TarikhTsaqafah

Pembukaan Dayeuh Pakuan Untuk Islam

(Sejarah Awal Islam di Bogor Sebelum Era Kolonial, Circa 1480–1680)(Bagian Kesepuluh)

 

Kepada masyarakat Pakuan Pajajaran yang diwakili Ki Jong Jo, mualaf Sunda yang mengepalai pasukan Banten dari kaum ajar, Maulânâ Yûsuf memperlakukan mereka dengan sangat baik: Berkata Jong Jo, “Iya, ini rakyat hamba Tuan. (Ini) kami semua.”

Lalu Kanjeng Panembahan berkata pada waktu itu, “Ya, merdekalah (kamu), beserta semua rakyatmu. (Jika) sudah beres tidak ada yang dibicarakan, saya akan pulang. Semua punggawa di Pakuan itu, baik-baiklah menjalankan agama Islam, saya akan ke Pakuwati.” (Mangka katur pun Jong Jo inggih punika, rayat kawula gusti, kawula sadaya, mangka Jeng Panembahan, ngandika ing mangsya iki, iya mardika, sarayatira sami / lan wus rapih orang kang wiwicara, lan isun arep mulih, sakehing ponggawa, ing Pakuan punika, den becik padha den netepi, agama Islam, isun ming Pakuwati).1

Ada juga sebagian warga dan prajurit Pakuan yang menolak memeluk Islam. Sebagian kalangan percaya bahwa mereka menjadi nenek moyang (karuhun) kaum Baduy di Banten Selatan. Meski begitu, orang-orang Baduy menolak bahwa mereka keturunan Padjadjaran. Seorang kokolot Baduy yang diwawancara tahun 1988 mengungkapkan, “Baduy bukan orang Padjadjaran. Tidak juga dekat. Pu’un (tetua orang Baduy) bermusuhan dengan mereka. Karena itu ia menolaknya.” (Baduy lain urang Pajajaran, deukeut mah henteu, Puun mah ngamusuhan, kusabab kitu boga panolakna).

Floklor Sunda pada umumnya juga menyatakan bahwa orang Padjadjaran ngahyang (menghilang, jadi hyang) atau menjadi pramunggu (makhluk halus).2

Entah pendapat mana yang benar. Namun, kita sama-sama tahu kalau orang Baduy juga menolak Islam dan berpegang pada kepercayaan Sunda Wiwitan. Meski begitu, mereka tetap digolongkan sebagai warga Kesultanan Banten. Sebagai perlindungan Islam kepada orang kafir yang berada dalam naungan negara (kâfir dzimmi), mereka dikenai  kewajiban membayar jizyah atau kharâj.

Menilik kepada tradisi yang dijalankan masyarakat Baduy, salah satu tradisi populer mereka adalah seba, yaitu tradisi menyerahkan hasil bumi mereka kepada Pemerintah. Tradisi seba sudah dijalankan urang Baduy dari masa Kesultanan Banten hingga era Republik saat ini.

Sekarang seba diartikan sebagai bentuk silaturahmi antara warga Baduy dengan Pemerintah Provinsi Banten untuk saling menjaga alam an sich.3 Namun, saya menduga kuat, pada awalnya seba adalah bentuk dari jizyah atau kharâj yang dikenakan oleh Kesultanan Banten kepada warga Padjadjaran yang menolak Islam (entah Baduy keturunan Padjadjaran atau bukan). Syariah ini dijalankan Kesultanan Banten, sebagaimana terlihat dari pertanyaan Sultan Abû’l Mafâkhir ‘Abdul Qâdir atas perkara harta negara kepada seorang mufti Makkah, Syaikh Muhammad ‘Alî ibn ‘Allân ash-Shiddîqî pada tahun 1630-an. Syaikh Ibn ‘Allân menjawab pertanyaan Sultan dalam kitab Al-Mawâhib ar-Rabbâniyyah ‘ani’l-As’ilah al-Jâwiyyah, dan menulis:

 

Jika seorang penguasa mengambil apa yang dibolehkan Asy-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) untuk dirinya; seperti harta zakat, harta fai’ (harta rampasan perang yang diperoleh tanpa pertempuran), harta ghanîmah (harta rampasan perang yang diperoleh melalui pertempuran), harta yang ditelantarkan, harta kharâj; dan dia meminta pertolongan atas itu dengan bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menolong dirinya.4

 

Banyak yang memandang Kesultanan Banten serupa dengan model negara-kota (citystate) yang terbatas administrasinya di kawasan Banten Lama hingga Serang belaka. Padahal ini keliru. Wilayah otoritas Banten terbentang dari Tangerang sampai Tulang Bawang (Lampung) dan dari Pelabuhan Ratu (Sukabumi) sampai Selebar (Bengkulu).90

Tentu Pakuan atau Bogor (melingkupi wilayah Kota dan Kabupaten) termasuk di dalam otoritasnya. Hal ini terlihat jelas ketika suatu hari Sultan Abû’l-Mafâkhir mengadakan majelis rutin dengan para pejabatnya untuk membahas tata kelola pemerintahan. Sultan bertanya, “Ki Mas, bagaimana kuatnya negara kita?” Dijawab oleh salah satu Punggawanya, “Semua berjalan baik. Demikian laporan hamba. Mulai dari batas desa Tuan, itu adalah pasukan kita, sampai ke laut selatan semuanya, yang ada di sebelah baratnya, yang di buangan itu, sebelah barat Caringin (Kabupaten Bogor), sampai dengan gunung di sebelah utara.”5

Pengaturan administratif rakyat Kesultanan Banten dibagi menjadi beberapa golongan:

  1. Orang Surosowan, rakyat yang tinggal di dalam benteng ibukota Kesultanan.
  2. Orang tepis wiring, rakyat yang tinggal di luar benteng ibukota Kesultanan.
  3. Orang pasisir, mereka yang tinggal di area pantai pesisir Utara (kulon) pulau Jawa dalam area Kesultanan.
  4. Orang desa pesawahan, mereka yang tinggal di area penghasil beras.
  5. Orang pedukuhan, rakyat kecil yang tinggal di dusun.
  6. Orang pegunungan, mereka yang tinggal di area pegunungan.6

 

Dari penggolongan di atas, jelas warga Kesultanan Banten yang tinggal di Bogor digolongkan sebagai orang pegunungan. Mereka dipimpin oleh wakil sultan yang bergelar punggawa atau tumenggung. Tahun 1634, utusan penguasa Banten ke-4, Pangeran Ratu ‘Abdul Qâdir, dikirim ke Makkah menemui Sarip Jahed (Syarîf Zayd bin Muhsin al-Hâsyimî) selaku gubernur Khilafah ‘Utsmaniyah guna meminta gelar “Sultan” kepada Pangeran Ratu, juga untuk meminta jawaban dari beberapa pertanyaan seputar syariah dan tasawuf. Utusan tersebut pulang kembali ke Banten tahun 1638, dan Pangeran Ratu ‘Abdul Qadir dianugerahi gelar “Sultan Abû’l-Mafâkhir” berkat otorisasi Khilafah ‘Utsmaniyah melalui Syarîf Makkah.7 Salah satu pemimpin orang pegunungan di Bogor, Pangeran Tumenggung Parung, ikut mewakili rakyatnya dalam menyambut penganugerahan tersebut.8  [Bersambung]

 

Catatan Kaki:

1        Ibid, Pupuh Durma (no. XXI) bait 16-17, 115. Ibid, 286.

2        Judistra Garna, “Kaitan Pajajaran dengan Orang Baduy di Kanekes: Suatu Tinjauan Sosial-Kultural”, dalam Politik Agraria dan Pakuan Pajajaran, 161-162.

3        Nandang Rusnandar, “Seba: Puncak Ritual Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Provinsi Banten”, Patanjala, Vol. 5 No.1 (Maret, 2013), 92-93.

4        Muhammad ‘Alî ibn ‘Allân ash-Shiddîqî al-Makkî, al-Mawâhib ar-Rabbâniyyah ‘ani’l-As’ilah al-Jâwiyyah, ed.

Ahmad Ginanjar Sya’ban, (Jakarta: Maktabah at-Turmusy li’t-Turots, 2022), 58-59. 90 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII, 155.

5        Sajarah Banten, Pupuh Asmaradana (no. XLV) bait 38-39, 217. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 371.

6        “Yang Dipertuan di negara Banten ashlah-Allahu mulkahu, yang sudah ditetapkan selama-lamanya dari dulu hingga sekarang, yang sudah umum bagi seluruh Punggawa Lampung Tulang Bawang besar kecil, dan seluruh rakyat kecil, apalagi orang tepis wiring, pesisir, desa pesawahan, pedukuhan, pegunungan, dan lain-lain, itu harus menaati perintah Kanjeng Sultan yang sudah disebutkan dalam Undhang-Undhang.” Naskah Undhang Undhang Banten, Cod. LOr 5598, 79. Dikutip dari Dinar Boontharm, The Sultanate of Banten AD 1750-1808: A Social and Cultural History, (Theses: University of Hull, 2003), 209-211.

7        Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, 192. Sajarah Banten, Pupuh Asmaradana (no. XXXIX) bait 1-42, 181-188. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 342-346.

8        Sajarah Banten, Pupuh Pamargengmangsyah (no. XLI) bait 19, 194. Dari Naskah G (LOr 7389) dalam Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, 352.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 3 =

Back to top button