Kontradiksi Antar Sabda dan Perbuatan Nabi SAW
اَلتَّعَارُضُ بَيْنَ قَوْلِ النَبِي ﷺ وَفِعْلِهِ
At-Ta’ârudh (kontradiksi) terjadi jika ada dua hal (saling berhadapan atau bertentangan dalam bentuk yang satu menghalangi atau menafikan yang lain. Tidak tergambarkan terjadi kontradiksi antara sabda Nabi saw. dan perbuatan beliau kecuali dalam satu kondisi saja, yaitu an-naskhu (penghapusan).
Bisa saja awalnya tampak ada kontradiksi dalam sebagian sabda Nabi saw. dengan perbuatan beliau. Namun, ketika didalami tampak bahwa masing-masing memiliki kondisi atau penunjukkan yang berbeda sehingga sebenarnya tidak ada kontradiksi dan mungkin untuk dikompromikan.
Jika terjadi kontradiksi antara sabda Nabi saw. dan perbuatan beliau maka ada tiga keadaan: (1) Sabda Nabi saw. lebih dulu dari perbuatan beliau; (2) Sabda beliau lebih akhir dari perbuatan beliau; (3) Tidak diketahui mana yang lebih dulu, sabda beliau ataukah perbuatan beliau (Lihat: Abu al-Husain al-Bashri, Al-Mu’tamad, I/390; Al-Amidi, Al-Ihkâm al-Amidi, II/97; Al-Isnawi, Syarh al-Isnâwi, II/252; Tajuddin as-Subki, Al-Ibhâj, II/178; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 24; Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/105; dll).
Keadaan Pertama: sabda Nabi saw. lebih dulu. Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqhi al-Islâmi (I/483) menjelaskan, bahwa Nabi saw. melakukan perbuatan dan terdapat dalil bahwa wajib bagi kita mengikuti perbuatan beliau tersebut, artinya tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk Nabi saw, maka perbuatan itu menjadi nâsikh (penghapus) sabda Nabi saw. yang lebih dulu yang menyalahi perbuatan beliau, baik sabda beliau itu bersifat umum (berlaku untuk kita dan beliau) ataupun khusus untuk beliau atau khusus bagi kita. Sabda Nabi saw. yang bersifat umum bagi kita dan beliau, misalnya, jika beliau bersabda, “Puasa hari begini wajib bagi kita.” Namun, beliau sendiri berbuka, yakni tidak berpuasa pada hari itu, sementara ada dalil bahwa kita wajib mengikuti perbuatan Nabi saw. Itu. Jika demikian maka perbuatan itu me-naskh sabda beliau yang lebih dulu itu.
Contoh lain: Sabda Nabi saw. itu bersifat khusus untuk beliau, lalu beliau melakukan perbuatan yang menyalahi sabda beliau itu. Jika demikian maka perbuatan itu me-naskh sabda beliau sebelumnya. Hanya saja, karena semuanya itu bersifat khusus untuk beliau, hal itu tidak berpengaruh bagi umat beliau.
Contoh lainnya lagi: Sabda Nabi saw. yang lebih dulu itu bersifat khusus bagi kita, lalu beliau melakukan perbuatan yang terbukti adanya pengulangan atas perbuatan itu dan wajib diteladani. Jika demikian maka perbuatan beliau itu me-naskh sabda beliau sebelumnya yang bersifat khusus bagi kita. Hal itu karena kita wajib ittiba’ (mengikuti) Nabi saw., termasuk dalam perbuatan beliau.
Keadaan Kedua: Sabda Nabi saw. lebih akhir dari perbuatan beliau dan dalil menunjukkan bahwa kita wajib mengikuti perbuatan beliau itu, sementara tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu khusus untuk beliau. Dalam hal ini diperhatikan, jika dalil tidak menunjukkan kewajiban pengulangan perbuatan itu, maka tidak ada kontradiksi antara sabda Nabi saw. yang lebih akhir dan perbuatan beliau sebelumnya itu. Pasalnya, perbuatan itu hanya sekali dan selesai, tidak dituntut untuk diulangi, sehingga perbuatan itu menjadi tidak ada. Jadi sabda beliau itu tidak kontradiksi dengan perbuatan beliau sebelumnya karena tidak ada tuntutan pengulangan perbuatan itu.
Adapun jika dalil menunjukkan kewajiban pengulangan perbuatan itu bagi beliau dan umat beliau maka di sini ada tiga keadaan: (1) sabda beliau bersifat umum untuk beliau dan kita; (2) sabda beliau bersifat khusus untuk beliau; (3) sabda beliau khusus untuk kita.
Pertama, sabda beliau yang lebih akhir bersifat umum sehingga me-naskh perbuatan beliau sebelumnya. Misal, Nabi saw. berpuasa puasa Asyura (10 Muharram) dan ada dalil atas kewajiban pengulangan perbuatan itu dan perbuatan itu diperintahkan kepada kita. Kemudian beliau bersabda bahwa tidak wajib bagi kita berpuasa Asyura itu.
Kedua, sabda beliau yang lebih akhir itu bersifat khusus untuk beliau. Jika demikian maka sabda beliau itu me-naskh perbuatan beliau sebelumnya, tetapi khusus hanya untuk beliau; tidak me-naskh perbuatan itu bagi kita. Artinya, kita tetap dibebani dengan perbuatan itu sesuai hukumnya.
Ketiga, sabda beliau yang lebih akhir itu bersifat khusus untuk kita. Misal, beliau berpuasa Asyura, lalu belakangan beliau bersabda, “Tidak wajib bagi kalian berpuasa.” Jika demikian maka tidak ada kontradiksi terkait dengan Nabi saw. sehigga beliau tetap dibebani dengannya. Adapun bagi kita maka sabda beliau itu menunjukkan tidak adanya taklif bagi kita atas perbuatan itu. Jika sabda beliau datang sebelum terjadi perbuatan itu dari kita maka sabda beliau itu mengkhususkan yakni menjelaskan tidak adanya kewajiban atas perbuatan itu. Artinya, kita dikecualikan dari perbuatan itu. Jika sabda beliau keluar setelah terjadinya perbuatan itu dari kita maka sabda beliau me-naskh bagi kita perbuatan beliau yang lebih dulu itu.
Keadaan Ketiga: Tidak diketahui mana yang lebih akhir dari sabda Nabi saw. atau perbuatan beliau. Dalam hal ini harus diperhatikan: Jika mungkin untuk mengkompromikan (al-jam’u) di antara keduanya, misalnya melalui pengkhususan (takhshîsh), maka kontradiksi pun hilang.
Jika tidak bisa dikompromikan maka sabda Nabi saw. lebih dikedepankan dari perbuatan beliau. Artinya, yang diambil adalah sabda Nabi saw. dalam hal yang bersifat khusus untuk kita atau yang bersifat umum untuk beliau dan untuk kita. Sabda Nabi saw. itu diambil, sedangkan perbuatan beliau ditinggalkan. Adapun sabda beliau yang khusus untuk beliau maka tidak diambil.
Sabda beliau lebih dikedepankan dari perbuatan beliau karena ucapan itu bersifat independen dalam hal penunjukkan (dalâlah) pada topik masalahnya. Ini berbeda dengan perbuatan. Perbuatan tidak dibuat untuk menunjukkan dalâlah. Jika pun menunjukkan dalâlah maka perbuatan itu tidak lain menunjukkan melalui perantaraan ucapan. Ini seperti perbuatan shalat Nabi saw. yang tidak serta-merta menunjukkan dalâlah tertentu, melainkan menunjukkan bahwa itu merupakan penjelasan karena ada sabda beliau, “Shallû kama ra`aytumûnî ushalli (Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat).”
Di samping itu, ucapan itu lebih umum secara dalâlah (penunjukkan) karena mencakup yang ada maupun yang tidak ada di tempat itu, juga mencakup yang rasional dan yang bisa diindera. Ini berbeda dengan perbuatan yang hanya khusus mencakup yang ada dan bisa diindera. Sabda Nabi saw. lebih dikedepankan dari perbuatan beliau dalam keadaan ini, menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaili, merupakan pendapat jumhur.
Pengkompromian antara sabda Nabi saw. dan perbuatan beliau yang terkesan kontradiksi dan tidak diketahui mana yang lebih ulu banyak contohnya. Di antaranya, dalam hal berwudhu Nabi saw. bersabda:
خُذُوا لِلرَّأْسِ مَاءً جَدِيدًا
Ambillah untuk kepala air yang baru (HR ath-Thabarani).
Namun, Rubayi’ binti Mu’awidz bin ‘Afra’ menuturkan:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ
Nabi saw. mengusap kepala beliau dari kelebihan air yang ada di kedua tangan beliau (HR Abu Dawud).
Al-Jam’u (kompromi)-nya bahwa keharusan untuk mengusap kepala dengan air yang baru itu berlaku khusus untuk umat beliau. Adapun perbuatan beliau yang mengusap kepala dengan kelebihan air yang ada di kedua tangan beliau dan tidak mengambil air yang baru maka itu berlaku khusus untuk beliau saja.
Contoh lain: Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Qais bin al-Harits bahwa dia masuk Islam dan dia memiliki delapan orang istri. Dia menyebutkan hal itu kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada dia:
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
Pilih empat orang dari mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Ghaylan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan dia punya sepuluh orang istri, lalu Nabi saw bersabda tentang hal yang sama kepada dia.
Di sisi lain, terdapat riwayat sahih semisal riwayat al-Bukhari dan at-Tirmidzi bahwa Nabi saw. memiliki istri sembilan orang di satu waktu. Kompromi keduanya bahwa sabda Nabi saw. tentang kebolehan punya istri maksimal empat orang berlaku untuk umat beliau. Adapun perbuatan beliau yang beristrikan lebih dari empat orang, itu adalah khusus untuk beliau saja.
Contoh lain, Aisyah ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ، ثُمَّ يُصَلِّيَ وَلاَ يَتَوَضَأُ
Nabi saw. mencium sebagian istri beliau, kemudian beliau shalat dan tidak berwudhu (HR an-Nasai).
Hadis semakna juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Perbuatan Nabi saw. ini tampak sekilas kontradiksi dengan QS an-Nisa’ (4): 43 dan hadis “al-qublatu min al-lamasi (ciuman itu termasuk menyentuh)“ yang keduanya menyatakan bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu. Kompromi keduanya bahwa ketentuan menyentuh wanita membatalkan wudhu yang dinyatakan oleh ayat dan hadits qawli itu berlaku khusus untuk kita umat beliau. Adapun perbuatan Nabi saw. yang menujukkan bahwa mencium wanita tidak membatalkan wudhu adalah khusus untuk Nabi saw. saja.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]