Iqtishadiyah

Sumber Penerimaan Negara Islam Tanpa Pajak dan Utang

Negara Islam, atau Khilafah Islam, adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya. Islam sumbernya berasal dari wahyu Allah SWT, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah. Karena itu dalam Negara Islam, seluruh pos pemasukan dan pengeluaran negara pun memiliki landasan yang kuat dari al-Quran dan as-Sunnah; juga Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i.

Secara ringkas, pos pendapatan dalam APBN Negara Islam menurut Zallum (2003) terdiri dari 12 kategori: pendapatan dari harta rampasan perang (anfaal, ghaniimah, fai dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; pungutan dari non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam (jizyah); harta milik umum; harta milik negara; harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (‘usyur); harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara karena diperoleh dengan cara haram; harta rikaz dan tambang; harta yang tidak ada pemiliknya; harta orang-orang murtad; pajak; dan zakat.1

 

Harta Milik Umum

Salah satu potensi pendapatan yang besar ketika Negara Islam tegak di negara-negara Muslim adalah penerimaan dari sektor harta milik umum. Di antaranya sumberdaya alam yang memiliki deposit besar. Di Indonesia, kekayaan alam tersebut antara lain berupa minyak mentah, gas, batubara, nikel, emas, tembaga dan alumunium. Hutan juga dikategorikan sebagai harta milik umum. Hasilnya dapat dimanfaatkan langsung oleh publik. Meski demikian, Negara dapat melakukan proteksi pada kawasan tertentu untuk menjamin kelangsungan pendapatan Negara. Kekayaan ini dikelola oleh Negara untuk kepentingan publik secara langsung.

Harta milik umum dapat memberikan penerimaan besar jika Negara bisa meningkatkan nilai tambah komoditas tersebut secara optimal. Sebagai contoh, minyak mentah dapat meningkat nilainya hingga lebih dari 10-25 kali lipat jika diolah menjadi produk-produk industri petrokimia, seperti polyethylene yang menjadi bahan baku kemasan, botol, pipa dan kabel. Bijih nikel (0,9-1,8%) seharga USD 30,5 per ton, jika diolah menjadi High-Purity Nickel (99,9) seharga USD 24,293, dapat meningkatkan nilainya menjadi 796 kali lipat.2

Lalu seberapa besar potensi penerimaan sumberdaya alam tersebut? Dalam bentuk komoditas primer, ini dapat dihitung secara sederhana dengan mengetahui produksi masing-masing komoditas, kemudian dikalikan dengan harga internasional, sehingga diperoleh pendapatan. Margin keuntungan (pendapatan dikurangi harga pokok produksi) masing-masing komoditas sumberdaya alam mengacu pada gross profit margin perusahaan-perusahaan utama yang tercatat di bursa efek.3 Untuk penyeragaman, seluruh data mengacu ke tahun 2022.4

Perhitungan ini tidak mengacu pada laba bersih, yang harus dikurangkan dengan beberapa biaya seperti biaya administrasi, biaya kerugian kurs, biaya bunga, dan pajak. Beberapa biaya tersebut, seperti biaya bunga dan pajak tidak berlaku di dalam Negara Islam. Dengan demikian selisih gross profit (laba kotor) dan net profit (laba bersih) akan lebih kecil dibandingkan dengan sistem saat ini.

 

  • Minyak Mentah. Dengan produksi 223,5 juta barel, harga rata-rata USD 97 perbarel, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 183 triliun.
  • Gas Alam (Natural Gas). Dengan produksi 2,5 miliar MMBTU, harga rata-rata USD 6,4 per MMBTU, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 54,1%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 136 triliun.
  • Batubara. Dengan produksi 687 juta ton, harga rata-rata 345 per ton, dan nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 57,4% maka laba yang diperoleh sebesar Rp 2.002 triliun.
  • Emas. Dengan produksi 85 ton, harga rata-rata USD 63,5 juta per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 29 triliun.
  • Tembaga. Dengan produksi 3,3 juta ton, harga rata-rata USD 8.822 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 34,9%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 159 triliun.
  • Nikel. Dengan produksi bijih nikel yang setara dengan 1,8 juta ton nikel, harga rata-rata USD 2.583 per ton, nilai tukar Rp 15.600/USD, serta gross profit margin 26,6%, maka laba yang diperoleh sebesar Rp 189 triliun.
  • Hutan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (2022), luas hutan di Indonesia mencapai 120,26 juta hektar. Hutan itu terdiri dari hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Hutan produksi, yang mencakup Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi Konversi (HPK), mencapai 68,8 juta hektar. Menurut perhitungan Amhar (2010), dengan asumsi luas hutan 100 juta hektar dan untuk menjaga kelestariannya dengan siklus 20 tahun, maka hanya 5% dari tanaman yang dipanen setiap tahunnya. Jika dalam 1 hektar hutan, setidaknya terdapat 400 pohon, artinya hanya 20 pohon per hektar yang ditebang setiap tahunnya. Jika nilai pasar kayu dari pohon berusia 20 tahun adalah Rp 2 juta dan keuntungan bersihnya Rp 1 juta, maka nilai ekonomis dari hutan tersebut adalah 100 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon = Rp 2.000 Triliun. Namun, dengan mempertimbangkan deforestasi dan illegal logging, ia memperkirakan bahwa Rp 1.000 triliun dapat diperoleh setiap tahunnya.5Dengan mempertimbangkan inflasi yang mencapai 41% dalam periode 2010-2022, nilai mutakhirnya sekitar Rp 1.407 triliun.

Pendekatan lain untuk menghitung perkiraan nilai ekonomi hutan produksi (selain hutang lindung dan konservasi) adalah dengan mengasumsikan luas hutan tersebut ditanami  pohon yang dapat memproduksi  bubur kertas (pulp) seperti akasia, mahang, skubung, geronggang, meranti kuning, atau balerangan.6 Akasia, misalnya, dapat menghasilkan 165 m3/ha  pada usia 5,5 tahun.7 Satu ton bubur kertas (pulp) dapat dihasilkan dari 5,2 m3,8 sehingga per hektar dihasilkan 32 ton pulp.  Harga pulp sebesar $610 per ton (2022) dan kurs rupiah 15.600 per dolar AS. Dengan margin gross profit 39,7%,9 maka laba per hektar sekitar Rp 120 juta per hektar. Dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi di atas, pendapatan per lima tahun dari luas hutan produksi adalah sebesar Rp 8.247 triliun atau Rp 1.649 per tahun.

Pendapatan hutan akan lebih besar jika hutan produksi dapat menghasilkan tanaman yang bernilai lebih tinggi dengan siklus masa produksi yang lebih pendek. Sebagai contoh, mengutip keterangan Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kehutanan tahun 2014, bahwa per hektar dapat ditanami seribu pohon jati. Jika per kubik setara dengan tiga pohon jati maka dihasilkan 330 kubik per hektar dalam 10 tahun. Dengan harga Rp 10 juta per meter kubik maka didapatkan sekitar Rp 3,3 miliar.10 Jika menggunakan formula biaya produksi Soeleman et. al (2014), total biaya produksi tanaman jati per hektar dapat mencapai Rp 975 juta (dibulatkan menjadi Rp 1 miliar).1112

Sewa lahan dihitung nol sebab tanah tersebut tanah milik umum yang dikelola Negara. Alhasil, keuntungan setelah 10 tahun adalah sekitar Rp 2,2 miliar per hektar. Jika wilayah yang ditanami hanya 10% dari hutan produksi atau 6,8 juta hektar, maka potensi keuntungan mencapai Rp 15.824 triliun per 10 tahun atau Rp 1.582 triliun per tahun.

Pendapatan itu akan berkelanjutan dan lebih besar jika luas lahan sisanya juga ditanami dengan kombinasi berbagai jenis pohon yang memiliki profit margin yang tinggi. Sebagai contoh, penggunaan bibit jati varietas unggul dengan rekayasa genetika, seperti Jati Platinum yang dikembangkan BRIN, membuat usia panen jati dapat diperpendek menjadi lima tahun dan dengan volume yang lebih besar dan kualitas kayu yang lebih baik. Alhasil, siklus produksi menjadi lebih pendek sehingga pendapatan dapat lebih tinggi.13

Potensi hutan tersebut belum mencakup berbagai manfaat lainnya seperti perdagangan karbon, bahan baku obat, dan bahan baku industri non-kayu lainnya. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK), potensi perdagangan karbon di Indonesia mencapai Rp 350 triliun. Ini diperoleh antara lain dari hutan hujan tropis yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.14

Meskipun demikian, hutan produksi perlu dikelola berdasarkan sistem silvikultur agar pengelolaannya memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang berkelanjutan. Fungsi ekologi tersebut antara lain konservasi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, produksi oksigen, pengaturan siklus air, konservasi tanah, pengaturan iklim, serta penyediaan nilai rekreasi, budaya, serta sumber obat bagi masyarakat. Karena itu pengelolaan hutan produksi, misalnya, perlu mempertimbangkan luas ideal hutan untuk produksi monokultur agar ekosistem hutan tetap terjaga.

  • Kelautan. Dengan luas wilayah Indonesia yang 75% merupakan laut, potensi ekonomi berbasis sektor kelautan (blue economy) sangat besar. Beberapa sumber pendapatan kelautan dan perikanan yang memiliki nilai tambah tinggi, seperti perikanan tangkap, budidaya, pengolahan hasil perikanan, bioteknologi kelautan, serta industri dan jasa maritim. Potensi pendapatan juga diperoleh dari energi dan mineral, pariwisata bahari, transportasi laut, dan coastal forestry. Kepala Bappenas memperkirakan nilai tambah ekonomi berbasis perairan atau ekonomi biru akan mencapai US$ 30 triliun pada 2030. Menurut perhitungan Dahuri (2018) sumber-sumber tersebut dapat menghasilkan pendapatan per tahun sebesar USD 1,33 triliun per tahun.15 Nilai itu setara dengan Rp 20.795 triliun dengan kurs 15.600/USD. Jika 10% dari potensi itu dapat dikelola oleh perusahaan Negara, maka potensi penerimaannya mencapai Rp 2.079 triliun. Jika diasumsikan harga pokok produksi mencapai 50%, maka laba dari sektor kelautan yang masuk ke APBN mencapai sekitar Rp. 1.040 triliun.

 

Yang memiliki potensi penerimaan yang besar adalah harta milik negara. Harta tersebut antara lain tanah yang berupa padang pasir, gunung, tepi laut dan tanah mati yang tidak dimiliki privat. Tanah-tanah tersebut dapat dibagi-bagikan dan dapat pula dieksploitasi dengan memperbaiki kualitas tanahnya lalu menjadikannya produktif, seperti menjadikannya lahan pertanian. Negara juga dapat berpartisipasi dalam menyediakan jasa untuk publik seperti jasa pos dan telekomunikasi, jasa keuangan (seperti penukaran dan transfer uang, dan pencetakan koin emas), jasa transportasi, dan jasa penyewaan tanah dan gedung milik pemerintah. Sebagai perbandingan, pendapatan perbankan yang berasal dari fee based income (seperti jasa transfer, inkaso atau jasa penagihan, kliring, dan safe deposit box) mendekati Rp 250 triliun pada 2022. Jika pangsa pasar perusahaan negara di sektor itu mencapai 40%, maka dari jasa tersebut saja bisa diperoleh sekitar Rp 100 triliun.

Berdasarkan perhitungan atas beberapa sumber penerimaan APBN Negara Islam, maka potensi pendapatan dari delapan harta milik umum (batu bara, minyak mentah, gas, emas, tembaga, nikel, hutan, dan laut) dapat diperoleh laba sebesar Rp 5.510 triliun. Padahal, masih ada 12 sumber pendapatan lain yang juga memiliki potensi penerimaan yang cukup besar.  Namun, perlu dicatat bahwa asumsi tersebut sangat dipengaruhi oleh harga komoditas primer dan nilai tukar yang sangat fluktuatif. Potensi pendapatan akan jauh lebih besar jika nilai tambahnya dapat ditingkatkan melalui pendalaman industri manufaktur domestik untuk mengolah komoditas tersebut.

Hanya dari satu pos pemasukan saja, penerimaan Negara sudah lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan pendapatan APBN Indonesia. Pada tahun 2022, penerimaan APBN mencapai Rp 2.636 triliun, yang 77% diperoleh dari pajak. Pengeluarannya sebesar Rp 3.096 triliun, termasuk pembayaran bunga utang sebesar Rp 386 triliun. Defisit yang berlangsung setiap tahun menyebabkan Indonesia harus menumpuk utang lebih banyak sambil terus membebani perusahaan dan individu dengan pajak.

Alhasil, jika perekonomian Indonesia diatur sesuai dengan syariah Islam, termasuk dalam aspek APBN dan pengelolaan sumberdaya alamnya, maka tidak hanya akan menghentikan kemaksiatan pemerintah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akibat telah melanggar hukum-hukum Islam, namun juga akan membawa kemakmuran bagi rakyat dan kemajuan negara ini.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab.  [Muis]

 

 

Catatan kaki:

1        Zallum, A. Q. (2003). Al-Amwal Fi Daulah al-Khilafah. Beirut: Darul Ummah, hal. 30.

2        Lihat Shanghai Metal Market. https://price.metal.com/Nickel. Diakses  16 Juli 2023

       Gross Profit Margin mengacu pada laporan tahunan perusahaan-perusahaan berikut: batubara (PT Adaro Energy Indonesia Tbk, 2022), minyak mentah dan natural gas (PT Medco Energi Internasional Tbk, 2022), emas dan tembaga (Freeport Mcmoran Copper Gold Inc, 2022), nikel (PT Vale Indonesia Tbk), hutan (PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, 2022).

4        Sumber data:

5        Amhar, F. (2010, April 12). Mencoba Meramu APBN Syariah. https://www.fahmiamhar.com/2010/04/mencoba-meramu-apbn-syariah.html. Diakses  8 Februari 2024

6        Junaedi, A. (2023, May 18). Types of Trees for Pulp and Paper. Forest Digest. https://www.forestdigest.com/detail/2247/pohon-pulp-dan-kertas; “Sinar Mas Forestry Kaji Pengganti Akasia Sebagai Bahan Baku Kertas.” Bisnis.com. (3 Juni 2016.https://ekonomi.bisnis.com/read/20160603/99/554127/sinar-mas-forestry-kaji-pengganti-akasia-sebagai-bahan-baku-kertas.  Diakses 2 Februari  2024

7        Junaedi, A. (2018). Growth performance of three native tree species for pulpwood plantation in drained peatland of Pelalawan District, Riau. Indonesian Journal of Forestry Research, 5(2), 119-132.

8        Akbar, O. T., & Aprianis, Y. (2019). Perbandingan Karakteristik Bahan Baku dan Pulp Krasikarpa (Acacia crassicarpa A. Cunn) Umur 1 sampai 4 Tahun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 37(2), 93-104.

9        PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP.JK). https://finance.yahoo.com/quote/INKP.JK/financials?p=INKP.JK

10      “Mau Tanam Pohon Jati Sendiri, Ini Hitung-hitungannya.” Detikfinance. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2665682/mau-tanam-pohon-jati-sendiri-ini-hitung-hitungannya. Diakses  8 Februari 2024.

11      Soeleman, S., Sa’id, E. G., Daryanto, H. K. S., & Suroso, A. I. (2014). Annual Equivalent Value, Benefit Cost Ratio, and Composite Performance Index as Valuation Appraisal Support of Teakwood Plantation. Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 20(1), 58-65.

12      Biaya tersebut mencakup  penelitian lapangan dan sosialisasi, pembersihan lahan, biaya penanaman, harga bibit, tenaga profesional, petani, sewa lahan, pupuk, biaya panen, dan biaya overhead.

13      “Jati Platinum, Lima Tahun Siap Panen.”Agronet.id.  https://www.agronet.co.id/detail/indeks/info-agro/2938-Jati-Platinum-Lima-Tahun-Siap-Panen. Diakses  8 Februari 2024

14      “Asosiasi: Potensi Ekonomi Karbon di Indonesia Tembus Rp8.488 Triliun”, Bisnis.com. https://market.bisnis.com/read/20231030/94/1709268/asosiasi-potensi-ekonomi-karbon-di-indonesia-tembus-rp8488-triliun.

15      Dahuri, R. (2018, Maret 28). Pembangunan Ekonomi Kelautan untuk Peningkatan Daya Saing dan Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas secara Berkelanjutan Menuju Indonesia yang Maju, Sejahtera, dan Berdaulat. https://sdgcenter.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Prof.-Rokhmin-Dahuri-Pembangunan-Kelautan-Berkelanjutan-Indonesia-Di-Persimpangan-Jalan.pdf. Diakses  8 Februari 2024

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − 5 =

Back to top button