
Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam (Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Enam)
Tentang Maulânâ Judah, kita belum mendapat riwayat siapa nama aslinya. Namun, sesuai gelarnya, bisa kita pastikan bahwa ia orang Arab yang lahir dan datang dari Jeddah. Ketika Sunan Gunung Jati berhaji, ia menyaksikan Sultan ‘Utsmaniyah Selim I mengalahkan Mamluk pada 1517. Syarîf Makkah yang memimpin seluruh Hijaz termasuk Jeddah saat itu, Syarîf Abû’l-Barakât al-Hasanî, mengirim putranya sebagai utusan ke Selim I. Sang putra yang bernama Syarîf Abû Numayy II membawa kunci Ka’bah sebagai bentuk kesetiaan ayahnya mewakili seluruh penduduk Hijaz kepada ‘Utsmaniyah. Ketika Syarîf Abû’l-Barakât wafat, Syarîf Abû Numayy menggantikannya sebagai wakil ‘Utsmaniyah di Hijaz. Pada 1542, ia pernah memukul mundur Portugis yang mencoba menyerang Jeddah dan bertujuan masuk Madinah untuk mencuri jasad mulia Rasulullah saw.1
Maulânâ Judah yang hidup pada masa itu bisa jadi mengetahui semua peristiwa tersebut. Sebagai warga Syarîf Makkah yang tunduk kepada Khilafah ‘Utsmaniyah, Maulânâ Judah punya alasan untuk ikut berjihad ke Pakuan. Dia tidak bisa menerima eksistensi Pakuan Pajajaran yang beraliansi dengan Portugis, pihak yang pernah menyerang kampung halamannya dan berencana merampok jasad Nabi saw.
Tabel 1. Komparasi jumlah kekuatan Banten dan Pakuan Pajajaran dalam perang sepanjang tahun 1527-1579.
Dikepung dengan jumlah pasukan Islam sebesar itu, Surawisesa terpaksa berperang sendiri melawan mereka. Diukur dari jumlah pasukan Pajajaran yang mencapai angka 100.000, sebenarnya Surawisesa masih menang jumlah. Namun, Barros, administrator Portugis di Malaka yang mengamati situasi Pajajaran mengungkapkan: “Karena peperangan yang dilakukan orang-orang Moor, jumlah-jumlah itu semua sangat berkurang” (agora por a guerra que lhe fizerão o Mouros está tudo muito deminuido).7
Carita Parahiyangan memberitakan bahwa selama masa pemerintahannya yang 14 tahun itu (1521-1535), Surawisesa berperang 15 kali dengan tangguh tanpa mengalami kekalahan. Peperangan melawan pasukan Banten tidak hanya terjadi di Pakuan dan sekitarnya; tapi melebar ke Sunda Kalapa, Tanjung, Ancolkiji, Wahanten Girang, Simpang, Gunungbatu, Saungagung, Rumbut, Gunung, Gunungbanjar, Padang, Panggaokan, Muntur, Pagerwesi, dan Medangkahiangan. Ketangguhannya membuat Pajajaran dapat bertahan sampai Surawisesa meninggal.8
Anak Surawisesa, Ratu Dewata (1535-1543), masih menghadapi keuletan pasukan Islam yang terus berupaya mem-futûhât Pakuan. Namun penulis Carita Parahiyangan menyayangkan, bahwa Ratu Dewata malah “bertindak sebagai rajaresi (raja pendeta), selalu bertapa dan hanya minum susu” (lumaku rajaresi, tapa pwah susu). Sikapnya yang tidak mempedulikan rakyat itu menjadi celah kaum Muslim untuk menyerbu Pakuan hingga pertempuran sempat terjadi di alun-alun depan benteng Pakuan yang lokasinya sekarang ada di Alun-Alun Empang, Kota Bogor. Meski begitu, Pakuan dapat bertahan karena Ratu Dewata masih memiliki para perwira tua yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Namun tetap saja kelalaiannya menagih harga mahal dengan tewasnya Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet, dua punggawa Pajajaran yang utama.9
Pada masa Raja Pajajaran berikutnya, Ratu Sakti (1543-1551), Carita Parahiyangan tidak melaporkan terjadinya perang sama sekali. Kala itu, tentara Islam di Banten, Jayakarta, dan Cirebon masih tunduk ke Kesultanan Demak. Pada tahun 1546, fokus mereka untuk mem-futûhât Pakuan terdistraksi dengan perintah Sultan Trenggana Demak yang menetapkan ekspedisi besar-besaran untuk mem-futûhât Pasuruan, ujung timur Jawa, yang masih di bawah kuasa kekuatan Hindu bekas Majapahit.10
GAMBAR 3 dan 4. Alun-Alun Empang pada tahun 1700-an (kiri) dan tahun 1880-an (kanan). Di masa Pakuan Pajajaran, alun-alun ini membentang dari parit Empang sampai ke tepi Cisadane. Menurut Saleh Danasasmita dalam Sejarah Bogor, di sinilah para prajurit Pajajaran mengadakan latihan rutin. Pada era Ratu Dewata, pasukan Islam dari Banten pernah merangsek sampai ke alun-alun ini dan berhasil mengalahkan dua punggawa Pajajaran yang utama.
Sumber: (Atas) Johannes Rach, “Soeke Atie or Hartenlust outside Buitenzorg”, Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, No. Panggil VL 18; (Bawah) “Moskee in Empang te Buitenzorg”, Universiteit Leiden, KITLV, Image Code 87363.
Seorang petualang Portugis bernama Mendez Pinto yang saat itu ada di Jepara, menjadi saksi mata peristiwa tersebut. Panembahan Hasanuddin, yang disebut Pinto sebagai “Raja Sunda” (King of Zunda), bertugas sebagai jenderal pasukan Demak yang mendatangkan pasukan besarnya dari Banten, ke Cirebon, dan terus sampai Pasuruan lewat jalur darat (berkuda dan jalan kaki). Menurut Pinto, pasukan Panembahan Hasanuddin di Pasuruan membangun benteng dengan balok-balok besar, “kemudian mereka menanam berbagai persenjataan besar … dari logam (meriam), yang dicor oleh orang Aceh dan Turki” (whereupon they planted divers great pieces of ordnances … of metal, that the Achems and Turks had cast).11
Kesaksian ini memberikan bukti bahwa kekuatan Islam di Banten, Cirebon, dan Demak turut bergabung dalam kubu Khilafah ‘Utsmaniyah yang sebelumnya sudah lebih dulu mengirimkan tentara ‘Utsmaniyah ke Aceh.12 [Bersambung]
Catatan kaki:
1 Mehmet Maksudoglu, The Untold History of Ottoman, 192-193, 222-223.
2 “Dihitung jumlah prajurit yang berangkat, lima ribu banyaknya” (kapatang gagaman kang lunga aprang, limang wu kehneki). Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XXI) bait 1, 113. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 284.
3 “Ditambah pekerja dari Pakuwati (Cirebon), (dan) senjata sejumlah 800” (weh tandang sing Pakuwati, gegaman dhomas). Ibid.
4 “Juga orang dari Angke (Jayakarta), (berjumlah) 200 (dan) senjata dari Pangeran (Ratu Bagus Angke)” (wong saking Angke malih / kalih atus gagaman saking Pangeran). Sajarah Banten, Pupuh Durma (no. XXI) bait 1-2, 113. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, Ibid.
5 “Pasukan dari Demak, banyaknya lima laksa (50.000)” (gagaman sing Demak kathahe limang laksa). Ibid. Satu laksa = 10.000.
6 Kesaksian Barros tentang tentara Pajajaran: “dan kerajaan itu, mempunyai seratus ribu anggota tentara” (no Reino averia cem mil homés de peleja). Dikutip dari Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 147.
7 Dikutip dari Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 147.
8 Ayatrohaedi, “Sunda, Pakuan, Pajajaran”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 89.
9 Ibid; Yoseph Iskandar, “Nilai Tradisional dan Sejarah Pakuan Pajajaran Menurut Naskah Kuna”, dalam Ibid, 175-176; Saleh Danasasmita, Sejarah Bogor, 78.
10 Ayatrohaedi, “Sunda, Pakuan, Pajajaran”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 89.
11 Mendez Pinto, The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, ed. HC. Gent, (New York, Cornell University Library, 1996), 377-378.
12 Pasukan Khilafah ‘Utsmaniyah sudah datang ke Kesultanan Aceh semenjak tahun 1539. Mereka dipimpin Hamad Khan, keponakan dari Veli (gubernur) ‘Utsmaniyah di Mesir, Hadim Süleyman Paþa, yang kelak naik pangkat menjadi Sadrazam (wakil Khalifah) di bawah pimpinan Khalifah Süleyman al-Qanuni. Pasukan pimpinan Hamad Khan ini membantu Sultan Aceh mem-futûhât negeri Batak dan menyerang Portugis di Malaka. Lihat: Giancarlo Casale, The Ottoman Age of Exploration, 57-58.