Takrifat

Ibrah Menurut Keumuman Lafal

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ

Lafal umum adalah lafal mufrad atau lafal tunggal yang mencakup semua satuan/unit dalam cakupan maknanya menurut satu makna asal atau satu sisi ketetapannya dan penunjukkannya itu secara mutlak, tanpa batasan, dan secara setara, yakni tidak ada keistimewaan salah satu unit/satuannya atas yang lain.

Lafal umum di dalam nas itu secara umum dinyatakan dalam dua keadaan. Pertama, tidak ada peristiwa atau pertanyaan yang menjadi latar belakang suatu ayat diturunkan atau suatu hadis dinyatakan. Kedua, ada peristiwa atau pertanyaan yang melatarbelakangi suatu ayat diturunkan atau suatu hadis dinyatakan.

Peristiwa atau pertanyaan yang melatarbelakangi suatu ayat al-Quran diturunkan oleh para ulama diistilahkan sebagai sabab an-nuzûl. Adapun peristiwa atau pertanyaan yang melatarbelakangi suatu hadis dinyatakan atau dikeluarkan diistilahkan oleh para ulama sebagai sabab al-wurûd. Lantas bagaimana penerapan lafal umum itu dengan sabab an-nuzûl atau sabab al-wurûd yang khusus itu?

Untuk keadaan pertama, yakni lafal umum dinyatakan di dalam nas tanpa ada peristiwa atau pertanyaan yang menjadi latar belakangnya, maka dalam hal ini lafal umum itu diterapkan menurut keumumannya. Ketentuan ini merupakan perkara yang telah disepakati oleh para ulama. Lafal umum tersebut tidak boleh dibawa pada yang khusus kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Jika tidak ada dalil yang mengkhususkannya, lafal tersebut tetap berlaku menurut keumumannya.

Adapun untuk keadaan kedua, yakni jika peristiwa atau pertanyaan yang melatarbelakangi turunnya atau keluarnya hadis, yakni ada  sabab yang khusus, maka ada perbedaan pendapat di kalangan  para  ulama seputar penerapan lafal umum dalam keadaan ini. Ada dua pendapat: Pertama, bahwa al-‘ibrah bi khushûshi as-sabab, yakni ibrah menurut kekhususan sebab itu, bukan menurut keumumannya. Artinya, kekhususan sebab itu mengkhususkan nas tersebut sehingga hanya berlaku atas peristiwa atau pertanyaan itu secara khusus, dan tidak berlaku untuk yang lain.  Menurut Jamaluddin al-Isnawi di dalam Nihâyah as-Sûl Syarhu Minhaj al-Wusûl (1/219) bahwa ini merupakan pendapat Imam Malik, Abu Tsaur, dan sebagian ulama Syafiiyah, yakni al-Muzani. Ibnu ad-Daqaq, al-Qafal dan lainnya.

Pendapat kedua, bahwa al-‘ibrah itu menurut keumuman lafal, bukan menurut kekhususan sebab (al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûshi as-sabab). Artinya, nas itu mencakup semua unit/satuan yang dicakup oleh kemumuman lafalnya, dan tidak hanya berlaku pada sebabnya, yakni tidak hanya peristiwa atau pertanyaan itu saja yang merupakan salah satu unit atau satuan dari cakupan kemumuman lafalnya. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, al-Amidi, al-Ghazali, ar-Razi  dan jumhur ulama ushul dan fuqaha’.

Pendapat kedua ini yang lebih raajih (kuat). Ada beberapa argumentasi untuk itu. Pertama, dengan memeriksa seksama semua ayat yang turun menjelaskan hukum berbagai peristiwa dan pertanyaan yang ada, kita menemukan bahwa itu dinyatakan menggunakan lafal-lafal umum dan bukan menggunakan lafal khusus. Semua itu tentu memberi faedah, yaitu semuanya diamalkan menurut keumumannya. Jika hukum yang dijelaskan menggunakan lafal umum itu hanya diberlakukan khusus pada peristiwa atau pertanyaan yang menjadi as-sabab untuknya, maka saat hukum itu dinyatakan dengan menggunakan lafal umum maka itu menjadi tidak berfaedah dan sia-sia. Tentu saja Asy-Syâri’ Mahasuci dari yang demikian.

Kedua, hujjah itu adalah dalam lafal Asy-Syâri’. Jika asy-Syâri’ menyatakan hukum menggunakan redaksi umum maka kita menjadikan hukum itu bersifat umum baik hukum itu diturunkan dengan adanya sebab atau tanpa adanya sebab. Jika Asy-Syâri’ menyatakannya dengan menggunakan redaksi khusus maka kita mengkhususkan hukum itu.

Ketiga, Rasul saw. memberlakukan hukum-hukum itu berdasarkan keumumannya dan menerapkannya pada semua peristiwa yang serupa dengan peristiwa yang menjadi sebabnya. Hukum-hukum itu tidak hanya beliau terapkan pada sebabnya saja.

Keempat, para Sahabat radhiyalLâh ‘anhum memberlakukan hukum-hukum yang dinyatakan di dalam nas menggunakan lafal umum menurut keumumannya. Jadi para Sahabat menerapkan hukum-hukum itu pada semua peristiwa yang serupa dengan peristiwa yang menjadi sabab an-nuzûl atau sabab al-wurûd nas itu. Tidak ada seorang pun dari Sahabat yang mengingkari hal itu. Ini menjadi Ijmak Sahabat bahwa hukum yang dinyatakan menggunakan lafal umum dengan latar belakang peristiwa atau pertanyaan khusus maka berlaku menurut keumumannya, dan bukan hanya berlaku khusus atas sebabnya itu saja.

Ayat tentang sanksi pencurian berupa potong tangan diturunkan dengan sebab pencurian ridâ‘ milik Shafwan bin Umayah. Ayat tentang zhihaar diturunkan berkaitan dengan Aws bin ash-Shamit dan istrinya Khawlah binti Tsa’labah atau terkait Salamah bin Shakhr. Ayat tentang li’aan diturunkan berkaitan dengan ‘Uwaimir al-‘Ajlani dengan istrinya atau Hilal bin Umayyah dengan istrinya. Ayat tentang qadzaf diturunkan berkaitan dengan peristiwa Aisyah ra.; dan yang lainnya. Meski semua itu diturunkan dengan sabab khusus, Rasul dan para sahabat menerapkan hukumnya menurut keumuman lafalnya pada semua peristiwa yang serupa dengan sabab an-nuzûl masing-masing. Misalnya, ayat tentang qadzaf diterapkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab terhadap kasus qadzaf oleh Abu Bakrah.

Dengan demikian, lafal umum yang diturunkan dengan sebab khusus diterapkan menurut keumuman lafalnya pada semua peristiwa yang serupa. Hal itu telah ditetapkan dengan as-Sunnah dan Ijmak Sahabat.

Dari semua itu maka dirumuskan kaidah “al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sababi (ibrah itu menurut kemumuman lafal dan tidak menurut kekhususan sebab)”.  Jadi hukum yang dinyatakan menggunakan lafal umum, yang memiliki sebab khusus, maka diterapkan secara umum menurut keumumannya. Artinya, diterapkan pada semua peristiwa atau masalah yang menjadi cakupannya, termasuk pada peristiwa yang menjadi sebabnya.

Contoh penerapan kaedah ini, firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ ١٨٧

Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian. Kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan nafsu kalian. Karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Karena itu, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) waktu malam (QS al-Baqarah [2]: 187).

 

Imam ath-Thabari di dalam Tafsîr ath-Thabarî menyebutkan beberapa riwayat dari beberapa Sahabat, bahwa sebelum turun ayat ini, para Sahabat pada malam Ramadhan, setelah shalat Isya’ atau setelah tidur maka tidak makan, minum dan berhubungan suami-istri hingga waktu Maghrib esoknya. Lalu Umar bin al-Khaththab menggauli istrinya, padahal isterinya telah tidur sebelumnya. Seorang dari Anshar yang dipanggil Abu Shirmah tidur setelah waktu berbuka dan bangun ketika sudah Isya’ lalu dia makan dan minum. Esoknya hal itu diceritakan kepada Rasul saw. lalu turunlah ayat ini.

Jadi ayat ini memiliki sabab khusus. Namun, ayat ini dinyatakan menggunakan lafal umum. Hukum ayat ini berlaku bagi orang yang yakhtanu (tidak mampu menahan nafsu) yang tentang itu turun ayat ini (yani Umar dan Abu Shirmah), juga berlaku untuk yang tidak yakhtanu yakni mampu menahan nafsu.

Contoh lain, Abdullah dari Bani Mudlij bertanya kepada Rasul:

أَفَنَتَوَضَأُ بِمَاءِ الْبَحْرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: هُوَ الطُهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحِلُ مَيْتَتُه

“Apakah kita berwudhu dengan air laut?” Rasululalh saw. bersabda, “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

 

Jawaban Rasul saw ini menggunakan lafal umum. Hukum ini berlaku menurut keumuman-nya. Artinya, ia berlaku untuk Abdullah dan seluruh kaum Muslim; juga berlaku untuk air laut manapun.

Contoh lainnya, Rasulullah saw. melewati kambing milik maula Maimunah yang telah jadi bangkai. Lalu Rasul saw. bersabda:

هَلا أَخَذْتُمْ إِهَابها فَدَبَغْتُمُوْهُ فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ ؟ فَقَالُوا: إِنها مَيْتَةٌ فَقَال: إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

“Tidakkah kalian mengambil kulitnya, lalu kalian samak dan kalian manfaatkan?” Mereka berkata, “Sungguhnya ia bangkai.” Beliau bersabda, “Tidak lain yang diharamkan adalah memakannya.” (HR Muslim, Ibnu Majah dan Abu Dawud).

 

Sabab al-wurûd hadis ini adalah terkait bangkai kambing milik maula Maimaunah. Meski begitu, hadis dan hukum ini berlaku menurut keumumannya. Artinya, kebolehan memanfaatkan kulit bangkai kambing dengan menyamaknya terlebih dahulu itu bukan hanya terhadap kulit bangkai kambing milik maula Maimunah itu, melainkan berlaku untuk kulit bangkai kambing manapun.

Begitulah, ibrah itu menurut keumuman lafal dan tidak menurut kekhususan sebab. Artinya, hukum yang dinyatakan menggunakan lafal umum berlaku atas semua unit yang masuk dalam cakupan maknanya, dan tidak hanya berlaku khusus atas peristiwa atau pertanyaan yang menjadi sebabnya.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen − 8 =

Back to top button