
Timur Tengah Baru di Bawah Kendali Amerika
Trump berkunjung ke negara-negara Arab pada Mei 2025 lalu. Kunjungan ini tidak sekadar untuk kepentingan bisnis dan investasi, tetapi juga untuk menguatkan kembali visi Amerika Serikat di Kawasan Timur Tengah yakni ekonomi, stabilitas politik dan keamanan. Hal ini terlihat dari pernyataan Trump saat kunjungan ke Arab Saudi, “…Masa depan di mana Timur Tengah didefinisikan oleh perdagangan, bukan kekacauan; di mana kawasan ini mengekspor teknologi, bukan terorisme; dan orang-orang dari berbagai bangsa, agama dan keyakinan membangun kota bersama—bukan saling mengebom hingga punah.”
Dalam kunjungan itu juga, Trump bertemu dengan Ahmad Al-Shara, pimpinan negara baru Suriah. Trump berjanji akan mencabut sanksi ekonomi dan mendukung pembangunan Suriah pada masa depan. Dalam kesempatan yang sama, Trump menegaskan lagi niatnya terhadap relokasi warga Gaza. Gaza akan dibangun kembali untuk kepentingan bisnis dan wisata melalui jargon “riviera of the middle east”.
Timur Tengah memang memiliki potensi ekonomi yang besar. Namun, ancaman instabilitas akibat Perang Gaza dan isu pengayaan nuklir Iran selalu menghantui kawasan ini. Inilah yang menjadi alasan pentingnya memperkuat hubungan antara AS dan negara-negara Arab melalui kunjungan Trump beberapa waktu lalu tersebut.
Kepentingan AS di Timur Tengah
Secara umum kepentingan Amerika tidak pernah berubah di wilayah Timur Tengah. Terlepas dari siapapun presidennya. Yang berubah hanyalah cara atau gaya dalam mempertahankan kepentingan tersebut. Kadang AS menggunakan pendekatan negosiasi, sanksi ekonomi, operasi intelijen atau pendekatan militer.
Kepentingan AS di kawasan ini antara lain: Pertama, Kepentingan ekonomi melalui berbagai kerja sama bisnis dan investasi dengan negara-negara Timur Tengah, khususnya negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab. Kunjungan terakhir Trump pada Mei lalu berhasil mendapatkan kesepakatan investasi dan penjualan senjata ke Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab senilai dua triliun dolar AS.
Kedua, Amerika perlu memastikan proses eksplorasi dan transportasi minyak berjalan lancar di negara-negara penghasil minyak di kawasan ini. Sebabnya, sumber daya minyak Timur Tengah adalah penyuplai sepertiga dari kebutuhan minyak dunia baik ke Amerika, Eropa, maupun ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Proses transportasi itu juga mesti melalui jalur-jalur penting seperti Selat Hormus, Laut Merah dan Terusan Suez. Jika jalur-jalur ini terganggu, pasti akan terganggu pula pasokan energi dunia, termasuk ekspor-impor barang lintas dunia.
Ketiga, Amerika Serikat berupaya untuk mencegah Rusia dan Cina memperbesar pengaruhnya di wilayah Timur Tengah. Kedua negara ini sangat potensial sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar dunia di samping secara geografis dekat dengan wilayah Timur Tengah. Rusia punya kepentingan untuk menjaga aliansi politiknya dengan Iran serta tetap aktif menjalin kerja sama dengan negara-negara Timur Tengah lainnya. Adapun Cina, melalui proyek sabuk dan jalan (BRI), telah berupaya banyak menjalin hubungan politik dan ekonomi dengan negara-negara di kawasan tersebut. Baik Cina maupun Rusia akan selalu mengamati dinamika hubungan AS dan negara-negara Timur Tengah. Saat hubungan tersebut renggang, kedua negara ini akan datang menawarkan alternatif kepada negara-negara Timur Tengah.
Keempat, kepentingan AS untuk membendung berbagai kelompok politik Islam dan gerakan jihad yang selalu mengancam eksistensi rezim mitra politik AS termasuk kelompok al-Qaeda, Houthi, Hizbullah dan Hamas yang selama ini dianggap sebagai ancaman politik dan keamanan di wilayah Timur Tengah.
Kelima, kepentingan AS untuk melindungi Israel sebagai sekutu penting bagi AS di Timur Tengah. AS selama ini banyak bergantung pada Israel untuk mendukung AS. Ini berlangsung sejak era Perang Dingin untuk menangkal pengaruh Komunisme Uni Soviet sampai era perang melawan teror. Tujuannya untuk memastikan Timteng tetap sejalan dengan kepentingan AS dengan menangkal ancaman-ancaman yang muncul baik terhadap rezim maupun kelompok-kelompok perlawanan. Posisi penting ini membuat Israel akan selalu dijaga supremasi kekuatan militernya di Timur Tengah. Terbukti, saat negosiasi Iran dan AS mengalami kebuntuan, Israel yang maju untuk menekan Iran melalui serangan pesawat tempur terhadap fasilitas militer Iran pada 13 Juni lalu.
Keenam, mencegah pengembangan senjata pemusnah massal (nuklir), khususnya ancaman pengembangan nuklir Iran yang saat ini menjadi satu-satunya negara Timur Tengah yang tengah melakukan program tersebut.
Strategi AS ke Arah Timur Tengah Baru
Untuk membawa Timur Tengah Baru sesuai kepentingan AS, terdapat beberapa langkah yang telah AS lakukan antara lain: AS berupaya menjaga hubungan erat dengan negara-negara di Timur Tengah melalui berbagai kerja sama ekonomi, politik dan militer. Negara Arab yang kaya akan menjadi mitra investasi dan perdagangan. Adapun yang miskin akan diberi bantuan rutin oleh Amerika Serikat baik bantuan kemanusiaan, ekonomi maupun militer, seperti Mesir, Yordania, Libanon dan rezim baru Suriah.
Langkah selanjutnya, Trump melanjutkan kembali upaya normalisasi Arab-Israel; mengikuti jejak Mesir (1979) dan Yordania (1994) dengan membawa Israel bersama Bahrain, Uni Emirat Arab, Maroko dan Sudan dalam kerangka Abraham Accords. Arab Saudi juga telah digadang-gadang untuk menjadi target selanjutnya bersama Indonesia. Rezim baru Suriah saat ini juga sudah terlihat akan bergabung dalam perjanjian normalisasi ini.
Melalui Abraham Accords Amerika Serikat dan Israel berharap Timur Tengah menjadi lebih stabil dari ancaman musuh-musuh politiknya, baik dari kalangan kelompok jihad Islam maupun dari Iran yang selalu dianggap ancaman, baik terhadap Israel maupun negara-negara Arab.
Amerika Serikat berharap, saat banyak negara-negara Arab melakukan normalisasi dengan Israel, negara-negara itu bisa menjadi koalisi untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan politik Israel. Bahkan mereka bisa membantu Israel untuk mengubah kesan negatif kaum Muslim terhadap Isarel dan mereka menjadi lebih simpati terhadap Israel melalui kerja sama budaya, pendidikan, wisata dan olahraga antarnegara.
Pasca Peristiwa 9/11, Amerika Serikat telah menggunakan narasi kontraterorisme, termasuk isu Nuklir Iran, untuk meningkatkan perannya di Timur Tengah, khususnya secara militer dengan menambah pangkalan militer dan jumlah pasukan yang menyebar di berbagai wilayah Timur Tengah. Tujuannya adalah untuk mengawasi dan menangkal berbagai ancaman yang mungkin terjadi terhadap stabilitas kawasan dan kepentingan Amerika Serikat.
Dalam konteks Suriah, Amerika Serikat bersama Turki, dan negara-negara Arab telah bekerja sama memastikan Revolusi Suriah tidak berjalan menjauh dari kepentingan AS, dengan mendukung faksi-faksi nasionalis dan sekuler di tubuh para pejuang Muslim Suriah. Hay‘at Tahrir Al-Sham (HTS) dan Ahmad Al-Shara adalah aktor yang telah didesain dan dipersiapkan oleh koalisi AS, Israel, Turki dan Arab untuk berkuasa pasca Asad, namun tetap sejalan dengan garis politik AS. Seandainya, HTS bersikap antipati terhadap AS-Israel, gerakan ini pasti sudah dijegal dan diberangus sejak awal kemunculannya pada tahun 2017 lalu.
Kemenangan AS di Suriah berarti kelemahan pengaruh Rusia dan Iran secara regional. Rusia kehilangan sekutu politik yang strategis setelah Assad tumbang. Adapun Iran kehilangan jalur penghubung untuk membantu Hizbullah di Libanon. Bagi Rusia, negara mitra utama tinggal Iran, yang saat ini pun selalu dikucilkan dan dilemahkan pengaruhnya oleh AS melalui mitra-mitranya di Timur Tengah. Lemahnya posisi Iran ini menjadikan Iran rentan menjadi target operasi intelijen dan operasi militer oleh Israel dan Amerika Serikat. Hal ini yang membuat Iran tidak berbuat banyak dalam politik Timur Tengah selain mempertahankan kepentingan untuk bisa bertahan di kawasan ini.
Narasi ancaman Nuklir Iran dan terorisme selalu menjadi strategi Amerika Serikat untuk menjaga ketakutan para pemimpin Arab. Itu menjadi jalan AS untuk selalu hadir sebagai “pelindung” terhadap para pemimpin itu baik secara politik maupun militer.
Masa Depan Baru Timteng
Timur Tengah baru pernah digambarkan oleh Netanyahu dalam pidatonya pada sidang PBB pada Bulan September 2023 sebulan sebelum melakukan pembantaian terhadap Gaza. Ia menjelaskan bahwa saat normalisasi Arab Saudi-Israel terjadi maka Timur Tengah akan menjadi wilayah yang damai dan sejahtera. Ini karena jalur perdagangan Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Yordania dan Israel akan tersambung, yang bakal menghubungkan antara Asia dan Eropa, dengan ongkos lebih murah. Syaratnya, ancaman Iran dan kelompok teroris harus dihilangkan.
Peristiwa genosida yang terjadi di Gaza selama dua tahun terakhir, juga gempuran terhadap Iran pada Juni 2025 lalu, adalah bagian dari upaya Amerika bersama Israel untuk menciptakan Timur Tengah yang baru. Caranya dengan menghancurkan berbagai halangan terhadap kepentingan kedua rezim penjajah tersebut di kawasan ini. Normalisasi Arab dan Israel diharapkan dapat memperkuat koalisi politik dan keamanan untuk menghadapi para musuh tersebut.
Genosida Gaza menjadi bukti bahwa normalisasi Arab-Israel (minus Arab Saudi) saja sudah cukup memberikan ruang besar bagi Zionis untuk membantai warga Palestina secara bebas. Termasuk juga melakukan serangan ke Libanon, Yaman, Suriah dan Iran. Jika normalisasi ini diteruskan, ruang besar Israel untuk menormalisasi penjajahan terhadap Palestina akan semakin terbuka lebar dan pihak-pihak yang pro-perjuangan Palestina kemungkinan akan didiskreditkan dengan narasi pro-radikalisme dan terorisme.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh AS untuk menjerat rezim untuk selalu tunduk pada kepentingannya, AS tidak bisa memaksa masyarakat Muslim untuk ikut patuh terhadap kepentingan AS. Revolusi Arab tahun 2011 menunjukkan adanya kesenjangan sikap rezim dan sikap publik yang menginginkan perubahan. Apalagi dalam genosida Gaza saat ini, publik Timur Tengah semakin marah dan kecewa dengan para pemimpin mereka yang terkesan pasif. Mereka bahkan tetap menjalankan hubungan mesra dengan AS sebagai penopang utama kejahatan Zionis terhadap Palestina. Ini akan menjadi pelecut semangat gerakan-gerakan perubahan di dunia Islam pada masa yang akan datang.
Pendekatan militeristik AS untuk melindungi kepentingannya di Timur Tengah tampaknya juga tidak akan bertahan lama. Pasalnya, investasi AS untuk melindungi Israel sebanyak 130 miliar dolar AS terbukti tidak mampu mengalahkan semangat perlawanan para pejuang Palestina sejak dua tahun terakhir. Sejak Oktober 2023 sampai Oktober 2024 saja AS telah menghabiskan hampir 18 miliar dolar AS atau mendekati Rp 300 triliun. Pada akhirnya, AS akan dipaksa untuk menyerah sama dengan yang terjadi di Afganistan sejak tahun 2001-2021.
Penutup
Pelajaran yang dapat dipetik oleh umat Islam adalah bahwa AS dan Israel begitu sungguh-sungguh dalam menjaga kepentingan mereka. Mereka memperkuat kerja sama dalam berbagai bidang untuk memperkuat posisi dan melemahkan musuh-musuh mereka dengan menghalalkan segala cara. Umat Islam seharusnya memiliki semangat yang lebih dari kaum kafir untuk bersatu. Mereka harus mencari cara yang tepat untuk memperkuat diri untuk melemahkan atau bahkan menghancurkan musuh-musuh kaum Muslim.
WalLâhu a’lam. [Hasbi Aswar Ph.D (Pengurus Masyarakat Sosial Politik Indonesia)]