, pada 23 Mei 1920, Semaun cs mengganti nama Sjarekat Rakjat-ISDV dengan nama baru yang bernuansa kebangsaan, Persjarikatan Kommunist di Hindia. Kelak, persjarikatan ini dikenal dengan nama PKI (Partai Komunis Indonesia).

 

Serangan PKI Terhadap Ajaran Islam

Pergerakan kaum komunis dan PKI di negeri ini tidak hanya menginfiltrasi dan melumpuhkan SI dari dalam. Mereka juga kerap melakukan pemogokan massal di berbagai kota di era kolonial untuk melumpuhkan perekonomian mereka. Di antaranya, pada 1922 terjadi pemogokan pegawai pegadaian. Kemudian pada 1923 terjadi pemogokan buruh kereta api. Puncaknya, pada 1926 PKI kembali memberontak kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tanpa ampun, kali ini pihak kolonial menumpas pemberontakan ini dengan tindakan refresif. Mereka menangkapi kaum pemberontak  dan menginternir mereka ke Boeven Digoel, Papua. Namun, bukan hanya aktivis komunis yang dibuang sebagai Digoelist. Semua aktivis pergerakan digaruk habis, terutama para aktivis pergerakan Islam yang dinilai kolonial jauh lebih berbahaya daripada PKI pemberontak tersebut!

Selama menjalani pembuangan tersebut, kaum komunis sering berpolemik dengan para aktivis Islam yang sama-sama jadi interniran Digoelist. Mereka menyerang ajaran Islam yang mereka anggap tidak relevan dengan perjuangan kemerdekaan, menyia-nyiakan waktu dengan ritual yang unfaedah bagi revolusi. Mereka bahkan menyerang ibadah haji ke Tanah Suci sebagai pemborosan dan justru memperkaya para penguasa feodalis di Arabia.

Bahkan sebenarnya, serangan kaum komunis anti Islam itu berlangsung sejak awal terbentuknya ISDV. Mereka sering menggugat para aktivis SI yang bersimpati dengan Khilafah Utsmaniyah, kerap bersilaturahmi dengan Konsulat Utsmani di Batavia, bahkan mengusung Pan Islamisme Utsmani sejak 1916. Sikap PKI seperti itu sejalan dengan kebijakan Komintern yang mengutuk Pan Islamisme di dunia internasional. Mereka menolak doctrine agama (terutama syariah Islam) dalam aktualisasi kehidupan. Bagi para pemuja Marxisme-Leninisme ini, ajaran agama adalah candu kehidupan. Mereka menganggap bahwa agama (terutama Islam) bisa memabukkan pemeluknya hingga diam tak bergerak dalam revolusi, terpedaya dalam gurita Kapitalisme. Agama mutlak harus dihancurkan dan ditiadakan. Oleh karena itu, sungguh pantas Joseph Stalin sempat menghardik Tan Malaka saat kader Sneevliet dari ranah Minang itu mengapresiasi semangat Pan Islamisme dalam pidatonya di sidang umum Komintern di Moskwa, November 1922. Bagi Stalin dan Komintern, siapapun yang mengusung Pan Islamisme dianggap sebagai antek Turki atau budak Ottoman.

Pelecehan, penghinaan ataupun perundungan terhadap ajaran Islam dan para pemeluknya semakin menggila sejak PKI mendapat karpet merah dilibatkan aktif ikut membentuk kabinet pemerintahan Nasakom dengan guided democraty 1960-1965 Orde Lama-nya Bung Karno. Islam semakin disudutkan. Ajarannya distigmatisasi. Tokoh-tokohnya dikriminalisasi. Kelompok organisasi dan partai politiknya dibekukan dan dibubarkan. Bahkan para ulama dan aktivis Islam pun dijuluki sebagai kaum reaksioner, intoleran dan anti-revolusi. Ajaran Islam dilecehkan dengan ungkapan Islam Sontoloyo dan Ijo loyo-loyo. SubhaanalLaah

 

Serangan PKI Terhadap Tokoh-Tokoh Politik Islam

Fakta yang nyaris tak pernah diungkap ke atas panggung sejarah bangsa ini adalah tipudaya kaum komunis saat pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka sedari awal memang memilih politik non kolaboratif saat menghadapi pendudukan balatentara Nippon dai Nihon di negeri ini dengan alasan bahwa Komunisme berseberangan ekstrem dengan Fasisme Chauvinisme Jepang. Namun, fakta historis membuktikan, saat Nippon tiba, mereka malah kabur ke Aussie bersama serdadu Belanda. Mereka yang tidak sempat melarikan diri, orang-orang PKI itu, bergerak di bawah tanah!

Tibalah saat Nippon memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari kepada bangsa Indonesia. Nippon pun mengizinkan para aktivis pergerakan untuk membentuk Dzukuritsu Zyunbi Tzocakai dan Dzukuritsu Zyunbi Inkai serta menghasilkan konstitusi dan naskah proklamasi pada 22 Juni 1945 dengan nama Piagam Djakarta. Namun, para pengusung Komunisme itu tetap menolak apapun hasil dari Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan tersebut, termasuk rencana Nippon untuk menyerahkan kuasa kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945. PKI menolak keras apapun yang difasilitasi dan dijanjikan pemerintahan pendudukan Nippon tersebut.

Oleh karena itu, saat orang-orang komunis mengetahui kabar Nippon menyerah kepada pihak Sekutu sejak jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, mereka segera mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan tanpa skenario Nippon. Melalui para pemuda kiri, seperti Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh, mereka menculik Soekarno-Hatta ke Rengas Dengklok untuk menegoisasikan ulang konstitusi dan naskah proklamasi kemerdekaan, PKI khawatir dengan klausul “negara berdasarkan atas dasar ketoehanan dengan kewadjiban mendjalankan Sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja”.

Lobi, diplomasi dan negoisasi itu pun ditindaklanjuti dengan pertemuan mendadak berikutnya di rumah dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda. Tiga perwakilan Nasionalis Sekuler; Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo menyusun naskah proklamasi baru dan mengabaikan naskah proklamasi otentik Piagam Djakarta yang susah payah dirumuskan dan dikompromikan antara aktivis Islam dan Nasionalis Sekuler sejak pembentukan Panitia Sembilan pada 1 Juni 1945. Para pemuda komunis itu memaksakan kehendaknya kepada para aktivis Nasionalis Sekuler itu karena dinilai lebih aspiratif dan apresiatif jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh Islam di Panitia Sembilan yang dinilai konservatif dan tidak akomodatif.

Bukan hanya itu, para pemuda kiri juga berani menipu dan memperdaya Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, hanya beberapa jam setelah proklamasi kemerdekaan. Mereka diutus oleh Sam Ratulangi, Johannes Lattuharhary dan I Ketut Pudja yang tetap merasa khawatir jika Toedjoeh Kata dalam Piagam Djakarta 22 Juni 1945 akan ditetapkan sebagai konstitusi negara proklamasi dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (Dzukuritsu Zyunbi Inkaii) pada esok paginya, 18 Agustus 1945. Para pemuda aktivis kiri, yang dikenal sebagai Mahasiswa Prapatan 10 itu, mengaku-aku sebagai Opsir Kaigun Nippon yang mewakili Indonesia Timur di hadapan Hatta. Sang Proklamator pun membenarkan begitu saja tanpa mau repot melakukan klarifikasi. Akhirnya, Toedjoeh Kata itu pun dihapuskan saat Pantja-Sila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai konstitusi negara.

Simbiosis mutualism kaum nasionalis sekuler, non-Muslim dan orang-orang komunis untuk menghapuskan Syariat Islam pun berjalan sempurna. Tidak hanya konstitusi yang disekularisasi. Para aktivis Islam dan tokoh umat yang memperjungkan Islam dan syariahnya kerap dijuluki sebagai mabok agama, fanatik buta, penghamba ajaran dan peradaban onta. Bahkan hanya untuk mengembalikan Toedjoeh Kata Piagam Djakarta ke dalam konstitusi saat berlangsung sidang Konstituante 1957 saja, para aktivis Islam dijuluki kadrun anti-Pancasila oleh D.N. Aidit, ketua CC PKI.

Pada saat tokoh umat dan kaum Muslim teralienasi oleh kediktatoran demokrasi terpimpin Nasakom, di antara tokoh Islam, seperti Buya Natsir dan Syafruddin Prawiranegara bergabung ke dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi sebagai bentuk antithesis terhadap pemerintahan pusat di Jakarta yng terkooptasi oleh kepentingan PKI. Imbasnya, PKI mem-bully Natsir dan partainya, Masyumi, sebagai antek nekolim, kontra revolusi dan anti Nasakom yang di-simplicity sebagai anti-Pancasila dan anti-Soekarnoisme. PKI menuntut rezim Orde Lama agar segera menangkapi Buya Natsir dan para pengikutnya, sekaligus membubarkan Partai Masyumi. Para aktivis Islam pun dijeruji besi tanpa sidang pengadilan. Mereka dituduh makar, memberontak dan anti-pemerintah.

Serangan PKI tidak hanya kepada tokoh-tokoh politik Islam, namun juga kepada lawan-lawan kepentingan ideologisnya. Di antaranya saat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra)—badan underbouw PKI yang bergerak dalam dunia seni, sastra dan budaya—menyerang dan mengganyang para seniman, sastrawan dan budayawan yang tidak sekubu dengan Lekra PKI. Orang-orang komunis itu menyerang para budayawan seperti Taufik Ismail, Mochtar Lubis dan Rendra yang mendirikan Manikebu (Manifestasi Kebudayaan) yang bersikap kritis terhadap kediktatoran Orde Lama. Lekra tidak hanya menyuarakan larangan karya kreatif para aktivis Manikebu, tetapi sampai membreidel hingga membakar hangus buku-bukunya. Para pemuda komunis yang bergabung dalam Pemuda Rakyat pun suka meneror dan mengintimidas tokoh-tokoh Manikebu saat bersua di jalan, bahkan menyeretnya ke hotel prodeo. Mereka mendakwa tokoh Manikebu sebagai antek nekolim dan budaya Barat. Kejahatan yang dilakukan kaum komunis saat itu terekam dengan runut dan runtut di dalam buku Prahara Budaya karya Taufik Ismail.

 

Pembantaian Terhadap Ulama dan Umat Islam

Kejahatan dan kekejian yang dilakukan kaum komunis dan PKI terhadap ulama dan umat Islam sudah bermula sejak awal berdiri Republik ini. Pasca kemerdekaan diproklamasikan, mereka membentuk laskar merah dan laskar hitam dengan maksud menciduk mantan kolaborator Nippon dan memburu para pangreh pengabdi kolonial Belanda. Terbukti dengan kasus tewasnya Si Jalak Harupat, Otto Iskandar Dinata, yang hilang diculik laskar hitam saat perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Demikian pula nasib penyair Amir Hamzah beserta keluarga besarnya dari Kesultanan Siak Sri Inderapura yang dibantai habis kaum komunis di Riau. Begitupun dengan trah Mataram di Kasunanan Surakarta yang diburu orang-orang komunis untuk dibunuh. Bahkan keluarga RA Kartini yang menjadi bupati Tegal pun tak luput diperdaya, dilecehkan dan dipermalukan dengan mengaraknya di jalanan sambil ditelanjangi dan dikarungi goni. PKI menyatakan itu sebagai bentuk penghakiman atas feodalisme Jawa.

Saat terjadi pemberontakan PKI Front Demokratik Rakyat dalam Madiun Affair 1948, Moenawar Moesso dan Amir Sjarifuddin, mereka membantai dan mengusir umat Islam yang ada di Madiun, menyerang dan membakar rumah-rumah penduduk aktivis Masyumi dan Nahdlatul Ulama di Madiun, Magetan, Ponorogo, dan kota-kota disekitarnya. Masjid-masjid dan pondok-pondok pesantren diserang, dijarah dan dibakar. Para kiai dan santri-santrinya yang membela diri dan melawan langsung dihabisi, bahkan dikubur hidup-hidup. Ladang pembantaian seperti di pabrik dan gudang gula di Gorang Gareng, Magetan jadi kolam darah, saksi sejarah kebiadaban PKI terhadap para ulama dan umat Islam

Peristiwa mengenaskan kembali terjadi menjelang kudeta Gestapu Gestok 1965. Aksi-aksi sepihak PKI melalui Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat kerap meneror warga dan menyerang pondok-pondok pesantren ketika mereka menyerobot paksa tanah milik pondok yang mereka juluki sebagai setan-setan desa. Demikian pula para ulama pimpinan pesantren dan tokoh umat yang distigmatisasi sebagai kapbir (kapitalis birokrat). Penjarahan dan pembunuhan banyak terjadi di pelosok negeri.

Kekejian dan kejahatan apa lagi yang harus dinarasikan? Dimana pun mereka berada, kaum merah komunis itu tak peduli jiwa manusia karena yang mereka pedulikan adalah dialektika materialism dan revolusi menuju masyarakat diktator ploretariat. Semoga umat tidak mudah lupa. PKI dan Komunisme adalah bahaya laten bagi Islam dan kaum Muslim dimana pun berada. Ya Allah, saksikanlah.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Salman Iskandar]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × one =

Back to top button