Hakikat Kepemilikan (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 126)
Telaah Kitab kali ini membahas Pasal 126 dari Kitab Muqaddimah ad-Dustur. Pasal ini menjelaskan kepemilikan harta (property). Teks Pasal 126 berbunyi:
اَلْماَلُ لِلَّهِ وَحْدَهُ وَهُوَ الَّذِيْ اسْتَخْلَفَ بَنِي اْلإِنْسَانِ فِيْهِ فَصَارَ لَهُمْ بِهَذَا الْإِسْتِخْلاَفِ الْعَامِ حَقُ مِلْكِيَّتِهِ، وَهُوَ الَّذِيْ أَذِنَ لِلْفَرْدِ بِحِيَازَتِهِ فَصَارَ لَهُ بِهَذَا اْلإِذْنِ الْخَاصِ مِلْكِيَّتُهُ بِالْفِعْلِ
Harta adalah milik Allah semata. Allah memberikan hak penguasaan kepada manusia di dalamnya. Jadi manusia, berdasarkan penguasaan umum tersebut, memiliki hak kepemilikan harta. Dialah Yang memberikan ijin kepada seorang individu untuk memperoleh harta. Dengan ijin khusus tersebut manusia bisa memiliki harta secara langsung.
Dalam pandangan Islam, semua yang ada di langit dan seluruh permukaan bumi adalah milik Allah SWT. Dialah Zat Yang menciptakan langit dan bumi serta menguasai keduanya. Allah SWT berfirman:
وَءَاتُوهُم مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمۡۚ ٣٣
Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah Dia karuniakan kepada kalian (QS an-Nur [24]: 33).
أَلَآ إِنَّ لِلَّهِ مَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۖ ٦٤
Ketahuilah, sungguh milik Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi (QS an-Nur [24]: 64).
Allah SWT juga berfirman:
وَأَنفِقُواْ مِمَّا جَعَلَكُم مُّسۡتَخۡلَفِينَ فِيهِۖ ٧
Nafkahkanlah oleh kalian sebagian harta yang telah Allah kuasakan kepada kalian (QS al-Hadid [57]: 7).
Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa harta yang berada di tangan manusia hakikatnya adalah milik Allah SWT yang dikuasakan kepada mereka. Di dalam Tafsir Ayat al-Ahkam dinyatakan:
Di dalam ayat ini (QS an-Nur [24]: 33) ada isyarat yang sangat lembut, bahwa harta yang berada di tangan orang-orang kaya sesungguhnya hanyalah titipan yang berada di sisi mereka. Allah menguasakan kepada mereka harta tersebut agar mereka mengelola harta tersebut dengan sebaik-baiknya…Oleh karena itu, pemilik hakiki adalah Allah, Tuhan penguasa alam. Orang kaya bukanlah pemilik hakiki dari harta. Ia hanyalah orang yang diberi amanah atas harta. Harta tersebut adalah titipan yang berada di tangannya (Ayat al-Ahkam, 1/384).
Hakikat harta adalah milik Allah SWT semata. Selanjutnya Allah SWT menguasakan harta milik-Nya kepada manusia. Dengan itulah manusia mempunyai hak atas harta.
Pada saat Allah SWT menjelaskan kepemilikan harta, Dia menisbatkan harta itu kepada Diri-Nya dengan redaksi mal AlLah (harta Allah). Lalu pada saat Allah menjelaskan perpindahan kepemilikan harta-Nya ke tangan manusia, Dia menisbatkan kepemilikan harta tersebut kepada manusia, dengan redaksi maluhum (harta mereka) (Lihat: QS an-Nisa‘ [4]: 6; QS at-Taubah [9]: 103; QS al-Baqarah [2]: 279).
Hanya saja, penguasaan harta kepada manusia bersifat umum. Artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk memiliki dan menguasai harta.
Penguasaan harta tentu berbeda dengan kepemilikan harta secara real dan langsung. Setiap orang punya hak memiliki harta, namun belum tentu ia memiliki dan menguasai harta secara real dan langsung. Atas dasar itu, ayat-ayat yang bertutur tentang istikhlaf (pemberian kuasa) kepada manusia tidak menunjukkan kepemilikan individu secara real atas harta yang ada di permukaan bumi. Istikhlaf hanya menunjukkan pemberian kuasa atau hak kepada manusia untuk memiliki harta.
Kepemilikan individu atas harta secara langsung ditunjukkan oleh nas-nas lain. Di antaranya firman Allah SWT:
يَسۡئَلُونَكَ مَاذَآ أُحِلَّ لَهُمۡۖ قُلۡ أُحِلَّ لَكُمُ ٱلطَّيِّبَٰتُ وَمَا عَلَّمۡتُم مِّنَ ٱلۡجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ ٱللَّهُۖ ٤
Mereka bertanya kepada kamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajari dengan cara dilatih untuk berburu sesuai dengan yang Allah ajarkan kepada kalian…” (QS al-Maidah [5]: 4).
Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa berburu merupakan salah satu ijin dari Allah SWT kepada manusia untuk memiliki harta secara langsung.
Allah SWT berfirman:
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ … ٧
Bagi laki-laki ada hak atas bagian harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya. Bagi wanita juga ada hak atas bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya… (QS an-Nisa‘ [4]: 7).
Pewarisan harta merupakan ijin dari Allah SWT kepada ahli waris untuk memiliki harta secara langsung.
Di dalam as-Sunnah juga banyak hadis maqbul yang bertutur tentang sebab-sebab kepemilikan harta secara langsung. Nabi saw., misalnya, bersabda:
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَه
Siapa saja yang memagari tanah dengan sebuah pagar, maka tanah itu menjadi miliknya (HR Abu Dawud).
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَة فَهِيَ لَه
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya (HR Malik, al-Bukhari dan Abu Dawud).
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa kepemilikan atas tanah secara real dan langsung bisa didapatkan dengan cara menghidupkan tanah mati (ihya‘ al-mawat).
Abu ‘Abdullah al-Zubair bin al-’Awwam bertutur bahwa Rasulullah saw. juga pernah bersabda:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ فَيَأْتِي الْجَبَلَ فَيَجِئَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَسْتَغْنِيَ بِثَمَنِهَا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ
Sungguh, sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil seutas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, yang dengan hasilnya itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, maka itu lebih baik bagi dirinya daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia baik mereka memberi ataupun tidak memberi dia.” (HR al-Bukhari).
Hadis ini menjelaskan bahwa bekerja mencari kayu bakar, kemudian menjualnya kepada orang lain, merupakan salah satu sebab penguasaan harta secara langsung.
Imam as-Sanadi mengatakan bahwa apa yang diperoleh manusia dengan cara yang terhormat, yakni bekerja keras di kehidupan dunia, lebih baik dibandingkan dengan apa yang dia peroleh dengan cara meminta-minta meskipun ia bekerja keras untuk kehidupan akhiratnya (As-Sanadi, Syarh Sunan Ibnu Majah, hadis nomor 1826).
Di dalam riwayat lain Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ فَضْلُ أَرْضٍ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيُزْرِعْهَا أَخَاهُ وَلَا تَبِيعُوهَا
Siapa saja yang mempunyai tanah, hendaklah ia menggarap tanah itu atau ia berikan kepada saudaranya sesama Muslim, dan jangan menyewakannya (HR Muslim).
Menggarap tanah pertanian termasuk bekerja yang menjadikan seseorang memiliki hak untuk memiliki harta.
Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, berkata:
سُئِلَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ عَنْ اللُّقَطَةِ فَقَالَ مَا كَانَ فِي طَرِيقٍ مَأْ تِيٍّ أَوْ فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَعَرِّفْهَا سَنَةً فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَ إِلَّا فَلَكَ وَمَا لَم يَكُنْ فِي طَرِيقٍ مَأْ تِيٍّ وَ لَا فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَفِيهِ وَ فِي الرِّكَازِ الْخُمْسُ
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang luqathah (barang temuan). Beliau menjawab, “Apa yang ditemukan di jalan yang dilintasi atau di suatu kampung yang ditinggali manusia, maka umumkan barang temuan itu selama setahun. Jika pemiliknya datang (maka berikanlah barang itu), jika pemiliknya tidak datang, maka barang itu menjadi milikmu. Barang temuan yang tidak ditemukan di jalan yang dilintasi (jalan umum) dan di kampung yang dihuni manusia, maka di dalamnya dan di dalam rikaz, dikeluarkan (zakat) seperlima.” (HR an-Nasa’i).
Sebaliknya, Allah SWT dan Rasul-Nya tidak mengijinkan seorang Muslim mendapatkan harta dengan cara-cara yang batil. Nabi saw. bersabda:
مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ فَقَالَ لَه رَجُلٌ وَ إِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يا رسول الله قَالَ وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Siapa saja yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya, ia akan dimasukkan ke dalam neraka dan diharamkan masuk surga.” Seorang Sahabat bertanya, “Ya, Rasulullah, bagaimanakah kalau hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Walaupun sekecil kayu arak.” (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
Siapa saja yang mengambil hak orang lain, walaupun hanya sejengkal tanah, maka nanti akan dikalungkan kepada dia tujuh lapis bumi (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. juga memerintahkan kepada perampas untuk mengembalikan apa yang dia rampas kepada pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
Tangan yang telah mengambil sesuatu tanpa hak, berkewajiban mengembalikan (apa yang ia ambil) (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Nas-nas di atas menunjukkan bahwa Islam mensyaratkan adanya ijin dari Allah SWT pada setiap individu untuk memiliki harta tersebut secara langsung. Harta hanya bisa dimiliki secara real dan langsung selama seseorang telah mendapatkan ijin dari Allah.
Alhasil, seseorang benar-benar absah dan berhak memiliki dan menguasai harta yang telah ia usahakan dengan sebab-sebab yang telah diijinkan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Pandangan semacam ini tentu saja berbeda dengan pandangan kepemilikan dalam sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis. Pandangan seorang Muslim terhadap kepemilikan harta tegak di atas akidah Islam. Sebaliknya, pandangan kapitalis dan sosialis terhadap kepemilikan tegak di atas paham sekular dan sosialis, yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah Islam. [Gus Syams]