Siyasah Dakwah

Kebijakan Agraria Era Nabi saw dan Khulafaur Rasyidin

Kebijakan Pertanahan Era Nabi saw.

Tanah-tanah yang sudah dikuasai dan dimiliki seseorang tidak bisa berpindah kepemilikan kecuali dengan sebab-sebab syar’iy, seperti jual-beli, waris, atau hibah. Ketetapan Nabi saw. dalam masalah ini terdokumentasi di dalam kitab-kitab hadis maupun fikih.

Kebijakan pertanahan di era Nabi saw. dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, tanah, seperti halnya kepemilikan atas harta-harta lain, wajib dilindungi sebagaimana darah dan kehormatan. Nabi saw. bersabda:

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُه وَمَالُهُ وَعِرْضُه

Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram (terpelihara), darahnya, hartanya dan kehormatannya (HR Muslim).

 

Kedua, siapa saja, termasuk di dalam

nya negara,  dilarang mengambil tanah milik orang lain dengan cara zalim. Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ ظَلَمَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَه مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Siapa saja yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, nanti akan dikalungi tujuh lapis bumi (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Ketiga, tanah mati, yakni tanah yang tidak dimiliki dan dimanfaatkan oleh seorang pun, bisa dimiliki dengan cara ihyaa‘ al-mawaat (menghidupkan tanah mati) dan tahjir (memagari tanah). Nabi saw. bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضاً مَيْتَة فَهِيَ لَه

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya (HR at-Tirmidzi).

 

Nabi saw. bersabda:

مَنْ عَمَّرَ أَرْضاً لَيْسَتْ لِأَحَد فَهُوَ أَحَقُّ بها قَالَ عُرْوَةُ :وَقَضَى بِهِ عُمَرُ فِي خِلَافَتِهِ

“Siapa saja yang memakmurkan (menghidupkan) tanah yang tidak dimiliki seorang pun, ia yang lebih berhak atas tanah itu.” ‘Urwah berkata, “Umar bin al-Khaththab ra. menetapkan dengan ketentuan ini pada masa Kekhilafahannya.”

 

Nabi saw. bersabda:

مَنْ اَحَاطَ حَائِطًا عَلَى اْلأَرْضِ فَهِيَ لَه

Siapa saja yang membuat batas di atas suatu tanah, tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad dan Abu Dawud).

 

Nabi saw. pun bersabda:

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

Siapa saja yang sampai lebih dulu pada suatu (tempat di atas tanah) yang belum ada seorang Muslim pun yang mendahuluinya, maka ia lebih berhak atas tanah itu (HR Abu Dawud).

 

Keempat, tanah yang ada bekas-bekas kepemilikan, namun pemiliknya sudah tidak diketahui, maka tanah seperti ini bisa dimiliki dengan ihyaa‘ (menghidupkan tanah mati).  Sabda Nabi saw.:

عَادِي اْلأَرْضِ لله،وَلِرَسُوْلِهِ ثُم هِيَ لَكُمْ

Tanah yang tidak lagi bertuan adalah milik Allah dan Rasul-Nya, kemudian tanah tersebut milik kalian (HR Abu ‘Ubaid).

 

‘Aadiy al-ardl  adalah tanah yang dulunya dihuni, lalu penduduknya musnah dan tidak ada satu pun orang yang tersisa.  Nama tanah ini dinisbahkan kepada kaum ‘Aad, yang telah dimusnahkan Allah pada masa dulu. Tanah mereka pun terlantar dan tidak ada lagi yang memiliki. Tanah ini menjadi milik seseorang jika ia hidupkan.

Kelima, tanah ‘usyriyah bisa dimiliki baik tanahnya maupun manfaatnya oleh individu rakyat. Tanah kharajiyyah, tanahnya menjadi milik negara, sementara manfaatnya milik rakyat. Setiap individu rakyat berhak melakukan jual-beli tanah ‘usyriyah, atau  melakukan jual-beli manfaat tanah kharajiyyah sesuai perjanjian yang dibolehkan syariah; juga dapat diwariskan dari para pemiliknya seperti halnya harta-harta lain. Tanah ‘usyriyah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam dan tanah Jazirah Arab. Jika pemiliknya Muslim, ia hanya dikenai ‘usyr.  Jika pemiliknya menjual kepada orang kafir, orang kafir tersebut wajib membayar kharaj, tidak dikenai ‘usyr, janah kharajiyyah adalah tanah yang ditaklukkan dengan peperangan atau perdamaian, kecuali tanah Jazirah Arab. Pemilik tanah kharajiyyah wajib menyerahkan kharaj dan tidak dikenai ‘usyr, jika pemiliknya non Muslim.  Jika pemilik tanah kharajiyyah masuk Islam, atau menjual tanah tersebut kepada Muslim, pemiliknya wajib mengeluarkan kharaj dan ‘usyr.

Keenam, lahan pertanian wajib digarap dan jika pemiliknya tidak sanggup, hendaknya dia berikan kepada saudaranya.  Jika tidak dilakukan, lahannya disita oleh negara. Kebijakan ini ditetapkan Nabi saw. dalam sabdanya:

مَنْ كَانَتْ لَه أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا فَإِنْ لَم يَفْعَلْ فَلْيُمْسِكْ أَرْضَه

Siapa saja yang memiliki tanah, garaplah tanah itu, atau ia berikan tanah tersebut kepada orang lain. Jika ia tidak melakukan hal itu, sitalah tanahnya (HR al-Bukhari).

 

Ketujuh, Nabi saw. melarang menyewakan tanah pertanian secara mutlak.  Usaid bin Zhuhair ra. bertutur:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن كراء الأرض قلنا يا رسول الله إذا نكريها بشيء من الحب قال لا قال وكنا نكريها بالتبن فقال لا وكنا نكريها بما على الربيع الساقي قال لا ازرعها أو امنحها أخاك

Rasulullah saw. telah melarang sewa tanah.  Kami bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana jika kami menyewakan tanah dengan sesuatu dari biji-bijian?”.  Nabi saw menjawab, “Jangan!” Kami akan menyewakan tanah dengan jerami.  Nabi saw. menjawab, “Jangan!” Kami akan menyewakan tanah dengan tumbuhan yang tumbuh di saluran air. Nabi saw. menjawab, “Jangan. Garaplah tanah itu atau berikan (tanah itu) kepada  saudaramu.” (HR an-Nasa’i).

 

Kedelapan, tambang-tambang dengan deposit melimpah, seperti gas, batubara, minyak, besi, nikel, tembaga dan lain sebagainya, tidak boleh dikuasakan kepada individu atau sekelompok individu dalam hal kepemilikan atau eksplorasinya.  Negara wajib menguasai dan mengeksplorasi untuk sebesar-besar kepentingan rakyat. Abyadl bin Hammal ra. menyatakan bahwa: ia pernsh mengunjungi Rasulullah saw.. Ia lalu meminta tambang garam kepada beliau. Nabi saw. memberikan (tambang garam itu) kepada dia.  Ketika ia telah pergi, ada seorang laki-laki yang berada di majelis berkata (kepada beliau), “Tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepada dia?  Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air yang mengalir.”1 Perawi berkata” “lalu Nabi saw. mencabut kembali pemberiannya.” (HR at-Tirmidzi).

Rasulullah saw. juga bersabda:

المسلِمونَ شُركاءُ في ثلاثٍ، في الكَلَإِ، والماءِ، والنَّارِ

Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

 

Kesembilan, negara berwenang meng-himaa’ (proteksi) tanah milik umum untuk kemaslatan kaum Muslim.  Himaa/ artinya adalah tempat yang dikuasai atau dilindungi. Ibnu Umar ra. berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَمَى النَّقِيْعَ لِلْخَيْلِ خَيْلِ الْمُسْلِمِيْنَ

Rasulullah saw. meng-himaa’ daerah Naqi’—suatu  tempat berair yang terletak 20 farsakh dari Kota Madinah—untuk  unta-unta kaum Muslim. 

 

Dengan kata lain, himaa’ adalah tanah larangan, bukan tanah bebas.   Islam datang dan melarang penguasaan harta milik umum oleh individu hingga menghalangi hak orang lain. Makna hadis di atas adalah  tidak seorang pun memiliki hak himaa’ atas sesuatu yang termasuk bagian harta milik umum, selain Allah dan Rasul-Nya. Setelah beliau saw mangkat, yang berhak meng-himaa’ adalah Khalifah.

Kesepuluh, dalam urusan jalan, Rasulullah saw menetapkan 7 dzira’ (3,15 meter) untuk jalan, ketika terjadi persengketaan.

قَضَى النَّبي صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ إِذَا تَشَاجَرُوا فِي الطَّرِيقِ بِسَبْعَةِ أَذْرُعٍ

Nabi saw. menetapkan, jika mereka berselisih dalam urusan jalan, 7 dzira’ (HR al-Bukhari).2.

 

Itulah kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Nabi saw berhubungan dengan tanah.  Persengketaan tanah diselesaikan di dalam majelis peradilan.  Pada era Nabi, pernah ada sengketa kepemilikan tanah antara orang Kindiy dengan Hadlramiy yang beliau selesaikan. Demikian sebagaimana diriwayatkan dari  Wa’il bin Hajar ra. dalam riwayat Imam Muslim.

Dalam kasus penyerobotan tanah, penyerobot wajib mengembalikan kepada pemilik sah.  Nabi saw. bersabda:

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ

Tangan wajib bertanggung jawab atas apa yang ia ambil sampai ia mengembalikannya (HR Ahmad dan Imam yang Empat).

 

Nabi saw. juga mengancam para penyerobot tanah dengan siksa yang sangat berat di akhirat.  Rasulullah saw bersabda:

مَنْ ظَلَمَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Siapa saja yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungi tujuh lapis bumi (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Property yang ada di lahan milik orang lain harus dipindahkan jika pemilik lahan tidak mengijinkan.  Jika menolak bisa dipindahkan secara paksa. Urwah bin az-Zubair ra. berkata: Ada seorang laki-laki dari Sahabat Rasulullah saw. berkata: Ada dua orang berperkara di hadapan Rasulullah saw dalam hal tanah. Salah satu dari dua orang tersebut menanami tanahnya dengan kurma, padahal tanah itu milik orang yang kedua. Rasulullah saw. memutuskan tanah itu menjadi hal pemiliknya, dan memerintahkan pemilik pohon kurma itu untuk memindahkan pohon kurmanya.  Rasulullah saw bersabda:

لَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Tidak ada hal bagi pohon yang zalim (HR Abu Dawud).

 

Maksudnya, orang yang menanam pohon di atas lahan milik orang lain tidak memiliki hak jika pemiliknya tidak mengijinkan.  Pemilik pohon wajib memindahkan pohonnya.

 

Kebijakan Pertanahan Era Khulafaur Rasyidin

Pada era Khulafaur Rasyidin, kebijakan pertanahan mengacu pada kebijakan Nabi saw. yang berhubungan dengan status tanah, kepemilikan, pemanfaatan, dan lain sebagainya.

Di dalam riwayat dituturkan bahwa Abu Bakar ra. meng-himaa’ padang rumput untuk menggembalakan unta-unta zakat dan mempekerjakan maula beliau, Abu Salamah, untuk menjadi pengurusnya.  Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. meng-himaa’ padang rumput pada bagian yang tinggi, dan mempekerjakan Hunaiy, untuk menjadi penjaga dan pengaturnya (Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Al-Amwaal, hlm. 85).

Amir bin Abdullah bin Zubair, dari bapaknya, berkata: Seorang Arab Baduwi pernah mendatangi Khalifah Umar bin Khaththab ra. dan berkata:

 

Wahai Amirul Mukminin, negeri kami adalah negeri yang pada masa Jahiliyah. Kami berperang di atasnya. Kami masuk Islam di atasnya.  Lantas mengapa Anda meng-himaa’-nya? Khalifah Umar pun terketuk hingga membuat dia mendengus dan memelintir kumisnya (Umar, jika ada suatu urusan yang menyusahkan dirinya, memelintir kumisnya dan berdengus).  Tatkala, orang Arab itu menyaksikan reaksi Umar, ia pun menarik kembali hal itu.  ‘Umar pun berkata:

اَلْمَالُ مَالُ اللهِ وَالْعِبَادُ عِبَادُالله، وَالله لَوْلا مَا أُحْمِلُ عَلَيْهِ فِي سَبِيْلِ الله مَا حَمَيْتُ شِبْراً مِنَ اْلأَرْضِ فِي شِبْرٍ

Harta itu adalah harta Allah, dan hamba-hamba itu adalah hamba-hamba Allah.  Demi Allah. Andai aku tidak berkewajiban memikul amanah ini di jalan Allah, sungguh aku tidak akan meng-himaa’ tanah sejengkal pun.

 

Khalifah Umar ra. juga membuat kebijakan berupa penyitaan atas tanah garapan yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut atau lebih. Amru bin Syuaib ra. berkata: Rasulullah saw memberi lahan kepada sekelompok orang dari Muzaynah atau Juhainah.  Namun, mereka menelantarkan lahan tersebut.  Lalu datanglah suatu kaum menghidupkan tanah itu. ‘Umar ra. berkata, “Andai tanah itu merupakan pemberian dariku atau dari Abu Bakar, sungguh aku akan mengembalikan tanah itu. Namun, tanah itu pemberian dari Rasulullah saw.”

Abu ‘Ubaid di dalam Kitab Al-Amwaal mengeluarkan riwayat dari Bilal bin al-Harits al-Muzaniy: Rasulullah telah memberinya (Bilal bin Harits al-Muzaniy) sebuah lembah, seluruhnya.  Lalu perawi berkata: Pada masa ‘Umar. ‘Umar berkata kepada Bilal, “Sungguh Rasulullah saw. tidak memberi kamu tanah agar kamu bisa mencegah orang lain (untuk bisa memilikinya). Sungguh beliau memberi kamu tanah semata-mata agar kamu bisa garap.  Karena itu ambillah dari tanah itu sekadar yang sanggup kamu garap dan kembalikanlah sisanya.”

Abu Yusuf mengeluarkan sebuah riwayat di dalam Kitab Al-Kharaaj dari Salim bin ‘Abdillah bahwa Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata di atas mimbar:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَة فَهِيَ، لَه وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْن

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya. Tidak ada hak bagi orang yang memagari (tanah mati) setelah tiga tahun.

 

Atas dasar itulah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra memberikan sejumlah harta dari Baitul Mal kepada para petani di Irak. Tujuannya, untuk membantu mereka dalam menggarap tanah mereka dan menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka tanpa meminta mereka untuk mengembalikannya.  Hal itu tidak diingkari seorang dari Sahabat pun, padahal termasuk perkara yang boleh diingkari.  Dengan demikian, hal itu termasuk Ijmak Sahabat (Muqaddimah al-Dustuur, 2/66).

WalLâhu a’lam bi ash-shawab. [Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

 

Catatan Kaki:

1        Maksudnya, tambang garam tersebut memiliki deposit yang sangat melimpah dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, laksana air yang mengalir.

2        Imam Nawawiy di dalam Kitab Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Jika suatu jalan berada di antara tanah milik suatu kaum yang ingin menghidupkan tanah tersebut, jika mereka bersepakat pada ukuran tertentu untuk akses jalan, maka ukuran itulah yang dipakai.  Adapun jika mereka berselisih pendapat dalam hal ukurannya, maka ukurannya ditetapkan 7 dzira’.   Inilah yang dimaksud hadits ini”.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × four =

Back to top button