Hiwar

Ust M Ismail Yusanto: Tetap Waspadai Komunisme

Pengantar Redaksi:

Pemerintah belum lama ini mengeluarkan Keppres dan Inpres terkait HAM. Sejumlah pihak mencurigai Keppres dan Inpres tersebut ada kaitannya dengan PKI/Komunisme di Indonesia. Benarkah demikian? Apa sebenarnya inti dari keputusan tersebut? Apa motif dan latar belakangnya? Apa pula target dan tujuannya?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Cendekiawan Muslim Ustadz H.M. Ismail Yusanto. Berikut hasil wawancaranya.

 

Ustadz, Pemerintah mengeluarkan Keppres dan Inpres terkait HAM yang disebut banyak pihak ada kaitannya dengan PKI/Komunisme di Indonesia. Benarkah demikian? Apa sebenarnya inti dari keputusan tersebut?

Betul. Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, juga Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, serta Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang Berat, yang selanjutnya disebut Tim Pemantau PPHAM.

Penerbitan Keppres 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2023 dimaksudkan untuk menginventarisir peristiwa pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Indonesia dan merumuskan upaya penyelesaiannya secara non-yudisial, termasuk di dalamnya upaya pemulihan hak korban dan kompensasinya.

Sampai di sini, sekilas mungkin orang akan menilai semua itu sebagai upaya yang baik dan patut untuk mendapatkan dukungan. Hanya soalnya adalah, apakah rumusan dan pelaksanaannya benar-benar dilakukan secara obyektif, faktual dan proporsional. Faktanya, tidak semua peristiwa pada masa lalu yang dinilai banyak pihak sebagai pelanggaran HAM Berat seperti peristiwa Tanjung Priok 1984,  tewasnya 700 lebih petugas KPPS tahun 2019, dan peristiwa KM-50 tahun 2020, serta Tragedi Poso dan Ambon serta masih banyak lagi lainnya, tidak masuk di dalam daftar. Di urutan nomer 1 justru tercantum pelanggaran HAM Berat antara tahun 1965 – 1966. Jelas menilik tahunnya, ini tak mungkin tidak terkait dengan G30S/PKI.

Benarkah peristiwa tahun itu sebagai pelanggaran berat HAM? Bukankah peristiwa 1965-1966 itu intinya tak lain adalah pemberontakan PKI melalui Gerakan 30 September 1965 atau dikenal dengan G-30-S-PKI? Jika demikian keadaannya, lalu di mana yang dimaksud pelanggaran HAM berat itu?  Siapa korbannya. Siapa pula pelakunya?

 

Lalu apa konsekuensi dari keputusan tersebut?

Peristiwa 1965-1966 dimasukkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat dalam Inpres No 2 Tahun 2023 itu memiliki makna bahwa Pemerintah pada waktu itu (dalam hal ini TNI/ABRI) telah melakukan pelanggaran HAM berat dan korbannya adalah anggota PKI. Siapa lagi yang dimaksud dengan peristiwa 1965 – 1966 jika bukan peristiwa  terkait PKI?

Jelas sekali, ini persoalan besar. Hal ini bertentangan dengan fakta sejarah. Justru PKI-lah yang pada waktu itu secara biadab telah melakukan pembunuhan terhadap 6 Jenderal dan beberapa perwira TNI/ABRI lainnya, sebagai bagian dari pemberontakan (kup) yang mereka lakukan. TNI/ABRI memang kemudian melakukan penumpasan terhadap anggota PKI yang telah memberontak dengan cara begitu rupa. Ini merupakan kewajiban TNI/ABRI sebagai aparat pertahanan dan keamanan demi menyelamatkan negara. Fakta-fakta yang terungkap dalam pengadilan militer atas pejabat dan tokoh yang terkait dengan PKI juga membuktikan hal itu.

Selanjutnya, hal ini membawa konsekuensi, yang melakukan pelanggaran HAM harus dinyatakan bersalah dan korbannya harus mendapatkan rehabilitasi. Di situlah mengapa penyesalan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 atas pelanggaran HAM berat pada masa lalu, termasuk peristiwa tahun 1965 – 1966, dinilai banyak pihak sebagai permintaan maaf pada PKI. Jika para korban akan diberi pemulihan atau rehabilitasi sosial dan ekonomi, maka hal ini dinilai juga merupakan pemberian kompensasi kepada anggota PKI. Meski hal ini tidak disebut secara verbal, makna substansinya ke arah sana.

Jadi sangat wajar jika tindakan Pemerintah ini kemudian mendapat kritikan sangat keras dari banyak pihak sebagai sebuah keputusan irrasional dan ahistoris, dan melanggar undang-undang. Pasalnya, sesuai Tap MPRS /XXV/1966, PKI merupakan partai terlarang. Jika tindakan ini dilanjutkan, akan terjadi pemutarbalikan fakta sejarah yang bukan saja bakal melukai TNI/ABRI, melainkan juga para ulama dan umat Islam serta masyarakat luas mengingat kekejaman dan kebiadaban PKI pada masa lalu.

 

Apa kira-kira latar belakang/motif keputusan tersebut?

Sekilas ini hanya soal hukum dan atau soal kemanusiaan belaka. Namun, jika dikaji dengan benar, patut diduga hal ini tidak sekadar dilatar belakangi oleh persoalan tersebut, tapi lebih oleh persoalan politik, bahkan ideologi.

Secara hukum yang disebut peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, khususnya peristiwa tahun 1965 – 1966, telah dinyatakan oleh Kejaksaan Agung sebagai tidak cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Mengapa terus saja dipersoalkan jika tidak ada motif lain di belakang itu semua?

 

Setiap keputusan biasanya ada rentetan peristiwa yang mendahuluinya. Bagaimana kronologi terkait terbitnya Keppres dan Inpres 12 Pelanggaran HAM, termasuk peristiwa tahun 65-66?

Secara kronologis, putusan ini boleh disebut diawali oleh langkah Komnas HAM ketika pada 20 Juli 2002 menyerahkan berkas perkara pro justicia peristiwa pelanggaran HAM tahun 1965 – 1966 kepada Kejaksaan Agung. Lalu oleh pihak Kejagung pada 25 Oktober tahun yang sama, berkas itu dikembalikan dengan alasan belum cukup bukti memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sepanjang tahun 2002 hingga tahun 2015 ada 7 berkas perkara pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM juga dikembalikan oleh Kejagung dengan alasan serupa.

Mentok dengan pendekatan pro justicia, pada 18 Desember 2018 Komnas HAM meminta Presiden Jokowi untuk membuka penyelesaian non-yudisial atas apa yang disebut oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu. Permintaan ini pada 26 Agustus 2022 dipenuhi Presiden melalui penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, disingkat Tim PPHAM. Dalam Keppres itu, Tim ini disebut bertugas melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komnas HAM sampai dengan tahun 2020, lalu merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya; dan merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Pemulihan yang dimaksud mencakup rehabilitasi fisik, bantuan sosial,  jaminan kesehatan, beasiswa, dan/atau  rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya.

Lalu pada 15 Maret 2023 Presiden menerbitkan Inpres Nomer 22 Tahun 2023, yang isinya perintah Presiden kepada 16 kementerian dan 3 lembaga untuk melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM itu, yang intinya memulihkan hak korban dan mencegah agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Kontroversi penerbitan Keppres dan Inpres ini dibumbui oleh sejumlah drama. Di antarnya, pada 27 September 2021 terjadi pembongkaran patung AH Nasution, Soeharto dan Sarwo Edhi di Markas Kostrad. Lalu pada 24 Februari 2022 terbit Keppres Nomer 2 Tahun 2022 yang menetapkan 1 Maret 1949 sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Sebelumnya, tanggal itu disebut sebagai Serangan Umum 1 Maret dengan tokoh sentral Soeharto. Dalam Keppres itu, nama Soeharto tidak disebut sama sekali.  Semua ini memberi kesan kuat, bahwa rezim sekarang hendak menghilangkan andil AH Nasution, Soeharto dan Sarwo Edhi dalam sejarah Kostrad yang memang ketika itu berperan besar dalam penumpasan G30SPKI. Soeharto juga  disisihkan dalam sejarah 1 Maret 1949.

 

Atas keputusan tersebut direkomendasikan untuk mengambil langkah-langkah. Salah satunya pengakuan penyesalan pelanggaran HAM. Bagaimana menurut Ustadz?

Rekomendasi itu sudah dilakukan oleh Presiden Jokowi.  Pada 11 Januari 2023 Presiden menerima laporan TPP HAM. Presiden telah menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat pada masa lalu itu. Sejauh penyesalan terhadap 11 pelanggaran HAM berat yang disebut oleh TPP HAM, di antaranya Kasus Penembakan Misterius (Petrus), Kasus Talangsari, Lampung, Peristiwa Rumoh Geudong, Aceh, Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2, Pembunuhan Dukun Santet, dan lainnya tentu tak masalah. Namun,  dengan penyesalan itu, berarti Presiden menyesalkan juga peristiwa yang terjadi pada tahun 1965 – 1966, yang dalam daftar pelanggaran HAM berat masa lalu versi TPP HAM ada di nomer 1.

 

Termasuk juga rekomendasi penyusunan ulang sejarah. Apa konsekuensinya?

Ya. Rekomendasi ini  jelas memantik kontroversi. Kita memang memerlukan penulisan sejarah yang benar dan yang obyektif. Faktanya memang banyak penulisan sejarah pada masa lalu yang mengandung nuansa pengaburan bahkan penguburan sejarah, seperti tidak ditulisnya Resolusi Jihad, juga pengaburan peran Sarikat Islam dalam kebangkitan nasional dan peran KH Ahmad Dahlan serta Muhammadiyah dalam merintis pendidikan modern di Indonesia. Nah,  dalam konteks sejarah peristiwa 1965 – 1966, ada asumsi yang sudah ditetapkan lebih dulu, bahwa ada pelanggaran HAM berat di sana. Soalnya, jika benar ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa itu, lalu siapa yang layak disebut pelaku dan siapa pula korbannya?

 

Selain itu, rekomendasinya juga memulihkan hak-hak korban. Bagaimana menurut Ustadz?

Dalam Keppres Nomor 17 Tahun 2022 memang direkomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya mencakup rehabilitasi fisik, bantuan sosial,  jaminan kesehatan dan beasiswa. Sampai di sini, seolah tak ada masalah. Padahal, menyangkut peristiwa 1965 – 1966, ada dua persoalannya penting: Pertama seperti sudah disebut tadi, siapa yang dimaksud sebagai korban dan siapa yang dimaksud sebagai pelaku? Jika yang dimaksud korban adalah PKI dan pelakunya adalah TNI/ABRI tentu jadi masalah besar. Kedua, apa yang dimaksud dengan kata-kata ‘dan/atau  rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya’. Kalimat ini membuka 1001 macam kemungkinan langkah, di antaranya pemulihan hak politik. Jika benar, ini tentu mengundang masalah besar, karena berarti memungkinkan PKI hidup lagi secara politik.

 

Siapa atau kelompok mana yang diuntungkan dengan keputusan ini?

Tak lain tentu saja kelompok sekuler-sosialis-komunis, termasuk di dalammya kelompok yang amat membenci Islam. Mereka tahu, Islamlah yang selama ini menghalangi terwujudnya cita-cita mereka: Masyarakat Komunisme. Kelompok ini diduga keras ada di dalam kekuasaan rezim saat ini, Ini bisa dilihat dari cepatnya mereka mengambil langkah terkait soal ini. Beberapa bulan setelah Presiden Jokowi dilantik pada Oktober 2014, persisnya pada 17 Juni 2015, beberapa orang mengajukan uji materi  UU 26 Tahun 2000, menyangkut frasa kurang lengkap. Frasa inilah yang selama ini dituding sebagai biang dari dikembalikan selalu oleh Kejagung berkas pro justisia peristiwa pelanggaran berat HAM. Jika ditilik, semua langkah non-yudisial itu dilakukan pada tahun segar, yakni tahun 2022 dan 2023, seolah tak hendak kehilangan momentum kekuasaan yang mereka tahu tak lama bakal berakhir pada 2024

 

Ustadz, bisa dijelaskan bagaimana bahaya PKI bagi negeri ini?

Secara ideologi, PKI pastilah komunis. Dari segi paham, ia pasti akan makin menjauhkan umat dari Islam. Ketika umat jauh dari Islam, maka pasti pula kehidupan pribadi dan keluarga umat Islam juga akan jauh dari Islam. Kehidupan masyarakat dan negara juga akan diatur dengan sistem Sosialisme-komunisme. Hasilnya, pastilah kekacauan dan penderitaan seperti yang saat ini dialami oleh negara komunis seperti Kuba dan Korea Utara.

Secara politik, sebagaimana terjadi di banyak negara, kekuatan politik komunis amatlah kejam. Sejarah negeri ini telah membuktikan hal itu. Ribuan orang dibantai oleh mereka.

Lebih jauh harus diwaspadai kemungkinan  Indonesia menjadi negara komunis, sesuai dengan Road Map 50 Tahun China Raya tahun 1980 yang lalu. Cina boleh jadi akan melakukan soft invantion melalui program BRI (Belt Road and Initiative) ke beberapa negara, termasuk Indonesia. Menurut rancangan itu, ditargetkan tahun 2030 Indonesia akan sudah menjadi negara protektorat Cina, bahkan menjadi Indocina yang berhaluan komunis.

 

Apa yang harus dilakukan oleh Umat Islam terkait keluarnya Keppres dan Inpres terkait pelanggaran HAM ini?

Sejauh menyangkut peristiwa yang disebut dari nomer 2 hingga nomer 12 dalam daftar pelanggaran HAM berat masa lalu, kita tentu tak masalah. Bahkan mestinya masuk juga peristiwa Tanjung Priok, Poso, Ambon, KM 50, tragedi KPPS dan lainnya. Namun, menyangkut peristiwa 1965 – 1966 yang disebut di nomer 1 dalam daftar itu, umat Islam harus ekstra waspada. Jangan sampai langkah ini menjadi pintu berkembangnya kembali Komunisme di Indonesia, baik dalam wujud kembalinya PKI maupun dalam bentuk lain.

Namun demikian, jangan sampai juga gegara isu ini umat tersimpangkan perhatiannya terhadap bahaya sekularisme – kapitalisme – liberalisme yang hari ini nyata-nyata tengah mencengkeram negeri ini. Jangan sampai umat memandang seolah bahaya itu hanya ada dalam ideologi sosialisme – komunisme dengan segala wajah dan bentuknya, sedangkan kapitalisme – liberalisme tidak.

Bagaimana caranya agar umat bisa memiliki dobel kesadaran semacam itu? Jika, dan hanya jika umat memiliki kesadaran politik Islam. Ketika umat menjadikan Islam sebagai satu-satunya landasan dalam berpikir dan bertindak, dari situ umat akan tahu, bahwa apapun selain Islam tak layak diikuti dan harus diwaspadai karena pasti akan membawa kemudharatan. Al-Quran menyebutnya  sebagai sesat (dhillu) dan celaka (yasqaa). Di situlah pentingnya melalui dakwah ditanamkan pemahaman Islam yang benar ke dalam diri umat. []

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 10 =

Back to top button