Ibrah

Wara’

DALAM dunia yang terus bergerak cepat dan penuh jebakan syubhat, setiap Muslim mutlak harus memiliki sikap wara’. Wara’ adalah sikap menjauhkan diri dari segala hal yang haram dan bahkan dari yang syubhat. Wara’ menjadi kebutuhan ruhani yang makin penting saat ini. Wara’ bukan sekadar bentuk kehati-hatian. Wara’ adalah pancaran iman dan ketakwaan mendalam yang menjaga seseorang tetap lurus (istiqamah) dalam rel ketaatan kepada Allah SWT.

Berkaitan dengan wara’, Allah SWT berfirman:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا  ٢

Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar bagi dirinya (QS ath-Thalaq [65]: 2).

 

Imam Ibn Rajab al-Hanbali menafsirkan bahwa ayat ini mencakup orang yang berhati-hati terhadap perkara syubhat, bahkan terhadap hal yang mubah jika ditakutkan bisa menyeret kepada haram (Ibnu Rajab, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 198).

Karena itulah wara’ adalah salah satu cabang utama dari takwa. Bahkan Nabi Muhammad saw. bersabda:

الحَلاَلُ بَيِّنٌ وَالْحَراَمُ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبَهَاتٌ…فَمَن اِتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ

Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat…Siapa saja yang menjauhi syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Ibnu Hajar al-‘Asqalani menukil Ijmak Sahabat tentang keutamaan wara’ sebagai tanda kesempurnaan iman dan perlindungan dari fitnah (Ibnu Hajar, Fath al-Bârii, 1/130).

Terkait wara’ Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLâh berkata:

الوَرَعُ تَرْكُ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ

Wara’ adalah meninggalkan hal yang meragukan menuju hal yang tidak meragukan (Al-Khatib al-Baghdadi, Al-Jâmi’ li Akhlâq ar-Râwî, 1/232).

 

Tentang wara’, Imam al-Hasan al-Bashri rahimahulLah juga berkata:

مَا زَالَ الْوَرَعُ يَدْعُوْ بِالنَّاسِ حَتَّى تَرَكُوْا كَثِيْراً مِنَ الْحَلاَلِ مَخَافَةَ الْحَرَامِ

Sikap wara’ terus menyeru manusia sampai mereka meninggalkan banyak hal yang halal karena khawatir jatuh pada yang haram (Ibn Abi ad-Dunya, Kitâb al-Wara’, hlm. 14).

 

Bahkan Sufyan ats-Tsauri rahimahulLâh berkata:

إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَنَا الْعَمَلُ، وَالْعِلْمُ لَيْسَ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ، وَلَكِنَ الْعِلْمَ الْوَرَعُ

Ilmu di sisi kami adalah amal. Ilmu bukan banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah sikap wara’ (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 6/367).

 

Imam an-Nawawi menjelaskan, “Wara’ adalah tingkatan yang lebih tinggi dari sekadar menjauhi yang haram. Ia adalah perisai yang menjaga dari keraguan dan penjaga kemuliaan seorang Mukmin.” (An-Nawawi, Al-Majmû’, 10/106).

Haris bin Asad al-Muhasibi juga menyatakan, “Pangkal ketaatan adalah sikap wara’ (waspada terhadap dosa). Pangkal wara’ adalah takwa. Pangkal takwa adalah muhâsabah.” (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 4/282).

Bahkan Imam Ibn Qudamah rahimahulLâh menjelaskan bahwa wara’ adalah syarat bagi seorang alim agar bisa dipercaya ilmunya dan dijadikan teladan (Ibnu al-Qudamah, Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, hlm. 102).

Banyak keteladanan Salafus-Shalih dalam sikap wara’. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., misalnya, pernah diberi makanan oleh budaknya. Setelah makan, budaknya berkata bahwa makanan itu diperoleh dari cara yang syubhat. Seketika Abu Bakar memasukkan jarinya ke mulut dan memuntahkan seluruh makanan itu. Beliau berkata, “Seandainya makanan ini tidak keluar kecuali bersama nyawaku, niscaya aku tetap akan mengeluarkan makanan syubhat tersebut. Sebabnya, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Setiap jasad yang tumbuh dari yang haram, maka neraka lebih pantas bagi dirinya.” (HR Ahmad) (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, 1/194).

Umar bin al-Khaththab ra. juga memiliki sifat wara’ yang luar biasa. Beliau sangat ketat dalam hal keuangan negara. Diriwayatkan bahwa beliau pernah menolak menikmati wewangian dari Baitul Mal (Kas Negara) meski hanya sekadar menghirup wewangian tersebut. Pasalnya, beliau khawatir itu termasuk bentuk pengkhianatan atas amanah umat (Ibn Saad, Thabaqât al-Kubrâ, 3/306).

Contoh lainnya adalah sikap wara’ Imam Abu Hanifah rahimahulLâh, Dikisahkan bahwa Imam Abu Hanifah rahimahulLâh pernah menahan diri tidak memakan daging kambing. Hal itu beliau lakukan setelah mendengar bahwa ada seekor kambing milik tetangganya dicuri. Beliau menahan diri tidak memakan daging kambing selama beberapa tahun sesuai dengan usia kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah mati (Syu’aib bin Saad al-Harifis, Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).

Contoh lainnya lagi adalah Muhammad bin Sirin, seorang ulama yang dikenal kewaraannya pada zamannya.” (Al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 5/300).

Sebagaimana dikisahkan oleh Dr. Abdurrahman Raat Basya dalam Shuwar min Hayati at-Tabiin, karena sikap wara’-nya, ulama yang lahir di Bashrah tahun 33H ini pernah hendak diberi uang oleh Gubernur Irak saat itu sebesar 40 ribu dirham (sekitar Rp 2 miliar). Namun, Ibn Sirin menolak. Keponakannya merasa heran, mengapa ia harus menolak pemberian itu. Ia mengingatkan keponakannya seraya berkata, “Ketahuilah, dia memberi aku hadiah karena dia menyangka aku ini orang baik. Kalau aku baik maka aku tidak pantas untuk menerima uang itu. Sebaliknya, jika aku tidak sebaik yang ia sangka, lebih tidak pantas lagi aku mengambil hadiah itu.”

Semoga Allah SWT menanamkan dalam hati kita sikap wara’ yang dapat menjaga kehormatan kita, membersihkan jiwa kita dari dosa dan mengantarkan kita pada ridha-Nya. Âmîn.

Wa mâ tawfîqîillâ bilLâh. [ABI]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × four =

Check Also
Close
Back to top button