Soal Jawab

Siapa yang Mempunyai Otoritas Mengeluarkan Fatwa Jihad?

Soal:

Munculnya fatwa dari salah seorang ulama Salafi di Mesir yang menolak fatwa jihad melawan Israel yang dikeluarkan oleh Persatuan Ulama’ kaum Muslim sedunia, memunculkan pertanyaan: Siapakah yang mempunyai otoritas mengeluarkan fatwa jihad?

 

Jawab:

Sebelum kita membahas tentang siapa yang mempunyai otoritas dalam mengeluarkan fatwa, maka penting dipahami faktanya, apa itu fatwa?

Fatwa merupakan isim mashdar yang berarti Ifitâ’ (mengeluarkan fatwa). Bentuk jamaknya adalah fatâwâ dan fatâwî. Dikatakan: Aftaytuhu fatwâ wa futyâ (Aku telah memberi dia fatwa): Idza ajabtuhu ‘an mas’alatihi (Jika aku menjawab pertanyaannya).1

Jadi, fatwa adalah upaya menjelaskan hukum atas persoalan yang sulit (pelik)2. Dari sini Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمَلَأُ أَفۡتُونِي فِي رُءۡيَٰيَ إِن كُنتُمۡ لِلرُّءۡيَا تَعۡبُرُونَ  ٤٣

Hai orang-orang yang terkemuka, “Terang­kanlah kepada diriku tentang ta’bir mimpiku itu jika kalian dapat menta’birkan mimpi.” (QS Yusuf [12]: 43).

 

Secara harfiah, meminta fatwa adalah upaya mencari jawaban atas suatu perkara yang sulit, sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَا تَسۡتَفۡتِ فِيهِم مِّنۡهُمۡ أَحَدٗا  ٢٢

Jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka (QS al-Kahfi [18]: 22).

 

Meminta fakwa kadang hanya berkonotasi sekadar bertanya untuk mendapatkan jawaban. Demikian sebagaimana firman Allah:

فَٱسۡتَفۡتِهِمۡ أَهُمۡ أَشَدُّ خَلۡقًا أَم مَّنۡ خَلَقۡنَآۚ ١١

Tanyakanlah kepada mereka (kaum musyrik Makkah), “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?” (QS ash-­Shaffat [37]: 11).

 

Dalam konteks ini, para mufassir menjelaskan konotasi, “Fastaftihim” (tanyakanlah kepada mereka), bukan menanyakan perkara yang pelik, tetapi sekadar bertanya, supaya mereka berpikir3. Ini karena yang ditanya adalah orang kafir Quraisy; bukan ahli agama, hukum atau nabi.

Secara terminologis, fatwa adalah upaya menjelaskan hukum syariah berdasarkan dalil kepada orang yang bertanya (meminta fatwa). Ini termasuk menanyakan tentang berbagai peristiwa dan hal-hal lainnya.

Adapun “muftî” secara bahasa adalah isim fa’il dari “aftâ”. Karena itu siapa saja yang mengeluarkan fatwa, meski hanya sekali, disebut mufti. Namun, dalam tradisi Islam, maknanya lebih spesifik dari itu. Imam ash-Shairafi berkata:

هَذَا الاسْمُ مَوْضُوْعٌ لِمَنْ قَامَ لِلنَّاسِ بِأَمْرِ دِيْنِهِمْ، وَعَلِمَ جُمَلَ عُمُوْمِ الْقُرْآنِ وَخُصُوْصِهِ، وَنَاسِخَهُ وَمَنْسُوْخَهُ، وَكَذَلِكَ السُّنَنَ وَالاسْتِنْبَاطَ، وَلَمْ يُوْضَعْ لِمَنْ عَلِمَ مَسْأَلَةً وَأَدْرَكَ حَقِيْقَتَهَا، فَمَنْ بَلَغَ هَذِهِ المَرْتَبَةَ سَمُّوْهُ بِهَذَا الاسْمِ، وَمَنْ اسْتَحَقَّهُ أَفْتَى فِيْمَا اُسْتُفْتِيَ فِيْهِ .

Istilah ini digunakan untuk orang yang mengurusi urusan agama masyarakat. Mengerti secara umum mana yang umum dan khusus dalam al-Quran, mana yang nâsikh (menghapus) dan mansûkh (yang dihapus). Begitu juga mengetahui sunnah dan proses penggalian hukum. Istilah ini tidak digunakan untuk orang yang hanya mengerti satu masalah dan hakikatnya. Siapa saja yang telah mencapai level ini disebut dengan istilah ini. Siapa saja yang berhak disebut dengan istilah ini boleh mengeluarkan fatwa dalam perkara yang dia dimintai pendapat hukumnya.4

 

Imam az-Zarkasyi menyatakan:

اَلُمفْتِي مَنْ كَانَ عَالِماً بِجَمِيْعِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ بِالْقُوَّةِ الْقَرِيْبَةِ مِنَ الْفِعْلِ، وَهَذَا إِنْ قُلْنَا بِعَدَمِ تَجَزُّؤِ الاِجْتِهَادِ

Mufti adalah orang yang mengetahui semua hukum-hukum syariah yang berpotensi untuk diamalkan. Ini tentu dengan asumsi bahwa ijtihad itu tidak bisa dibagi-bagi.5

 

Fatwa berbeda dengan keputusan pengadilan (qadhâ’). Ini karena fatwa tidak bersifat mengikat meski terhadap orang yang bertanya. Berbeda dengan keputusan qâdhi di pengadilan. Keputusannya bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Karena itu orang yang meminta fatwa bisa mengambil suatu fatwa atau meninggalkan fatwa lain. Padahal keduanya sama-sama merupakan hukum syariah bagi mufti yang mengeluarkan fatwa.6

Fatwa juga berbeda dengan ijtihad meskipun orang yang berfatwa, ketika mengeluarkan fatwa, bisa melakukan ijtihad, atau mengikuti ijtihad mujtahid lain. Ini karena wilayah ijtihad dibatasi dalam masalah hukum syariah yang bersifat zhanni dan tidak boleh berijtihad dalam masalah qath’i. Termasuk tidak boleh berijtihad dalam masalah akidah. Namun, fatwa bisa diberikan dalam masalah akidah maupun hukum syariah, baik yang bersifat qath’i maupun zhanni.7

Karena itu fatwa tidak identik dengan ijtihad maupun mengeluarkan keputusan hukum syariah (qadhâ’). Namun demikian, orang yang mengeluarkan fatwa tidak boleh mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Hukum mengeluarkan fatwa tanpa ilmu jelas haram. Ini karena bisa berbohong atas nama Allah dan Rasul-Nya. Bisa juga menyesatkan orang. Ini jelas dosa besar. Allah berfirman:

قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ  ٣٣

Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi; juga perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui” (QS al-A’raf [7]: 33).

 

Nabi saw. juga bersabda:

إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ صُدُوْرِ الْعُلَمَاءِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِماً اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوْا، فَأَفْتُوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا وَأَضَلُّوْا

Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabut ilmu itu dari hati ulama. Namun, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Lalu ketika tidak ada lagi ulama yang tersisa, manusia mengambil para pemimpin yang bodoh. Kemudian ketika mereka ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka pun tersesat dan menyesatkan orang lain (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Karena itu para ulama menyatakan bahwa orang yang berhak mengeluarkan fatwa atau memiliki otoritas berfatwa adalah: Muslim, berakal, balig dan adil (tidak fâsiq). Jumhur ulama menyatakan bahwa orang fâsiq tidak boleh berfatwa. Namun, menurut sebagian mazhab Hanafi, orang fâsiq masih diperbolehkan berfatwa. Begitu juga menurut Ibn al-Qayyim. Kecuali jika dia mendemonstrasikan kefasikannya dan mengajak orang lain pada perbuatan bid’ahnya.8

Selain itu, dalam Syarh ar-Risâlah, Imam al-Haramain al-Juwaini menyatakan bahwa siapa saja yang hapal nas-nasnya Imam as-Syafii, dan semua pendapat imam, tetapi tidak mengerti hakikat dan maknanya, maka dia tetap tidak boleh berijtihad dan melakukan analogi. Dia juga belum layak berfatwa. Kalau dia mengeluarkan fatwa, maka tidak boleh.9 Bagi mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali, seorang mufti yang berstatus muqallid tidak boleh berfatwa dengan hukum yang lemah dan pendapat yang marjûh (kalah). Bahkan, menurut al-Hashkafi, menggunakan pendapat yang marjûh itu merupakan kebodohan dan merusak ijmak.10

Karena itu jika seorang mufti hendak mengeluarkan fatwa, jika ada dua hukum, yang satu râjih (kuat), sedangkan yang satu lagi marjûh (lemah), maka dia harus mengambil yang râjih. Dia tidak boleh memilih mana yang dia sukai dan meninggalkan yang tidak disukai. Ini tidak boleh. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Imam an-Nawawi. Jika dia mengambil dari dalil maka dia harus memastikan keabsahan dalil dan maknanya. Jika dia mengambil dari pendapat mujtahid maka dia harus memastikan sumber dan akurasinya.11

Ijtihad tidak boleh dilakukan terhadap hukum yang sudah dinyatakan oleh nash sehingga bisa mengubah hukum syariah. Ini sebagaimana dalam kaidah:

لَا اِجْتِهَادَ عِنْدَ وُرُوْدِ النَّصِّ

Tidak boleh ada ijtihad ketika ada nash (al-Quran maupun as-Sunnah) yang menyatakan (hukumnya).

 

Misalnya, hukum jihad melawan Yahudi dan kaum kafir yang menduduki negeri kaum Muslim, baik Palestina maupun yang lain, hukumnya wajib. Lalu dengan alasan maslahat dan mudarat, sadd ad-dzari’ah dan sebagainya, seseorang berfatwa bahwa hukumnya tidak wajib, bahkan haram. Pendapat atau fatwa seperti ini jelas batil. Tidak ada nilainya di mata syariah.

Karena itu haram hukumnya mengeluarkan fatwa dengan menggunakan hawa nafsu atau kepala, yang menyalahi nash atau ijmak. Memang dalam ijtihad dibolehkan menggunakan analogi (qiyas), tetapi tetap wajib berpijak kepada nash, al-Quran maupun as-Sunnah, juga Ijmak Sahabat.

Mengeluarkan fatwa itu hukumnya bukan fardhu ‘ain. Namun, ketika dibutuhkan, para ulama pada masa lalu akan mengeluarkan fatwa yang dibutuhkan oleh umat. Dulu Ibn Taimiyah, misalnya, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya berjihad melawan Tatar, dan yang lain.12 Ketika ada yang menghina Nabi saw., beliau mengeluarkan fatwa, “As-Sayf al-Maslûl li Man Syatama ar-Rasûl (Pedang yang Terhunus bagi Siapa Saja yang Menghina Rasul).” Begitu juga Syaikh Izzuddin bin ‘Abdus Salam, yang terkenal dengan fatwanya, yang menyatakan kekuasaan Mamluk (budak) itu tidak sah, kemudian mengharuskan mereka untuk dimerdekakan terlebih dulu. Fatwa ini sangat berani dan mengancam nyawa beliau sendiri.

Begitulah ulama pada masa lalu. Ilmu dan sikap mereka begitu luar biasa. Nama mereka pun terpatri dalam sejarah emas peradaban Islam. WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

  1. Ibn al-Mandzur, Lisan Al-Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., Juz XV, hal. 147.
  2. Lihat, Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXII, hal. 20.
  3. Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Mu’assasah ar-Risalah, Beirut, cet. I, 1441 H/2021 M, ed. Dr. Abdullah ‘Abdul Muhsin at-Turki, Juz XVIII, hal. 16. Lihat, Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXII, hal. 20.
  4. As-Shairafi, Syarah Muntaha as-Sunnah, Juz III, hal. 456. Lihat, Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXII, hal. 20.
  5. Az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith, Juz VI, hal. 305.
  6. Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwâqi’în, Juz I, hal. 36 dan 38; Al-Qurafi, Al-Ihkam fî Tamyiz al-Fatawa mi al-Ahkam, 20.
  7. Al-Qurafi, al-Furûq, Juz IV, hal. 48 dan 54.
  8. Lihat, Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXXII, hal. 27.
  9. Az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith, Juz VI, hal. 307.
  10. Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, Juz I, hal. 51; Juz II, hal. 602.
  11. An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz I, hal. 68.
  12. Ibn Tamiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Juz XXVIII, hal. 410.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × three =

Back to top button