Hadis Pilihan

Kanz al-Maal Haram!

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، أَنَّ رَجُلاً مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ تُوُفِيَّ وَتَرَكَ دِينَارًا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَه: كَيَّةٌ. قَال: ثُمَّ تُوُفِيَّ آخَرُ فَتَرَكَ دِينَارَيْنِ . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَيَّتَانِ.

Dari Abu Umamah al-Bahili bahwa seorang laki-laki dari ahlush-shufah meninggal dan dia meninggalkan uang satu dinar. Lalu Rasulullah saw. bersabda untuknya, “Satu stempel besi panas.” Abu Umamah berkata: Kemudian orang yang lainnya meninggal dan dia meninggalkan dua dinar. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Dua stempel besi panas.” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).

 

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahulLaah di dalam Al-Musnad hadis no. 22172 dan Imam ath-Thabarani rahimahulLaah di dalam Mu’jam al-Kabîr hadis no. 8011.

Hadis ini diriwayatkan dari beberapa orang Sahabat. Di antaranya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Salamah bin al-Akwa’, dan Abu Hurairah. Redaksinya mirip dan tidak ada perbedaan yang signifikan. Hanya saja, tidak semua sanad-nya shahih. Sebagiannya shahih, sebagian lainnya hasan dan ada sebagian lain yang dha’iif.

Dalam salah satu lafal Abu Hurairah ra., beliau menuturkan:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى رَجُلٍ تَرَكَ دِينَارَيْنِ، أَوْ ثَلاَثَةً، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم: كَيَّتَانِ أَوْ ثَلاَثَة

Rasulullah saw. menshalatkan seorang laki-laki yang meninggalkan dua atau tiga dinar. Lalu beliau bersabda, “Dua atau tiga stempel besi panas.” (HR Ahmad hadis no. 9538 dan al-Bazzar no. 3650).

 

Hadis Abu Hurairah ini pemaknaannya dibawa pada hadis yang diriwayatkan oleh Ali, Ibnu Mas’ud dan Abu Umamah. Maknanya, orang yang meninggal itu adalah dari kalangan ahlush-shuffah. Mereka disebut demikian karena mereka tinggal di ash-shufah (serambi) bagian samping Masjid Nabawi yang dinaungi dengan atap. Hal itu karena mereka tidak punya tempat tinggal di Madinah dan mereka hidup dari sedekah dari kaum Muslim.

Pengungkapan sifat orang yang meninggal itu memberikan isyarat bahwa hukum yang dinyatakan dalam hadis tersebut terkait dengan sifat mereka. Sabda Rasul “kayyat[an] (satu stempel besi panas), kayyatân atau kayyatayn (dua stempel besi panas) aw tsalâtsa kayyât (atau tiga stempel besi panas) untuk menyifati harta satu dinar, dua dinar atau tiga dinar yang ditinggalkan oleh ahlush-shufah yang meninggal itu.  Mengapa begitu?

Setidaknya ada dua penafsiran: Pertama, Al-Hafizh al-Mundziri di dalam At-Targhîb wa at-Tarhîb menyebutkan: “Tidak lain karena ia menyimpan (harta tersebut), padahal ia secara lahiriah adalah orang fakir dan bersama-sama orang-orang fakir lainnya sama-sama menerima/mendapatkan sedekah.”

Kedua, Imam al-Baihaqi di dalam Syu’ab al-Îmân pada hadis no. 10026 mengomentari: “Ini karena dia memandang dari dirinya kezuhudan dan kefakiran, apa yang tidak ada. WalLâhu a’lam.”

Imam Ibnu Hibban di dalam Shahîh Ibni Hibbân hadis no. 3265 menyebutkan: Sabda Nabi saw. “kayyatân (dua stempel besi panas) dan tsalâtsa kayyât (tiga stempel besi panas), yang beliau inginkan dengan itu bahwa orang yang meninggal itu meminta harta kepada orang secara terus-menerus dan mengambil banyak.”

Sabda Rasul saw. “kayyatan (satu stempel besi panas)”, “kayyatân atau kayyatayn (dua stempel besi panas)” atau “tsalâtsa kayyât (tiga stempel besi panas)’ itu menunjuk pada firman Allah SWT:

يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ  ٣٥

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahanam. Lalu distempel dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri. Karena itu rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.” (QS at-Taubah [9]: 35).

 

Hal itu menunjukkan bahwa satu, dua atau tiga dinar yang disimpan oleh orang yang meninggal dari kalangan Ahlush-Shuffah itu merupakan kanz al-maal (penimbunan harta). Hal itu karena hidup mereka setiap hari bergantung pada harta sedekah yang diberikan oleh orang kepada mereka dan mereka mencukupkan diri dengan itu. Untuk tempat tinggal, mereka tinggal di serambi samping Masjid Nabawi yang diberi atap. Jadi mereka tidak memiliki keperluan yang untuk membiayainya perlu dikumpulkan harta lebih dulu.

Dengan demikian harta, yakni uang itu, semata-mata dikumpulkan dan disimpan tanpa ada tujuan untuk membiayai keperluan tertentu di masa datang. Artinya, itu bukanlah iddikhâr (menabung). Sebabnya, menabung itu adalah mengumpulkan dan menyimpan uang dengan maksud untuk membiayai keperluan tertentu di masa datang yang biasanya jumlah uang yang dimiliki saat ini belum cukup untuk keperluan itu sehingga perlu dikumpulkan dulu dengan cara menabung.

Hadis tersebut menegaskan kelirunya pendapat bahwa selama dizakati maka bukan kanz al-maal. Sebabnya jelas: satu, dua atau tiga dinar itu belum wajib dizakati karena tidak mencapai nishaab. Namun, nyatanya Nabi saw. menilai itu sebagai kanz al-maal.

Sekaligus hal itu menegaskan bahwa ayat kanzu al-mâl yakni kanzu adz-dzahab wa al-fidhdhah wa an-nuquud (menimbun emas, perak atau uang) yang diharamkan di dalam QS at-Taubah 34-35 adalah berlaku menurut kemutlakannya dan tidak ada batasan dizakati. Artinya, kanz al-maal (menimbun harta) itu tetap haram secara mutlak, baik dizakati atau tidak dizakati. Dengan kata lain, selama emas, perak atau uang itu dikumpulkan dan disimpan tanpa ada keperluan tertentu yang akan dibiayai maka hukumnya haram. Adapun jika ditabung, yakni dikumpulkan dan disimpan untuk membiayai keperluan tertentu maka hukumnya boleh. Hanya saja, larangan kanz al-maal itu hanya berlaku atas emas, perak, atau dinar dan dirham atau uang. Adapun mengumpulkan dan menyimpan harta selainnya semisal properti, batu mulia, dan lainnya maka tidak dinilai sebagia kanz al-mâl. Jika yang dikumpulkan dan ditahan itu berupa barang dagangan agar hilang atau minim di pasar sehingga harganya naik bahkan melonjak baru akan dijual maka itu termasuk ihtikâr (penimbunan) yang juga diharamkan.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 4 =

Check Also
Close
Back to top button