Siyasah Dakwah

Kebijakan Islam Dalam Menangani Wabah Penyakit

Kasus merebaknya gangguan pernafasan (pneumonia) akibat coronavirus tipe baru (2019-NCov) terjadi di Wuhan Cina di bulan Desember 2019. Hingga awal bulan Februari 2020, penyakit akibat 2019-NCov telah tersebar di 28 negara, menginfeksi tidak kurang dari 30,000 manusia dan menimbulkan lebih dari 700 korban meninggal dunia.

Sebelumnya, tipe coronavirus dengan susunan genetik yang berbeda juga menimbulkan wabah penyakit SARS (severe acute respiratory syndrome) tahun 2002 dan MERS (Middle Eastern Respiratory Syndrome) tahun 2012. Ada juga virus lain yang menyebabkan penyakit campak/measles, rubella/cacar jerman dan mumps/gondong.

 

Menyikapi Wabah

Sebagai bagian dari keimanan, Muslim percaya bahwa seluruh peristiwa (termasuk pecahnya wabah penyakit) tidak mungkin terjadi tanpa kehendak Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 51).

Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa manusia (terutama kaum Mukmin) bersikap fatalistik (pasrah terhadap nasib). Beberapa hadis penting terkait wabah justru berisi tuntunan bagaimana seharusnya Muslim berupaya mengatasi wabah penyakit ini.

Nabi saw., misalnya, bersabda:

لاَ يُوْرِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحِّ

Janganlah unta yang sehat dicampur dengan unta yang sakit (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Pemisahan unta adalah upaya manusia untuk menghindari meluasnya penyakit. Apa yang Rasulullah saw sampaikan ini menjadi releavan terkait wabah MERS. Subtype coronavirus tertentu tidak hanya menimbulkan penyakit pernafasan pada unta, namun juga mampu menginfeksi manusia (pemiliknya atau penggembalanya). Pengetahuan tentang keberadaan bahaya kesehatan akibat paparan MERS-Cov (coronavirus penyebab MERS) melahirkan kebijakan otoritas setempat untuk meminimalisir paparan unta yang terinfeksi terhadap jemaah haji yang berdatangan beberapa bulan paska pecahnya wabah MERS di Jeddah pada tahun 2014 (Ziad et.al., 2018).

Jika upaya mitigasi risiko ini tidak dilakukan, hanya memasrahkan saja dengan nasib, tidak bisa dibayangkan meluasnya MERS ke wilayah asal Jemaah haji yang terinfeksi MERS-Cov.

Dalam sejarahnya setidaknya ada tiga wabah yang terjadi di Dunia Islam. Pertama: Wabah di Amwas wilayah Syam (kini Suriah) di tahun 639 M yang telah menimbulkan syahidnya dua sahabat Nabi saw., yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal. Kedua: Wabah ‘Black Death’ yang mengepung Granada, benteng terakhir umat Islam Andalusia pada abad ke 14. Ketiga: Wabah smallpox pada Abad 19 yang melanda Khilafah Uthmani.

 

  1. Tidak meninggalkan dan tidak memasuki wilayah wabah.

Saat wabah Amwas di Syam  (639 M) dan wabah ‘Black Death’ Granada Andalusia (abad ke 14) kaum Muslim dihadapkan pada pertanyaan, “Apakah menghindar dari wabah berarti lari dari takdir Allah?”

Saat itu Abu Ubaidah bin Jarrah ra., sebagai komandan pasukan jihad di Syam, bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab ra. di Sargh. Khalifah berniat untuk membawa kembali Abu Ubaidah ke Madinah. Abu Ubaidah menolak dan mengingatkan apakah Sang Khalifah ‘lari dari takdir Allah’?

Dijawab oleh Khalifah Umar bahwa ‘kita lari dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain’. Beliau lalu menjelaskan pilihan seorang penggembala yang membawa kambingnya ke lembah yang hijau ketimbang ke lembah yang tandus. Pilihan Khalifah Umar ra. dan pilihan Abu Ubaidah ternyata mendapatkan legitimasi dari Hadis Nabi saw. Abdurrahman bin Auf bertutur: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ بِه بِأرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ  بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

Jika kalian mendengar suatu negeri dilanda wabah, jangan kalian memasukinya. Jika wabah itu terjadi di negeri yang kalian berada di dalamnya, janganlah kalian keluar darinya (Muttafaq ‘alayh).

 

Dari sisi ilmu dan kebijakan kesehatan masyarakat modern, apa yang Rasulullah saw. sampaikan adalah upaya preventif untuk mengisolasi penularan wabah penyakit agar tidak meluas.

Hikmah dari keputusan Abu Ubaidah bin Jarrah ra. dan Muadz bin Jabal ra. yang memilih untuk tetap tinggal di wilayah yang sedang mengalami wabah terlihat dari fatwa Ulama Granada (Abad 14), Abu Said Ibn Lubb, saat terjadi wabah di Granada terhadap pertanyaan, “Jika kita meninggalkan area yang terkena wabah, siapa yang mengurus Muslim yang sakit dan meninggal?” (Hopley R, 2010).

Pertanyaan ini penting. Pasalnya, kewajiban Muslim untuk saling tolong-menolong, merawat yang sakit dan mengurus jenazah. Karena itu pilihan Abu Ubaidah dan Muadz bin Jabal—keduanya adalah pejabat Negara Khilafah—untuk tidak meninggalkan wilayah Syam merupakan cerminan rasa tanggung jawab mereka untuk mengurus warganya dan bersabar bersama mereka.

Kalaupun mereka akhirnya meninggal dunia dalam pengurusan tersebut, mereka layak mendapatkan pahala syahid sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Orang yang mati syahid ada lima, yakni: orang yang mati karena tha’un (wabah); orang yang mati karena menderita sakit perut; orang yang mati tenggelam; orang yang mati karena tertimpa reruntuhan; dan orang yang mati syahid di jalan Allah (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Pada tahun 1428 terjadi wabah di Kota Bursa, salah satu kota penting Khilafah Utsmani. Anggota keluarga Khilafah Utsmani, yaitu tiga saudara laki-laki  dan sepupu Sultan Murad II, juga ada yang meninggal. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bertahan dan tidak meninggalkan kota.

Sultan Muhammad al-Fatih dalam kampanye militer pada tahun 1464 paska pembebasan Konstantinpel juga menghindari wilayah Balkan yang sedang mengalami wabah.

Perilaku para bangsawan Khilafah Utsmani ini selaras dengan sabda Nabi saw., yaitu tidak lari ketika wabah terjadi, dan menghindar dari wilayah yang sedang terkena wabah (Marien G, 2009).

Keputusan untuk tetap tinggal atau tidak memasuki wilayah wabah juga tidak diartikan ‘tinggal berdiam diri menunggu ajal’ atau ‘menghindar dan membiarkan’. Namun, tetap harus dipikirkan upaya untuk meminimalisasi jumlah korban yang jatuh dari populasi yang terjebak wabah.

 

  1. Mencari tahu mekanisme penyakit.

Setiap ciptaan Allah SWT memiliki khasiat (spesifikasi) yang tetap. Air akan mendidih pada suhu 100C di permukaan air laut, dan mendidih di suhu yang lebih rendah beberapa derajat ketika berada di puncak Gunung Ceremai. Demikian pula spesifisitas virus yang beragam dan menimbulkan penyakit yang juga beragam dampak mortalitas (kematian) serta morbiditasnya (kesakitan); juga bisa diobservasi khasiat atau qadar yang Allah telah tetapkan padanya (Tentang qadar, lihat: QS al-Furqan [25]: 3).

Memahami qadar atau khasiat yang ditetapkan Allah SWT pada mekanisme terjadinya penyakit berhasil diobservasi oleh ilmuwan Andalusia saat itu, yaitu Lisanuddin ibn al Khatib, dalam bukunya, Muqni’at as-Sâ’il ‘an al-Maradh al-Hâ’il (Tanggapan Meyakinkan Atas Pertanyaan Tentang Penyakit yang Menakutkan). Dinyatakan, antara lain: Adanya penyakit menular dibuktikan berdasarkan pengalaman dan laporan yang bisa dipercaya. Baju, tempat minum, anting-anting penderita adalah media penularan penyakit di rumah-rumah; juga datangnya penumpang kapal dari wilayah yang telah terpapar wabah menularkan penyakit kepada warga kota pelabuhan yang awalnya sehat, dan tetap sehatnya warga yang terisolasi dari paparan penyakit.” (Hopley R, 2010).

Ibn al-Khatib juga melaporkan bahwa manusia yang tidak pernah bertemu dengan penderita ternyata tidak pernah terkena penyakit. Tidak ada juga penyakit di penjara manakala para tawanan terisolasi dari dunia luar yang sedang mengalami wabah.

Dengan demikian observasi mekanisme penyakit menular (melalui Sains) tidak bertentangan dengan wahyu. Pasalnya, mekanisme tersebut masih mematuhi khasiat atau qadar yang Allah SWT telah tetapkan. Ibn Rushd, yang juga merupakan ilmuwan Muslim Andalusia, dua abad sebelum wabah terjadi menyatakan bahwa dalam konteks teknis atau observasi alam, ketika ada kesan bertentangan dengan teks hadis, maka penafsiran teks hadis perlu disesuaikan karena keduanya tidak mungkin bertentangan.

Muhammad ibn al-Lakhm ash-Shaquri adalah murid dari Ibn Khatib. Ia memberikan nasihat praktis bagi warga yang harus tinggal di wilayah wabah seperti penggunaan alat makan yang terpisah dan pembersihan dengan cuka pada alat tersebut sebelum dan sesudah penggunaannya. Cara mereka berpikir menunjukkan adanya pengakuan terhadap Allah sebagai Zat Yang telah menetapkan khasiat pada makhluk-Nya. Secara bersamaan mereka juga proaktif (bukan pasrah) melakukan observasi yang bisa menghasilkan rekomendasi kesehatan secara praktis (Hopley R, 2010).

Pengetahuan ini ternyata membantu populasi di Granada untuk bisa kembali bangkit dari wabah Black Plague Abad 14. Mereka pun berhasil menyelesaikan proyek pembangunan Istana Alhambra. Pada periode waktu yang sama, di Kota Siena, Italia, yang sedang merenovasi Katedral Siena, terhenti proyeknya akibat wabah yang sama. Merela tidak pernah bisa menyelesaikan renovasi tersebut seusai wabah berakhir hingga kini (Ober & Aloush, 1982).

 

  1. Antisipasi pencegahan penyakit berbasis bukti.

Ada catatan menarik dari wabah coronavirus Wuhan 2019 ini. Susunan genetik coronavirus Wuhan ini hampir identik dengan virus yang ditemukan di kelelawar. Tim peneliti Cina sendiri sudah memprediksi akan timbulnya wabah coronavirus setahun sebelumnya. Mereka melihat bahwa tradisi kuliner Cina yang mengkonsumsi binatang liar segar, seperti kelelawar, memberikan efek kesehatan.

Islam secara spesifik mengharamkan membunuh kelelawar, apalagi untuk mengkonsumsinya. Namun, apakah transmisi coronavirus Wuhan terjadi akibat konsumsi kelelawar? Studi dari pusat wabah menunjukkan bahwa gelombang pertama korban yang dirawat di rumah sakit mayoritas beraktivitas di Pasar Huanan yang menjual binatang liar. Akan tetapi, saat wabah pecah, pasar tersebut tidak menjual kelelawar. Pasalnya, saat itu Cina masih mengalami musim dingin sehingga kelelawar berhibernasi di gua. Artinya, transmisi bisa melalui aktivitas jual-beli hewan liar (yang belum diketahui identitasnya hingga kini) yang meliputi pemburunya, pedagangnya dan pembelinya, sebelum berakhir ke meja makan (Lu R, 2020). Rantai yang panjang ini rentan terjadinya lompatan coronavirus yang rentan terjadi rekombinasi genetik untuk mampu menginfeksi sel organ pernafasan manusia.

Dari sini kita bisa melihat bahwa adanya komunitas ilmuwan Cina yang memiliki rekam jejak panjang dalam meneliti kelelawar. Kemampuan identifikasi genom coronavirus kurang dari 2 minggu dengan teknologi NextGeneration Sequencing (NGS) menunjukkan pentingnya peran Negara untuk mengembangkan pusat penelitian dan pengembangan sehingga relatif mampu mengantisipasi dan mengendalikan terjadinya penyakit. Tanpa Negara yang menfasilitasi infrastruktur keilmuan, maka ilmu tidak tumbuh dan tidak mampu menawarkan solusi.

Karena itu tidak aneh jika pada masa keemasan Islam, ilmuwan mendapatkan dana penelitian yang besar dari Baitul Mal (Rahman, 2015) dan didukung langsung oleh para Khalifah. Dengan begitu mereka bisa fokus dengan penelitian dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

 

Vaksinasi: Pencegahan Penyakit secara Spesifik

Wabah smallpox yang melanda Khilafah Uthmani pada Abad  19 membangkitkan kesadaran di kalangan penguasa tentang pentingnya vaksinasi smallpox (cacar). Sultan memerintahkan pada tahun 1846 penyediaan fasilitas kesehatan untuk vaksinasi terhadap seluruh anak-anak warga Muslim dan non-Muslim. Namun, wabah smallpox kembali terjadi pada tahun 1850 akibat banyaknya orangtua yang tidak menginokulasi anak-anak mereka. Sultan menyatakan bahwa tindakan para orangtua yang lalai mengantar anak-anak mereka ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksinasi telah melanggar syariah dan hak anak. Padahal Sultan telah menyiapkan banyak sekali faskes serta dokter dan profesional kesehatan lainnya (Demirci T, 2008).

Catatan sejarah ini menunjukkan bahwa Negara berperan penting untuk melindungi kesehatan warganya dari penyakit, tanpa memandang status sosial dan keyakinannya.

Sayang, di negeri-negeri yang mayoritasnya Muslim, penyakit menular yang akibat infeksi virus seperti campak, cacar jerman dan gondongan mulai kembali merebak. Daya literasi yang lemah dan narasi konspirasi berkontribusi terhadap bangkitnya penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Padahal konsep ‘herd immunity’, yaitu mekanisme proteksi masyarakat yang divaksinasi, merupakan salah satu qadar Allah SWT yang bisa diobservasi secara universal. Ketika mayoritas populasi divaksinasi, virus tidak mampu tersebar karena sudah terblokir kemampuannya untuk menginfeksi. Namun, ketika situasi berbalik, yakni mayoritas tidak tervaksinasi, maka virus akan mudah menyebar. Karena itu tidak aneh jika negeri Muslim seperti Malaysia dan Pakistan menghukum para orangtua yang lalai melakukan vaksinasi terhadap anak-anaknya (Ahmed et.al., 2017).

 

Pengembangan dan Produksi Vaksin: Dilema Peradaban Kapitalisme

Hampir tiap hari, publikasi ilmiah tentang genom virus Wuhan cepat bermunculan. Kini kita bisa memprediksi bagaimana virus Wuhan bisa menginfeksi manusia. Pembandingan susunan coronavirus Wuhan ini ternyata mirip sekali dengan SARS pada gen S (Spike), yaitu gen coronavirus yang menyandi protein berbentuk mahkota (corona/crown), yang berfungsi untuk melekatkan partikel virus ke sel manusia yang mengekspresikan protein ACE2 Receptor (Angiotensin Converting Enzyme Receptor). Dengan demikian pembuatan dan produksi vaksin untuk memblokir ikatan coronavirus Wuhan terhadap reseptor manusia ACE2 bisa dimulai. Demikian pula kita sudah mengetahui perbedaannya dengan MERS Cov, yakni coronavirus penyebab MERS ini berikatan dengan protein DPP4.

Pertanyaannya, apakah wabah MERS yang terjadi pada tahun 2014 sudah menghasilkan vaksin?

Jawabnya, belum. Padahal WHO sudah menyatakan MERS ini berbahaya. Tingkat kematian manusia yang terinfeksi bisa mencapai 30%. Bandingkan dengan tingkat kematian akibat infeksi coronavirus Wuhan 2-3%. Memang pengembangan vaksin memerlukan waktu lama. Namun, kompleksitasnya bukan semata-mata masalah teknis bioteknologinya, namun juga keberadaan pasar yang bisa memberikan return of investment (ROI) kepada produser vaksin dan pemegang sahamnya (Plotkin 2017).

Sistem ekonomi Kapitalisme tidak mengenal adanya pembedaan kepemilikan harta. Semua dianggap kepemilikan pribadi. Tidak dibedakan mana harta milik umum, pribadi, atau negara. Konsep kepemilikan juga tidak dinisbatkan kepada Sang Pencipta sehingga rasa kepemilikan terhadap harta sangat tinggi. Sistem ini tidak mengenal adanya timbangan harta akhirat dan amal jariah. Akibatnya, sebelum industri vaksin melakukan proses produksi, mereka akan melakukan studi kelayakan situasi pasar. Ini bisa dimengerti karena produser vaksin adalah industri swasta. Para pemegang sahamnya menuntut keuntungan. Jadi, jangankan MERS, SARS dan Wuhan, masih banyak penduduk dunia yang tidak mendapatkan vaksin dasar untuk penyakit menular yang sebenarnya bisa dicegah karena kompleksitas persoalan harga yang belum tentu bisa diakses secara luas. Contohnya pada tahun 2018. Tidak kurang dari 60% anak-anak di 10 negara belum mendapatkan vaksin dasar untuk perlindungan dari penyakit dipteria dan pertussis (Piot 2019).

Karena itu dunia perlu berpikir ulang tentang sistem pendanaan atau pembiayaan layanan dan penelitian kesehatan yang berkelanjutan. Saat ini dunia hanya mengenal pajak sebagai sumber pembiayaan utama. Pasalnya, peradaban yang memimpin saat ini tidak meyakini adanya kehidupan yang lebih baik dan kekal; tidak meyakini bahwa harta yang sesungguhnya adalah harta yang dibelanjakan karena keinginan untuk mencapai ridha Allah Sang Pencipta.

Pada masa Kekhilafahan Islam, dana wakaf berkontribusi hampir 30% dari pemasukan Baitul Mal. Besarnya dana ini membuat layanan dan penelitian kesehatan menjadi maju karena tidak ada beban untuk mengembalikan ‘keuntungan’.

Peradaban Islam yang dinantikan juga akan menjadikan ilmu pengetahuan tentang virus ini, makhluk Allah yang tidak kasatmata, sebagai lading pahala. Vaksin akan dikembangkan dengan prosedur yang seefektif mungkin mengingat dana pembiayaan berasal dari amanah wakaf untuk kepentingan sebesar-besarnya umat manusia. Demikian pula perilaku manusia yang berisiko mencetuskan terjadinya wabah dicegah secara persuasif dengan edukasi yang otoritatif dan humanis sehingga narasi sesat bisa dikendalikan dengan tepat (Carey et. al., 2020). [Ahmad Rusydan, Ph.D]

Referensi

1        https://www.alodokter.com/memahami-epidemiologi-dan-istilah-istilahnya

2        http://abiubaidah.com/74-telaah-penyakit-menular.html (mentarjih hadist tentang wabah penyakit menular)

3        https://muslimheritage.com/ibn-rushd-harmony-of-theological-philosophical-scientific-truth/

4        Ahmed, A., Lee, K.S., Bukhsh, A., Al-worafi, Y.M., Sarker, M.M., Ming, L.C., & Khan, T.M. (2017). Outbreak of vaccine-preventable diseases in Muslim majority countries. Journal of infection and public health, 11 2, 153-155 .

5        Carey, John & Chi, Victoria & Flynn, D. & Nyhan, Brendan & Zeitzoff, Thomas. (2020). The effects of corrective information about disease epidemics and outbreaks: Evidence from Zika and yellow fever in Brazil. Science Advances. 6. eaaw7449. 10.1126/sciadv.aaw7449.

6        Demirci, T ‘Body, Disease and Late Ottoman Literature: Debates on the Ottoman Muslim Family in the Tanzimat Period (1839–1908)’ (PhD thesis, Bilkent University, 2008), p.24.

7        Hopley, R. (2010). Contagion in Islamic Lands: Responses from Medieval Andalusia and North Africa. Journal for Early Modern Cultural Studies, 10, 45 – 64.

8        Lu, R., Zhao, X., Li, J., Niu, P., & Tan, W. (2020). Genomic characterisation and epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor binding. Lancet.

9        Marien, Giselle. “The Black Death in Early Ottoman Territories, 1347-1550.” Unpublished MA Dissertation, Department of History, Bilkent University, Ankara, 2009.

10      Ober, W.B., & Aloush, N. (1982). The plague at Granada, 1348-1349: Ibn Al-Khatib and ideas of contagion. Bulletin of the New York Academy of Medicine, 58 4, 418-24 .

11      Piot, P., Larson, H.J., O’Brien, K.L. et al. Immunization: vital progress, unfinished agenda. Nature 575, 119–129 (2019). https://doi.org/10.1038/s41586-019-1656-7

12      Plotkin, S.A., Robinson, J.M., Cunningham, G., Iqbal, R., & Larsen, S.M. (2017). The complexity and cost of vaccine manufacturing – An overview. Vaccine.

13      Rahman, M.H. (2015). BAYT AL-MAL AND ITS ROLE IN ECONOMIC DEVELOPMENT: A CONTEMPORARY STUDY.

14      Ziad A Memish, MERS: What is the current situation in Saudi Arabia?, Journal of Travel Medicine, Volume 25, Issue 1, 2018, tay065, https://doi.org/10.1093/jtm/tay065

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 − 2 =

Back to top button