
Jaringan Ulama Bogor, Pejuang Islam Sejak Era Utsmaniyah (Abad 19 – 20 M)
Bogor merupakan wilayah Tatar Sunda yang mengalami sejarah panjang. Dikenal sebagai Pakuan yang merupakan pusat Padjadjaran. Dibebaskan oleh Kesultanan Banten pada masa Maulana Yusuf ibn Hasanuddin ibn Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Kemudian kafir penjajah Belanda berkuasa dengan strategi devide et impera, dimulai dari mengambil sebagian Jayakarta, memecah-belah internal Kesultanan Banten, hingga mengalahkan semua bawahan Mataram Islam di Tatar Sunda. Selanjutnya Bogor diserahkan kepada para pejabat pribumi dari trah Priangan Barat.
Gambaran realitas masyarakat Bilad al-Jawi, termasuk Bogor dan sekitarnya, adalah sebagaimana dijelaskan oleh Konsulat Utsmaniyah sebagai berikut:
Laporan Konsul Batavia Ali Galip Bey, 1886 kepada Khalifah Abdul Hamid II
“Sebelum Islam memperoleh kekuatan di sini, orang-orang Eropa mencegah penerapan kewajiban-kewajiban tertentu yang bertentangan dengan kepentingan mereka. Itu sebabnya, menutup aurat wanita yang merupakan kewajiban syariah saat ini tidak lagi dilakukan.”1
Laporan Konsul Batavia Mehmed Kamil Bey, 1897 kepada Turhan Pasya Wazir Luar Negeri
“Di semua provinsi dan kabupaten yang membutuhkan perwakilan khusus pemerintah, pihak berwenang malah menunjuk orang bodoh untuk bertindak sebagai qadhi dan penerjemah.”2
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menetapkan Batavia dan Jawah sebagai Darul Islam pada masanya. Ini karena meskipun dijajah Belanda, tetap saja Batavia dan Tanah Jawah adalah Darul Islam yang dinaungi Khilafah Utsmaniyah:
كل محل قدر مسلم ساكن به على امتناع من الحربيين في زمن من الازمان يصير دار الاسلام تجري عليه احكامه في ذلك الزمان وما بعده وان انقطع امتناع المسلمين باستلاء الكفار عليهم ومنعهم من دخوله واخراجهم منه حينئذ فتسيته دار حرب صورة لا حكما فاعلم ان ارض بتاوي بل وغالب ارض جاوة دار اسلام لاستلاء المسلمين عليها سابقا قبل الكفار
“Setiap tempat yang mampu ditempati kaum Muslim berdasarkan imtinaa’ dari Harbiyyin pada suatu masa maka dia menjadi Dar Islam yang berlaku atas hukum-hukumnya pada masa tersebut dan setelahnya. Jika terputus Imtinaa’ Muslimn dengan Istilaa’ orang-orang kafir atas mereka dan mencegah mereka untuk masuk, keluarnya kaum Muslim darinya pada saat itu maka dinamai tempat itu Dar Harb secara de facto, bukan de jure. Ketahuilah bahwa Tanah Batavia dan umumnya Tanah Jawah adalah Dar Islam karena Istila kaum Muslim atasnya mendahului sebelum orang-orang kafir.”3
Kondisi demikian berbeda saat Bilad al-Jawi di era Kesultanan: Demak Bintara, Pakuwati Cerbon, Banten Surasawan dan Mataram Islam. Selain para Amir/Sultan, keberadaan para qâdhi (penghulu) tersebar di berbagai pelosok dari Cirebonan, Sukapura (Tasikmalaya) hingga Banyumasan dan Surakarta – Yogyakarta. Syaikh Tb. Ahmad Bakri Sempur, ulama trah qâdhi Kesultanan Banten menukilkan penerapan syariah Islam berdasarkan Mazhab Syafii:
دي نكارا جاوا لا ليسوت تنا مذهب شافعي بنغ دجيريكن هنت للامي جبا رامجود جغ بتور … فائغن انو بهلا۲مه مولس رعيتنا شافعية امام۲نا جغ كومفلوت۲نا كذلك …
“Di Nagara Jawa lalesot tina Mazhab Syafii beunang dicirikeun heunteu lalami jaba ramijud jeung batur … Paingan anu baheula-baheula mah mulus rakyatna Syafiiyah, Imam-imam na komplot- komplotna kadzalik (Di negeri Jawa telah melepaskan Mazhab Syafii, dapat terlihat tidak lama dan kacau dibandingkan dengan yang lain … Pantas saja dulu bagus karena rakyatnya Syafiiyah. Demikian pula para imam (pemerintah) dan golongan/pembantunya).”4
Dalam menghadapi berbagai dinamika tersebut, para ulama Bogor tentu tidak berpangku tangan untuk menerima penjajahan begitu saja. Mereka berkhidmat kepada umat saat kafir penjajah Belanda berkuasa, terutama pada abad 19 – 20 M dan masa setelahnya. [Ahmad Abdurrahman al-Khaddami] [Bagian 1]
Catatan kaki:
- Nicko Pandawa, Siyasah Sulthaniyah, 20
- Nicko Pandawa, Siyasah Sulthaniyah, 98
- Abdurrahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 315
- Ahmad as-Samfuri, Cempaka Dilaga, hlm. 19