Takrifat

Pembatasan al-Muthlaq


تَقْيِيْدُ الْمُطْلَقِ

Pembahasan al-muthlaq wa al-muqayyad memiliki kesamaan dengan pembahasan al-‘umûm wa al-khushûsh. Menurut Imam al-Amidi (w. 631 H) di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm dan asy-Syaukani di dalam Irsyâdu al-Fuhûl, apa yang terjadi atau berlaku pada al-‘umûm wa al-khushûsh juga terjadi atau berlangsung pada al-muthlaq wa al-muqayyad.

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani juga menyatakan di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz 3 pada akhir pembahasan al-­Muthlaq wa al-Muqayyad: “Sesungguhnya apa yang terjadi antara al-‘umûm dan al-khushûsh juga terjadi antara al-muthlaqu dan al-muqayyadu karena keduanya dari satu bab. Jadi al-‘umûm lawannya adalah al-khushûsh dan padanya terjadi pengkhususan (at-takhshîsh). Al-Muthlaq lawannya adalah al-muqayyad dan padanya terjadi pembatasan (at-taqyîd). Al-Kitab dibatasi dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. As-Sunnah dibatasi dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Semua yang terjadi pada al-‘umûm dan al-khushûsh terjadi pada al-muthlaq dan al-muqayyad.”

Al-Muthlaq adalah lafal yang menunjukkan pada madlûl yang tersebar di dalam jenisnya (al-lafzhu ad-dâlu ‘alâ madlûl syây’in fî jinsihi). Pembatasan (at-taqyîd) terhadap lafal al-muthlaq berarti membatasi ketersebaran madlûl-nya di dalam jenisnya itu. Pembatasan itu bisa secara parsial (juz’iyy[an]), yakni dengan membatasi ketersebarannya pada sebagian dari jenisnya saja. Pembatasannya juga bisa secara total (kulliy[an]), yakni dengan membatasi­nya pada satu individu tertentu dari jenisnya itu. Dalam taqyîd al-muthlaq berlaku seperti apa yang berlaku pada takhshîsh al-‘umûm. Artinya, pembatasan lafal mutlak (taqyîd al-muthlaq) bisa terjadi dengan nas yang bersambung atau taqyîd[un] muttashil[un] dan bisa dengan nas yang terpisah atau taqyîd[un] munfashil[un].

 

Taqyîd al-Muthlaq dengan Nas yang Bersambung

Pembatasan yang bersambung sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl adalah disebutkan lafal mutlak dan pembatasannya pada nas yang sama. Ini terjadi dalam keadaan-keadaan seperti dalam pengkhususan (at-takhshîsh), kecuali keadaan pengecualian (al-istitsnâ‘). Kondisi pengecualian ini tidak terjadi pada pembatasan (at-taqyîd) karena pengecualian (al-istitsnâ‘) secara bahasa mengharuskan apa yang dikecualikan adalah lafal umum yang di bawahnya terderivasi individu-individu atau unit-unitnya yang dikecualikan dalam pengkhususan sebagian dari mereka. Adapun kondisi pengkhususan lainnya (dengan sifat, syarat dan tujuan) maka terjadi dalam at-taqyîd. Hanya saja, dalam at-taqyîd itu ditambahkan pembatasan yang tertentu (at-taqyîd al-muta’ayyan), yakni pembatasan total dengan membatasinya pada individu tertentu menggunakan ismu ‘alam atau isyarat penentu (al-isyârah al-muta’ayyinah). Ini tidak terjadi pada pengkhususan umum sebab ini termasuk lafal khusus.

Jadi pembatasan bersambung itu terjadi pada lima keadaan: dengan sifat, syarat, tujuan, ismu ‘alam dan isyarat penentu.

 

  1. Pembatasan dengan sifat (at-taqyîdu bi ash-shiffah).

Sifat yang dimaksudkan di sini bukan hanya na’at secara nahwu, tetapi semua sifat yang menghilangkan sebagian dari ketersebaran madlûl lafal mutlak itu di dalam jenisnya. Sifat di sini mencakup na’at secara nahwu dan apa saja yang pada posisi hukumnya.

Contohnya dalam firman Allah QS al-An’am [6]: 145 tentang sesuatu yang haram disebutkan “dam[an] masfûh[an] (darah yang dialirkan)“. Di sini lafal “dam[an]” merupakan lafal mutlak, dan dibatasi dengan sifat yakni “masfûh[an] (dialirkan).

Di dalam QS al-Mujadilah [58]: 4 tentang kafarah zhihâr disebutkan “fashiyâmu syahrayni mutatâbi’ayn”. Lafal “shiyâmu syahrayn” adalah mutlak dan dibatasi dengan “mutatâbi’ayn (berturut-­turut)“.

Di dalam QS an-Nisa’ [4]: 92 tentang sanksi qatlu al-khatha’, lafal mutlaqraqabah (budak)“ dibatasi dengan sifat “mu’minah (Mukmin)“, lafal “diyyat[un] (diyat)“ dibatasi dengan sifat “musallamat[un] ilâ ahlihâ (diserahkan kepada keluarganya)“, dan lafal “shiyâmu syahrayn (puasa dua bulan)“ dibatasi dengan sifat “mutatâbi’ayn (berturut-turut)“.

 

  1. Pembatasan dengan syarat (at-taqyîd bi asy-syarth).

Di dalam QS al-Ahzab [33]: 50, di antaranya dinyatakan:

﴿… وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ﴾

Perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi, kalau Nabi mau menikahi dirinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang Mukmin. (QS al-Ahzab [33]: 50).

Lafal “imra’at[an]” adalah mutlak. Ia dibatasi dengan dua batasan, yaitu sifat “mu’minat[an] (Mukmin)“ dan dengan syarat “in wahabat nafsaha li an-nabiyyi (jika menyerahkan dirinya kepada Nabi)“.

 

  1. Pembatasan dengan tujuan (at-taqyîd bi al-ghâyah).

Yang dimaksud adalah pembatasan dengan lafal “ilâ atau hattâ”. Contohnya, firman Allah SWT:

﴿سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ﴾

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadar [97]: 5).

Lafal “salâm[un]” adalah mutlak. Ia dibatasi dengan ghâyah, yakni “hattâ mathli’a al-fajri (sampai terbit fajar)“. Artinya, as-salâm (kedamaian/kesejahteraan) itu berlangsung sejak awal malam ketika tenggelam matahari sampai akhirnya ketika terbit fajar.

 

  1. Pembatasan dengan ismu al-‘alam (at-taqyîd bi ismi al-‘alam).

Contohnya firman Allah SWT:

﴿وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ﴾

…dan memberi khabar gembira dengan (kedatangan) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad) (QS ash-Shaff [61]: 6).

Lafal “rasûl[in]” adalah lafal mutlak dan dibatasi dengan isim al-‘alam, yaitu “Ahmadu”.

 

  1. Pembatasan dengan isyarat penentu (at-taqyîd bi al-isyârah al-muta’ayyinah).

Contohnya dalam firman Allah SWT:

﴿هَٰذَا فَوْجٌ مُّقْتَحِمٌ مَّعَكُمْ …﴾

(Dikatakan kepada mereka), “Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)…” (QS Shad [38]: 59).

Lafal “fawj[un] (kelompok)“ adalah mutlak dan dibatasi dengan isyarat penentu, yakni “hadzâ (ini)“.

 

Pembatasan Terpisah (Taqyîd[un] Munfashil[un])

Yang dimaksud adalah pembatasan dengan nas yang lain, baik pembatasannya total atau parsial. Hal itu dalam bentuk: pembatasan al-Kitab dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas; juga pembatasan as-Sunnah dengan al-Kitab, as-Sunnah, Ijmak Shahabat atau Qiyas.

Contoh pembatasan al-Kitab dengan al-Kitab, pembatasan secara total, firman Allah SWT:

﴿… أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ …﴾

…atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat), lalu diwahyukan kepada dia dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki (QS asy-Syura [42]: 51).

 

Lafal “rasûl[an]” bersifat mutlak. Lalu ia dibatasi dengan firman Allah SWT:

﴿قُلْ مَن كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَىٰ قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ …﴾

Katakanlah, “Siapa saja yang menjadi musuh Jibril maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah.” (QS al-Baqarah [2]: 97).

 

Di sini pembatasnya dengan ismu al-‘alam yakni Jibril. Artinya, pembatasannya total dan menentukan bahwa “rasûl” yang menyampaikan wahyu kepada para nabi itu adalah Jibril as.

Contoh lain dalam QS al-Baqarah [2]: 67, Allah memerintahkan kepada Bani Israel untuk menyembelih “baqarat[an] (seekor sapi betina)” secara mutlak. Lalu hal itu dibatasi dengan “lâ fârid[un] wa lâ bikr[un] ‘awân[un] bayna dzâlika (yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu)“ (QS al-Baqarah [2]: 68); juga “shafrâ’[un] fâqi’[un] lawnuhâ tasurru an-nâzhirîn (yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya)“ (QS al-Baqarah [2]: 69); dan “lâ dzalûl[un] tutsîru al-ardha wa lâ tasqî al-hartsa musallamat[un] lâ syiyat[an] fîhâ (yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya) (QS al-Baqarah [2]: 71). Artinya, pembatasannya di situ secara parsial.

Contoh pembatasan al-Kitab dengan as-Sunnah, Allah SWT berfirman:

﴿… فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ …﴾

Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkorban (QS al-Baqarah [2]: 196).

 

Lafal “shiyâm aw shadaqat[in] aw nusuk[in]” bersifat mutlak. Lalu itu dibatasi dengan sabda Rasul saw. kepada Kaab bin ‘Ujrah ketika di Hudaibiyah dan sakit di kepala karena kutu:

«فَاحْلِقْ رَأْسَكَ, وَأَطْعِمْ فَرَقًا بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِينَ, – وَالْفَرَقُ ثَلَاثَةُ آصُعٍ -, أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ, أَوْ انْسُكْ نَسِيكَةً»

Cukurlah kepalamu dan beri makan faraq di antara enam orang miskin (faraq adalah tiga sha’), atau berpuasalah tiga hari, atau sembelihlah seekor kambing” (HR al-Bukhari no. 1817, Muslim no. 1201, Ahmad no. 18117, at-Tirmidzi no. 953, Ibnu Khuzaimah no. 2676 – redaksi Muslim).

 

Contoh pembatasan as-Sunnah dengan as-Sunnah, Abdullah bin Umar menuturkan:

«أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَرَضَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ, أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ المُسْلِمِينَ»

Rasulullah saw. telah memfardhukan zakat al-fithri satu sha’ kurma, atau satu sha’ jelay atas setiap orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan dari kaum Muslim” (HR al-Bukhari no. 1504, Muslim 984, Ahmad no. 5339, at-Tirmidzi no. 676, an-Nasai no. 2503).

 

Kata “shâ’[an] (satu sha’)“ dalam bentuk naakirah, dalam konteks positif, merupakan lafal mutlak. Lalu itu dibatasi dengan Sha’ penduduk Madinah. Abdullah bin Umar menuturkan, Rasul saw. bersabda:

«الْوَزْنُ وَزْنُ أَهْلِ مَكَّةَ, وَالْمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ»

Timbangan adalah timbangan penduduk Mekah dan takaran adalah takaran penduduk Madinah (HR Abu Dawud no. 3340, an-Nasai no. 2520, Ibnu Hibban no. 3283, al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ no. 11159).

 

Jadi takaran Sha’ yang diakui adalah Sha’ penduduk Madinah, yaitu lima sepertiga rithl Baghdad lama. Itulah takaran Sha’ Nabi saw. seperti yang dikatakan oleh Imam Malik dan penduduk Hijaz.

Demikianlah ketentuan dan contoh pembatasan lafal mutlak (taqyîdu al-muthlaq).

 

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 × 1 =

Check Also
Close
Back to top button